27 ALINGGA

12.2K 1.3K 34
                                    

Jangan jadi pembaca gelap ya, gak baik..

Sejak tiga puluh menit lalu setelah pergi dari pemakaman, mobil itu masih saja terasa hening. Alingga memarkirkan mobilnya tapi tidak mengatakan akan kemana sehabis ini, Lyana juga tidak berani bertanya. Takut mengganggu laki-laki itu.

"Lapar nggak?" Alingga menoleh, menatap Lyana selama beberapa detik lalu kembali mengelus kucingnya.

"Lumayan, hehe."

"Ada warteg tuh! Turun ayo," ujar laki-laki itu, menunjuk kearah warung makan di depan mereka. Suara-suara bising terdengar karena memang tempatnya yang tepat di pinggir jalan.

"Disini?" Lyana bertanya dengan nada tidak nyaman. "Kenapa gak cari restaurant aja? Maksudnya kan tempatnya lebih nyaman dan gak berisik juga, udah gitu pasti bersih lagi."

"Gak ada duit."

"Idih bohong! Mana ada orang kayak lo gak punya duit, waktu itu aja lo ngerjain gue sampai habis 300 ribu! Masih bilang gak ada duit lo?"

"Itu buat makan Jennie bukan gue."

Kening gadis itu mengerut, ia sedikit memiringkan kepalanya menatap Alingga. "Jadi maksud lo nutrisi Jennie si kucing bencong ini, lebih penting dari gue?!" Tanyanya dengan nyolot.

"Dia jantan, jaga bacot lo itu nanti dia sakit hati," balas Alingga tidak suka.

Lyana mendengus. "Ya tapi masa lo lebih mentingin kucing dari pada gue yang jelas-jelas udah jadi bini lo? Ah nyebelin."

Alingga tidak menjawab, laki-laki itu langsung keluar membawa Jennie lalu memutari mobil dan membuka pintu untuk Lyana. "Buruan turun!" Ketusnya.

Lyana melipat kedua tangannya dan menggeleng. "Gak mau!"

"Katanya lo lapar."

"Gak jadi, lo lebih mentingin kucing lo dari pada gue. Sakit hati tau guenya!" Balas gadis itu dengan nada merajuk.

Alingga menghela napas, ia menarik tangan Lyana dengan lembut. "Jennie cuma peliharaan sementara lo tanggung jawab gue, gue nggak bisa samaratakan lo sama dia," ujarnya dengan sabar.

"Maksudnya?"

Laki-laki itu menggeleng, ia menutup pintu mobil setelah Lyana keluar. "Jennie ini dari kakek."

"Ya terus?"

Alingga mencibir pelan."Gue jelasin sampai mulut gue hilang juga lo gak akan paham, karena lo cewek tolol."

"Tuh kan! Lingga mulut lo-"

"Bacot!" Sela laki-laki itu dengan cepat, ia lalu menarik tangan Lyana untuk masuk ke dalam rumah makan sederhana itu.

Lyana mendengus, dia duduk di kursi meja makan yang tidak terlalu besar, tempat makan itu seperti ruko kecil yang begitu sederhana.

"Titip, jangan lo takut-takutin dia," Alingga meletakkan Jennie dan handphonenya di meja, laki-laki itu lalu pergi untuk memesan makanan.

Lyana masih saja kesal, ia memperhatikan kucing itu lalu diam-diam menyentil telinganya dengan keras. "Gila ya lo Jen, bisa-bisanya lo di bawa ke restaurant sementara gue di tempat kecil kayak gini. Apasih istimewanya lo? Udah bencong, gak kawin-kawin. Ah lo tuh kucing minus!"

"Lo juga bukan kucing pesugihan, ngapain sih Lingga memperlakukan lo lebih spesial dari gue?"

"Tuh kan gue jadi ikutan sengklek, gue cemburu sama lo Jen?! Gue iri dan gue ngaku, puas lo?"

Gadis itu mendesah pelan, wajahnya memelas dan dia berhenti mengganggu Jennie. Tangannya ia lipat di atas meja sambil matanya memperhatikan punggung Alingga yang masih berdiri untuk memesan.

ALINGGA (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang