Dua minggu berlalu pasca Dito mencium Fania yang sedang dalam pengaruh alkohol dengan kadar cukup tinggi hingga membuat wanita itu tepar keesokan harinya dan terpaksa mengambil cuti sehari karena tak sanggup beranjak dari atas tempat tidur.
Dito dan Fania sempat berdebat soal masalah yang terjadi. Fania terus menyangkal saat Dito memojokkannya dengan mengatakan bahwa Fania mabuk untuk melampiaskan kekesalannya kepada laki-laki itu yang lupa untuk datang ke acaranya. Fania beralasan ia hanya merayakan kesuksesan acaranya hingga melupakan toleransi alkohol yang bisa diterima tubuhnya. Fania juga bersikukuh mengatakan bahwa ia sama sekali tak kecewa maupun marah. Padahal, Dito akan lebih senang kalau Fania benar-benar kecewa atau marah. Karena itu artinya Fania benar-benar mengharapkan kedatangannya.
Perdebatan itu mereka sudahi karena Dito mulai bosan memperdebatkan hal yang tak akan dimenangkannya.
"Sebagai permintaan maaf kamu karena nggak dateng ke acaraku minggu lalu, kamu wajib nemenin aku ke reuni SMA-ku besok malam. Nggak ada alasan lupa atau tiba-tiba ada emergency call dari rumah sakit atau parahnya lagi cuma gara-gara kamu sibuk futsal sama temen-temen kamu!" ucap Fania dengan menggebu-gebu.
Fania mungkin bisa dinobatkan menjadi duta mengomel karena hampir setiap hari yang ia lakukan adalah mengomeli Dito hingga mulutnya berbusa. Ada saja hal-hal yang membuatnya tak tahan untuk tak berkomentar.
Situasi ini menjadi tampak lucu sekaligus membingungkan di mata Dito. Karena jika orang luar melihat interaksi mereka berdua, mereka akan dengan percaya diri berkata bahwa Fania menikmati peran barunya sebagai istri. Istri yang hobi mengomel. Dito dan orang-orang di luar sana akan dengan sangat mudah menyadari itu.
Namun, Fania tidak.
Fania masih suka menyinggung soal kemungkinan Dito akan bertemu dengan wanita yang akan mencintai dan ia cintai dengan sepenuh hati. Ini yang membuat Dito bingung. Fania benar-benar melakukan tugasnya dengan baik. Fania menjalankan perannya sebagai istri dengan baik. Yang Dito masih tidak mengerti kenapa Fania mau repot-repot melakukan ini jika begitu yakin kalau dalam sepuluh bulan ke depan, keduanya kemungkinan besar akan berpisah karena omong kosong tentang tak bisa saling mencintai?
Terkadang, Dito sampai bertanya-tanya, apakah ada setidaknya sebuah kesempatan untuk mewujudkan 'cinta karena terbiasa hidup bersama'? Orang-orang bisa dan boleh melakukannya, bukan? Kenapa mereka berdua tidak? Kenapa Fania tidak memberi mereka berdua kesempatan itu? Dito benar-benar tak mengerti apa yang dipikirkan wanita itu.
"Dit, I'm talking here. Are you listening to me now?!"
Fania memelototi Dito dengan galak dan jangan salahkan Dito jika laki-laki itu malah ingin melucuti satu demi satu lembar kain yang menutupi tubuh Fania.
"Oke, jadi aku belum dimaafin? Aku nggak tahu kalau kamu ternyata pendendam." Dito bersedekap. Tampak terlalu santai meski Fania sudah terlihat geram terhadapnya. "Ngomong-ngomong acaranya kok dadakan banget?"
Fania mengendikkan bahu. "Aku udah dapet undangannya minggu lalu. Tapi sengaja nggak bilang ke kamu."
Dito ingin tertawa, tetapi ia tahan. "Jadi ini ceritanya kamu balas dendam?"
"Nggak juga. Tapi karena aku emang butuh gandengan ke acara horor ini. Dan kamu adalah kandidat paling cocok sebagai plus one."
"Acara horor?"
"Iya. You know lah, ajang pamer kesuksesan."
Dito tertawa geli. "Dan kenapa aku jadi kandidat paling cocok?"
Fania meringis sebelum menjawab, "Aku udah biasa bragging soal pencapaianku di dunia fashion. Dan temen-temenku udah nggak tertarik lagi. Dulu mereka bakal iri kalau aku bragging soal ngerancang wedding dress-nya Tsania Azzar dan Jenny Salim yang dikenal dan dikagumi masyarakat Indonesia. Tapi sekarang, mereka udah nggak peduli. Mereka lebih tertarik ngurusin kisah percintaan para wanita jomlo yang kesepian. Karena kata mereka percuma sukses jadi wanita karir kalau nggak punya pasangan dan kesepian."
KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAH KONTRAK [TAMAT]
RomanceJangan lupa follow dulu sebelum membaca^^ . . Belum genap satu bulan menikah, Fania Sasmito dan Dito Subagja memutuskan untuk pisah kamar. Bukan tanpa alasan. Pernikahan yang tidak mereka kehendaki itu menyiksa batin dan mereka memilih untuk tidak t...