23 ALINGGA

11.9K 1K 50
                                    

Alingga meletakkan segelas teh hangat yang sudah ia minum itu tepat di depannya, ia kemudian menarik napas sejenak untuk menenangkan diri. Pernikahan itu bukan permainan yang setelah selesai bisa pulang ke rumah masing-masing, ini akan berjangka waktu lama dan seumur hidup. Alingga tidak ingin Lyana berada di lingkaran hidupnya, ia menyukai gadis itu. Tentu saja. Tapi Alingga tidak yakin kalau ia bisa membuat gadis itu balik menyukainya, bukannya sudah jelas Lyana menyukai Abun?

Alingga yakin Lyana tidak akan bahagia jika bersamanya, dan keyakinan itu semakin kuat ketika ia tidak sengaja melirik mata gadis itu yang memerah dan berair.

"Om juga udah bicara sama Papa kamu, dia bilang semua keputusan terserah kamu," Papa Lyana tersenyum kecil, meletakkan lembaran kertas di meja persis di depan Alingga. "Om nggak ngerti apa maksud isi surat wasiat ini, tapi Derry bilang kamu harus tanda tangan."

Alingga mengernyitkan keningnya.

Kertas ini? Bukannya Alingga tadi letakkan di bawah bantal tidurnya, kenapa bisa ada di tangan Papanya Lyana.

"Derry yang kasih ini tadi, katanya om harus paksa kamu."

Alingga memutar bola matanya.

"Udah cepat tanda tangan Lingga, biar urusannya selesai dan Derry nggak teror saya terus untuk maksa kamu. Aneh-aneh aja dia, masa saya di suruh lakuin kekerasan ke calon mantu sendiri," lanjut Papa Lyana sambil menggeser sebuah pulpen kehadapan Alingga.

Dengan tenang, Alingga akan mengambil kertas itu, tapi kemudian tangannya berbelok dan beralih mengambil pulpen lebih dulu.

Laki-laki itu menelan ludahnya, menatap Papa Lyana dengan tajam sambil membuka pulpen itu dan ujung runcingnya ia arahkan ke lehernya sendiri.

"Saya akan bunuh diri kalau om masih maksa saya nikahin Lyana!" Ujar laki-laki itu mengancam, ucapannya terdengar sungguh-sungguh dengan tatapannya yang tajam serta napasnya yang menderu tidak teratur.

"Saya nggak main-main om, saya akan bunuh diri kalau om masih maksa saya."

Papa Lyana menyipitkan matanya lalu bersedekap dada.

Alingga menusukkan pulpen itu ke lehernya tapi tidak terlalu kuat. "Lagian Lyana juga nggak mau menikah sama saya, kenapa om nggak mikirin anak om sendiri? Senggaknya kalau gak mau mikiran saya, om bisa pikirin perasaan dia."

"Lyana, sana ke dapur ambilin pisau," ujar Papa Lyana dengan tenang. Gadis itu diam selama dua detik, lalu mengangguk patuh dan pergi kearah dapur.

Alingga melirik kearah Papa Lyana, lalu menelan ludah lagi. "Om-"

"Bentar tunggu Lyana dulu, kalau bunuh diri pakai pulpen nggak akan mati. Tunggu anak saya ambil pisau dulu," ujarnya dengan senyum miring.

"Om tuh ya Lingga, walaupun udah mulai berumur tapi masih suka film genre thriller. Jadi om tuh suka penasaran gimana rasanya lihat pembunuhan atau gimana rasanya ngebunuh orang. Mungkin om bisa kali putusin leher dalam sekali tebas," lanjutnya.

Sedetik kemudian Lyana datang dengan pisau di tangannya, ia menatap Papanya. "Yang besar apa yang kecil, Pa?" Tanyanya sambil menyerahkan dua pisau itu pada Papanya.

Alingga membulatkan matanya, ia bergeser beberapa senti sedikit menjauh. Nyalinya perlahan menciut dan ia berkali-kali menelan ludah.

"Nih, pilih mau bunuh diri pakai pisau besar atau kecil?" Tanya Papa Lyana, ia tersenyum lebar sambil menyerahkan kedua pisau itu.

Tangan Alingga langsung gemetar, pulpen yang tadi ia gunakan untuk mengancam jatuh ke lantai begitu saja.

"Ayo pilih, kalau saya boleh saranin pakai yang besar aja biar lebih cepat."

ALINGGA (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang