"Nenek itu siapa, Jev?"
"Aku KKN di sini. Waktu itu aku sempet bantuin Nenek Reni yang kesulitan bawa ranting kayu yang cukup banyak." Jevano memulai ceritanya. Menarik eksistensi Karin.
Keduanya duduk di dipan yang keliatan pendek. Jevano aja sampai harus sedikit nunduk karena kepalanya beneran pas banget sama atapnya. "Oh, ya? Pos kamu di mana?"
"Pos aku jauh dari sini."
"Kok bisa sampai sini?"
"Iya, karena ketemu Nenek Reni pas aku lagi beli makanan. Akhirnya aku sampai ke sini. Pas awal juga aku shock berat."
"Shock?"
Jevano mengangguk pelan. "Karena pas saat aku bantu Nenek Reni itu aku lagi ada masalah sama anak-anak di pos. Dan kaya kejadian tadi. Nenek Reni tiba-tiba natap aku lama terus bilang sesuatu kaya tadi. Tepat banget ucapan Nenek Reni sesuai yang terjadi sama aku hari itu."
"Nenek Reni cenayang, ya?" tanya Karin pelan takut Nenek Reni mendengar.
Kekasihnya tertawa pelan. "Awalnya aku juga nyangka kaya gitu. Tapi pas hari terakhir perpisahan. Nenek Reni bilang kalau dia bisa baca seseorang dari raut wajah, deruan nafas, tatapan sama pergerakan tangan. Bahkan meskipun berusaha untuk bersikap biasa aja Nenek Reni bisa baca pergerakan itu."
Karin menutup mulutnya tak percaya. "Wah, hebat banget."
Jevano tersenyum lalu tangannya merengkuh pundak kekasihnya. Menumpukan dagunya di atas kepala Karin. "Jadi cerita. Aku gak nerima kalimat gak ada apa-apa. Soalnya tadi Nenek Reni bilang kamu punya banyak yang di pendem."
Karin menghembuskan nafasnya. Kemudian mendengus pelan sembari menyikut pinggang Jevano kesal. "Kamu sengaja banget bawa aku ke sini."
"Kamu tiba-tiba ke rumah terus ngajak aku pergi aja itu udah aneh banget, sayang."
"Tau, lah. Males banget!"
"Gak usah mengalihkan topik, Be." Jevano memeluk leher Karin yang membuat gadis itu memberontak.
"Jev lepas!"
"Cerita dulu."
"Ya, ini lepas dulu, lah!"
Jevano melonggarkan tangannya. "Udah. Ayo cerita kenapa?"
Karin memejamkan matanya. Sejujurnya ia masih enggan untuk membahas hal ini dengan Jevano. Tapi kayanya dia udah gak bisa lari lagi.
"Jev."
Jevano melirik gadis itu lalu mengecup pucuk kepalanya lembut. "Hmm?"
"Kemarin malem ada cowok kenalan papah dateng ke rumah."
Usapan lembut di kepalanya seketika berhenti. Tuh, kan! Dia beneran gak mau bahas ini sebenernya.
"Jev?" Karin menggenggam tangan Jevano yang ada di pundaknya.
"Lanjutin."
Kepala Karin menunduk. "Terus pas cowok itu pulang. Papah bilang kapan kamu ngasih keputusan buat aku. Kata Papah, kalau kamu masih gak bisa ngasih keputusan. Cowok itu yang bakal maju."
Tangan Jevano mengepal kuat. Yang semula ia simpan di pundak Karin kini sudah terlepas. Laki-laki itu menyurai rambut legamnya pelan. "Be, kita baru aja jalan 7 bulan. Aku juga belum lulus. Kamu juga, kan?"
"Aku juga bilang kaya gitu ke Papah, Jev. Terus Papah bilang, Papah cuma mau kepastian kamu. Minimal lamaran dulu."
Jevano menghembuskan nafasnya berat. Bukan tak ingin. Tapi ada satu hal yang membuatnya sulit untuk maju ke langkah selanjutnya. Keadaan Marka dan Rafa yang masih belum menikah membuat Jevano tak bisa melangkah lebih. Meski ia bisa melangkahi kedua abangnya. Tapi ia tak mau sampai keegoisannya menimbulkan buah bibir untuk orang-orang di sekitarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mahanta || 7 Dream [DONE]
FanficWARNING!! NOT B×B AREA!! Cerita dengan konflik-konflik klise di dalamnya. Ini pure terinspirasi sama rasa kekeluargaan anak-anak Dream dengan bagaimana takdir bermain bersama mereka. "Kenapa topik ini lagi, sih, Ba?" - Marka "Cinta...