Suasana sore yang damai. Semilir angin mencoba menerbangkan beberapa anak daun mati dari pohonnya. Cuaca sangat bagus, karena awan tak terlihat begitu banyak. Sehingga sang surya bisa di lihat dengan jelas.
Seorang laki-laki terduduk di kursi taman. Menikmati pemandangan kedua peliharaan sang adik yang berkeliaran bebas di sana. Sesekali ia menggosok hidungnya gatal.
"Bang."
Hanendra lantas menoleh saat sebias suara masuk ke dalam indra pendengarannya. "Oh, Ka. Kenapa?"
Caraka yang mendatanginya menggeleng pelan. Lalu duduk di samping abangnya. "Angin, tau. Kenapa malah di luar?" Suasana tenang tadi sudah pecah saat Caraka memulai obrolan. Si abang mendesah pelan. Tapi apa daya, ia juga tak mungkin mengusir adiknya.
"Punggung abang bolong kalau tiduran terus."
Caraka tertawa. "Kalau kena angin terus, sembuhnya lama."
"Enggak, lah. Justru kalau alam bawah sadar kita tenang, bikin tubuh lebih rileks, itu bikin cepat penyembuhan."
Sang adik menoleh cepat. Untuk pertama kalinya ia mendengar info semacam itu. "Bohong banget. Riset dari mana, itu?"
Hanendra tertawa pelan. "Tau gak awal mula kenapa kepala kita pusing?" Caraka terdiam sebentar untuk menemukan jawabannya, lalu menggeleng pelan saat ia tak berhasil menemukannya.
"Karena pikiran kita lagi semrawut, makanya pusing."
"Ngawur banget, sih, Bang."
"Loh, kenapa ngawur? Serius tau. Kalau pikiran kita itu berpengaruh sama kesehatan kita. Pernah denger gak ada anak yang mengidap kanker udah sampai stadium akhir, terus di vonis hidupnya cuma beberapa bulan lagi. Tapi, hebatnya Allah. Anak itu bisa sembuh. Pas cek up ternyata kankernya udah gak ada. Ajaib gak tuh?"
Caraka membuka mulutnya kagum. "Serius? Kanker stadium akhir langsung sembuh?"
"Serius!" ujarnya dengan semangat, "sampai orang tua dan dokternya kaget. Kok bisa sembuh. Dan ternyata rahasianya cuma dua. Optimistis dan selalu berpikiran positif. Alam bawah sadar kita harus selalu happy. Makanya, sesekali diem sendiri sambil liatin alam, tuh jadi pemicu ketenangan buat hati dan pikiran."
Caraka memang kagum. Tapi ia mendecak pelan menarik eksistensi sang Abang untuk meliriknya. "Tapi kaya percuma aja gak, sih? Maksudnya meskipun kita berusaha nenangin pikiran dan selalu berusaha untuk positif, pasti selalu ada aja yang bikin kita tiba-tiba nethink. Terus bikin kesel. Bahkan kalau lagi tenang juga suka tiba-tiba ada aja yang di pikirin."
Hanendra tertawa. Yang dibicarakan adiknya memang tak salah. "Bener banget. Kalau seandainya nenangin diri semudah itu. Tempat rehabilitas, tempat psikologi sampai RSJ pasti kosong."
"Nah, bener, kan!" Caraka seolah semangat saat pemikirannya menjadi satu dengan abangnya. Hanendra sampai di buat tersenyum melihatnya.
Inilah Caraka. Si anak kritis. Jika ia sudah di satukan dengan topik-topik yang menarik minatnya. Ia akan terus beradu sudut pandang sampai akhirnya ia mendapatkan apa yang di carinya. Dan Hanendra adalah orang kedua setelah Rafa yang senang menikmati kehidupan. Semua proses alam, sosialisasi dan apapun itu tentang kehidupan, mereka suka.
"Makanya abang selalu menerapkan sikap bodo amat." Hanendra mencoba untuk melanjutkan topik.
Baru saja hendak memberikan jawaban dari dialog sang abang seseorang dari belakang datang membawa satu selimut yang langsung di selimutkan kepada Hanendra. "Kalau tau lagi sakit, minimal jaga tubuhnya supaya gak tambah sakit. Mind yang positif emang bagus. Tapi kalau tubuhnya gak di jaga, ya tetep aja." Keduanya terdiam mendengarkan petuah si anak kedua yang masuk kedalam telinga mereka. Iya, itu Rafa. Si laki-laki yang datang dengan membawa selimut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mahanta || 7 Dream [DONE]
FanficWARNING!! NOT B×B AREA!! Cerita dengan konflik-konflik klise di dalamnya. Ini pure terinspirasi sama rasa kekeluargaan anak-anak Dream dengan bagaimana takdir bermain bersama mereka. "Kenapa topik ini lagi, sih, Ba?" - Marka "Cinta...