7 : Mampir apa apel?

471 92 20
                                    


"Kalau itu bener juga, sih."


Begitu scoopy Ata berhenti tepat di depan rumahnya, Nala buru-buru turun, melepas helm yang melindungi kepalanya dengan bantuan Ata.

"Rumah lo?" tanya Ata kemudian sembari melepas helm-nya sendiri.

Nala kontan menggeleng, "Rumah tante." gadis itu berjalan menuju teras seraya merapikan rambut dan roknya yang sedikit berantakan. "Selama ini gue tinggalnya ya disini, Ta."

Alis Ata mengerut, "Terus, papa lo?"

"Udah meninggal juga, dua bulan sebelum meninggalnya mama."

Ata terkesiap. Fakta tentang Nala yang baru ia ketahui ternyata menyakitkan. "Jadi, lo yatim piatu dari kecil?"

Nala tersenyum kecut, lantas mengangguk. Agaknya membuat hati Ata ikut sakit karenanya. "Sori, Nal, nggak maksud nyinggung–"

"Santai aja kali, Ta." gadis itu tersenyum manis, seolah memberitahu Ata bahwa dirinya sangat baik-baik saja.

"Mau masuk dulu? Tante gue baik kok orangnya." tawarnya kemudian.

Ata berpikir sesaat. Setelah beberapa pertimbangan akhirnya anak itu mengangguk seraya melempar senyum manisnya. "Boleh beneran, nih?" tanyanya sembari berdiri setelah menstandarkan motornya.

"Boleh, Ata."

Begitu Nala masuk ke dalam, Ata berdiri menunggu di depan pintu. Sesekali merapikan tatanan rambutnya. Kalau boleh jujur, ini pertama kalinya Ata mampir ke rumah teman perempuan. Saking kakunya, anak itu merasa serba salah sejak tadi. Seperti sekarang ini, bingung sendiri bagaimana nanti harus menyapa tantenya Nala.

Tak lama, seorang perempuan yang kemungkinan seumuran dengan mamanya keluar dari dalam rumah. Senyumnya terkesan sangat ramah, membuat Ata yang tadinya sedikit tegang menjadi lebih lega.

Buru-buru diraihnya tangan tante Nala, niatnya memberi salam. "Temennya Nala?" tanya sang tante kemudian.

"Iya, Ata tante."

Tante Nala mengangguk ramah. "Masuk dulu, yuk!" ajaknya kemudian. Lantas Ata mengikuti di belakangnya.

Tempat tinggal Nala ini jauh dari perkiraan Ata. Beda dengannya yang tinggal di perumahan mewah, Nala tinggal di perkampungan biasa. Dari luar-pun sudah terlihat cukup sederhana. Lagi-lagi Ata dibuat kagum oleh latar belakang kehidupan gadis itu.

"Maaf ya, Ta, adanya cuma ini."

Lamunan Ata buyar ketika Nala dengan setelan kaos polos dan celana trainingnya datang sambil membawa sepiring biskuit dan segelas teh di nampan.

Salah. Bukan itu poinnya. Yang Ata tahu, selama ini Nala selalu membiarkan rambutnya terurai bebas. Terkadang dihiasi oleh jepit rambut sederhana, atau headbands warna-warni. Namun kali ini, Nala menguncir kuda surainya, membuat lekuk lehernya yang biasanya tertutupi jadi terlihat jelas, semakin menarik di mata Atarafka.

"Diminum, Ta."

Ata refleks mengedipkan matanya beberapa kali, baru tersenyum dan mengangguk pada Nala yang kini sudah duduk di hadapannya. "Iya, Nal, makasih. Nggak usah repot-repot kali."

[1] Tiramisu CheesecakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang