sebelum baca i wanna say sorry dulu
for everything ㅎㅎㅎhappy reading luvv 💚
=====
Dinginnya Bandung malam itu terasa tak begitu dingin dibandingkan suasana hati para anak manusia yang termenung dengan keadaan kepala yang penuh. Terasa begitu penuh sehingga membuat bingung dan kosong.
Setengah jiwa yang terbawa pergi itu bukan kalimat bohong semata. Karena nyatanya ketujuh anak manusia itu benar-benar seolah tak bernyawa. Tersenyum dengan mata yang kosong. Atau bahkan tersenyum dengan air mata yang mengalir.
Langit malam kala itu seolah berkompromi dengan hati ketujuh anak manusia yang tengah dilanda rasa kehilangan yang begitu sangat. Awan berkumpul begitu penuh di atas sana. Sehingga bintang bahkan bulan pun tak nampak wujudnya. City light yang berada terpampang di depan rooftop pun hanya terlihat sedikit, karena sebagian yang berada di atas sudah tertutup kabut.
Setelah pemakanan tadi pagi. Ketujuh anak Baba bergerak menuju kosan Baba. Kembali meratapi bahwa orang yang tinggal di sana sudah benar-benar tidak ada.
Karin, Anak-anak Gamaka bahkan Anaya tidak ada di sana. Mereka memberikan waktu kepada tujuh insan itu untuk menyendiri dengan pikiran masing-masing. Mereka hanya melihat dari jauh. Mau bagaimanapun, mereka baru kehilangan. Takut sesuatu yang tidak di inginkan terjadi. Seperti ucapan Hanendra semalam. Yang ingin mengikuti Babanya pergi.
Rafa, Marka serta Jevano yang berdiri sebelahan di rooftop tak mengeluarkan suara barang satu huruf pun. Mereka benar-benar senyap. Hanya mata mereka yang bisa menunjukkan keadaan mereka saat ini.
Jevano menghembuskan nafasnya kuat. "Padahal selama ini kita udah biasa gak liat Baba. Tapi sekarang kenapa rasanya sakit, ya, Bang?" tutur anak ketiga itu memecah keheningan di antara mereka.
Marka melirik adiknya. Merangkulnya tanpa mengucapkan apapun. Rafa yang juga mendengar ucapan lirih Jevano hanya bisa tertegun. Menyetujui dalam diam.
Kepalanya mendongkak. Menatap langit yang tertutup gumpalan awan yang begitu banyak. Bukan tanpa sengaja. Tapi Rafa mencoba menyimpan lagi air matanya agar masuk kembali.
Ba.
Rafa baru tau. Ternyata rasanya sakit banget di tinggalin. Padahal dulu Ibu lebih dulu ninggalin Rafa di banding Baba. Tapi kepergian Baba kenapa jauh lebih sakit, ya? Apa Rafa bandel banget, ya? Allah gak lagi ngehukum Rafa, kan, Ba? Rafa minta maaf karena gak bisa memanfaatkan waktu dengan baik selama Baba ada. Jangan marah, ya, Ba.Rangkulan Marka dari sisi kanannya berhasil menjatuhkan kembali air mata yang sedari tadi ia coba masukkan lagi ke dalam asalnya. Rafa menangis lagi membuat Jevano ikut terlarut kembali dalam kabungnya hari itu. "Maaf, Bang. Harusnya Rafa gak nangis," ungkap Rafa berusaha berucap dengan jelas karena berusaha menahan tangisnya.
Hati Marka sangat sakit melihat adik pertamanya itu ternyata mengemban beban yang sama sebagai seorang Abang ; tidak boleh menangis.
Marka menggeleng pelan. Tangan yang awalnya merangkul pundak Rafa kini ia tarik tubuh adik pertamanya itu. Memeluknya erat. "Rafa boleh nangis. Gak satupun anak yang gak bakal nangis kalau di tinggalin. Jadi Rafa sama Jevan boleh nangis."
Marka benar-benar menjadi pilar. Memeluk kedua adiknya dengan erat. Menampung seluruh air mata yang menghujani tubuhnya. Sementara hati dan kepalanya berteriak kencang berulang kali. Bahwa Marka sudah tidak boleh menangis lagi. Lihat. Marka menjadi pilar. Ia tidak mau menjadi pilar yang rapuh. Ia mau menjadi pilar yang kokoh. Yang siap menampung segala jerit keresahan dan tangis adik-adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mahanta || 7 Dream [DONE]
FanfictionWARNING!! NOT B×B AREA!! Cerita dengan konflik-konflik klise di dalamnya. Ini pure terinspirasi sama rasa kekeluargaan anak-anak Dream dengan bagaimana takdir bermain bersama mereka. "Kenapa topik ini lagi, sih, Ba?" - Marka "Cinta...