24 : Jalan Keluar

187 34 6
                                    


"Harusnya gue nggak berharap lebih."


"Ata!!"

Yang punya nama pun membalikkan badannya. Netranya menemukan Anya dengan tawa sumringah tengah berjalan menghampirinya.

Hari-harinya berlalu dengan overthinking usai saran dari sang papi. Alasannya dua, yang pertama tentu saja Nala dengan keegoisannya, sementara yang kedua adalah menyusun kalimat yang tepat untuk bicara pada gadis yang kini berdiri tepat di hadapannya itu.

Dengan sedikit terpaksa, Ata mengulas senyum manis kemudian. "Hai. Kenapa, Nya?" tanyanya setenang mungkin. Si gadis nampak ceria, berbeda dengan yang dilihat Ata beberapa hari yang lalu.

"Cuma mau ngabarin aja sih, udah nggak pusing lagi."

Anya dengan senyuman lebarnya, justru membuat rasa bersalah Ata semakin besar. Anak itu hanya ber-oh ria seraya menganggukkan sedikit kepala. "Syukur deh kalau gitu," balasnya.

Anya mengangguk antusias, tersenyum sumringah menanggapi ujaran Ata barusan. "Btw lo mau ke mana, Ta?" tanyanya begitu melihat Ata menenteng buku dan hendak berbalik. Gadis itu mensejajari langkah Ata kemudian.

"Ke perpus, balikin buku."

"Ooo.. ikut deh."

Ata tak menanggapi, membiarkan Anya mengikuti dirinya. Mereka pun berjalan beriringan menuju perpustakaan.

"Eh iya, Ta, novel yang gue rekomendasiin dulu udah lo baca apa belum?" Anya membuka suara, membuat Ata sedikit menoleh pada dirinya untuk sesaat. Lantas pemuda itu pun menggeleng. "Belum sempet," jawabnya singkat.

"Kalau komiknya, udah belum?"

"Belum juga."

Anya menggaruk tengkuknya. "Karena belum sempet juga?" tanyanya kemudian. Namun Ata menggeleng pelan. "Genrenya kurang menarik."

Mendengar jawaban Ata barusan, alis Anya berkerut heran. "Loh, bukannya lo bilang lo suka komik genre thriller ya, Ta?" tanyanya kemudian. "Tapi yang itu terlalu serius, humornya nggak dapet."

Anya terdiam. Lantas hanya membulatkan bibirnya dengan sedikit kecewa. Ata nampak berbeda. Entah apa yang membuatnya jadi berbeda, tapi Anya rasa anak itu menjadi sedikit lebih dingin, menurutnya. Atau mungkin saja dari dulu sudah seperti itu, entahlah. Yang pasti sejak pembicaraan tadi, Anya terus terdiam hingga sampailah keduanya di perpustakaan.

Resepsionis tampak ramai. Banyak siswa yang melakukan peminjaman buku sepertinya. Antreannya cukup panjang, membuat Ata mendengus pelan. Langkahnya pun tertuju pada rak buku paling ujung, bagian novel dan komik. Jemarinya menari pada deretan buku-buku di hadapannya, sementara netranya diam-diam melirik, menemukan Anya yang masih mengikutinya.

"Lo nyari apaan?" tanyanya kemudian. Anya nampak sedikit terkejut karenanya. "Eee itu... Stasiun karya Putu Wijaya. Ada gak, sih?" jawab gadis itu asal. Ata mengangguk seraya ber-oh ria seolah memahami. "Harusnya ada, sih."

Keduanya pun sibuk mengitari rak dalam keheningan. Sampai kemudian Ata terlihat membaca sinopsis sebuah novel saduran, namun diam-diam ia kehilangan fokusnya begitu melirik keberadaan Anya lagi. Jemarinya menari mengetuk rak, menghasilkan sebuah melodi. Kendati otaknya tengah menyusun sebuah rencana untuk menyelesaikan semuanya.

"Nya," panggilnya.

Si gadis menoleh, lantas mengulas senyum manis seraya mengangkat kedua alisnya. Ata mendesis tak tega. "Hng, kayanya ada yang mau gue omongin sama lo."

[1] Tiramisu CheesecakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang