"Ciwidey udah gak sedingin dulu, ya."
Tatapan Marka beralih pada gadis yang ada di sampingnya yang tak sedang menatapnya. "Semua berubah. Termasuk alam," balas Marka seadanya.
Mereka tengah berada di kebun teh. Berdiam di tempat yang paling tinggi di kebun teh tersebut. Menatap hamparan daun-daun teh yang begitu luasnya. Beruntung, lah karena siang itu tidak begitu panas. Beberapa awan selalu berhasil menghalau panasnya sang surya. Angin sepoi-sepoi mencoba menerbangkan anak rambut mereka. Menyapa kulit halus yang terlihat kelelahan atas semua tugasnya sebagai orang dewasa.
"Kebun teh ini juga udah berubah. Dulu gak seluas ini."
Marka tak menggubris meski ia menyetujui ucapan gadis itu dalam hatinya. Dari sejak terakhir kali ia berkunjung ke tempat ini banyak sekali yang sudah berubah. Banyak destinasi baru yang di bangun di Ciwidey.
"Abis ini mau kemana?" tanya Marka mencoba membuka topik kembali setelah beberapa saat keduanya hanya diam.
"Warung depan, yuk. Kita belum makan siang."
Marka tertawa pelan. "Mie rebus yang harganya 30 ribu?"
Tak elak Anaya ikut tertawa. Perkara membeli mie rebus di tambah telur, sayur dan cabai membuat mereka harus merogoh kocek 30 ribu permangkok. Saat itu Marka mendengus kesal selama beberapa kali karena merasa tertipu atas semangkuk mie rebus yang sangat tidak masuk akal baginya.
"Mie rebus doang 30 ribu!?"
"Ih! Pelan-pelan ngomongnya!"
"Ya, masa mie rebus doang 30 ribu, Ay. Masak di rumah aja gak sampai 10 ribu itu."
Anaya yang mendengarkan rentetan rasa kesal sang kekasih hanya tertawa saja. "Namanya juga rest area. Wajar, lah."
Marka masih menggeleng kekeh. "Gak wajar, lah, Sayang. Pokonya riba banget, tuh yang jualan." Anaya hanya bisa tergelak. Wajah kesal Marka malah terlihat lucu baginya.
"Tapi, Mark."
"Hm?"
"Kita buka kedai di rest area juga apa, ya? Jualannya di mahalin supaya bisa kaya. Nanti abis nikah bisa punya rumah gedong."
Marka melotot. Tangannya mencubit hidung gadisnya itu gemas. "Istighfar, Ay. Riba, ih," katanya yang lagi-lagi membuat Anaya tergelak tak tertahan. Sungguh Marka sangat lucu.
"Ayo!"
Anaya menggeleng pelan. Ingatan itu berputar di otaknya tanpa permisi. Beruntunglah suara Marka segera masuk ke dalam otaknya untuk segera membuyarkan ingatan itu. Anaya lantas membuntuti Marka menuju kedai rest area untuk memesan semangkuk mie rebus mahal. Setidaknya kali ini mereka tidak akan kaget lagi.
*****
Destinasi terakhir sebelum pulang. Ranca upas.
Langit cantik menemani kedua insan itu yang tengah asik menikmati dinginnya Ranca upas malam itu. Setelah sejak sore tadi mereka bermain di penangkaran rusa. Kaki mereka terus saja berjalan. Entah akan sampai mana kaki itu melangkah. Yang jelas keduanya begitu menikmati waktu mereka. Meski dalam diam.
Dua insan yang terlihat tenang meski otaknya begitu penuh. Anaya masih tetap dengan tujuannya, yaitu memperjelas pada Marka tentang hari itu. Sementara Marka juga entah mengapa, secara tidak langsung hatinya menanti Anaya yang akan membahas ini. Padahal sejak dulu Marka tak pernah ingin pembahasan hari itu di buka kembali. Karena Marka masih merasakan betapa sakitnya ia karena Anaya. Tentang rasa emosi yang tak tertahan serta kekecewaan yang begitu besar. Membuat Marka benar-benar tak ingin membuka kembali chapter kehidupannya yang sudah berlalu. Dengan susah payah Marka bisa hidup dengan baik sejak hari itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mahanta || 7 Dream [DONE]
FanficWARNING!! NOT B×B AREA!! Cerita dengan konflik-konflik klise di dalamnya. Ini pure terinspirasi sama rasa kekeluargaan anak-anak Dream dengan bagaimana takdir bermain bersama mereka. "Kenapa topik ini lagi, sih, Ba?" - Marka "Cinta...