30. Spill the Truth

2.8K 225 7
                                    

Fania melemparkan tubuhnya ke dalam pelukan Dito. Ia melingkarkan lengan di leher Dito dengan erat. Tak berhenti sampai di situ, Fania menciumi wajah Dito dengan gemas saking bahagianya.

"Thank you," ucap Fania dengan tulus. Matanya menyorot bahagia.

"My pleasure. Tapi kita tetap harus break the news ke Ibu, Mama, sama Papa soal rencana ke Paris minggu-minggu ini. Biar mereka ada waktu buat mencerna berita ini."

Dito melarikan jemarinya di wajah Fania dengan sentuhan ringan. Kemudian memainkan ujung rambut Fania yang tergerai.

"Aku yakin mereka nggak akan terlalu senang soal berita ini. Karena kamu tahu sendiri kan, beberapa bulan belakangan mereka mulai nuntut kita berdua buat segera program hamil. Mereka mau kita settle dan fokus sama keluarga."

Keantusiasan Fania soal Paris sedikit lenyap. Ia memikirkan kedua orang tuanya dan ibu mertuanya. Mereka sedang gencar-gencarnya mencecar Fania tentang kapan ia dan Dito berencana untuk punya anak, bukannya malah sibuk sendiri-sendiri dengan pekerjaan.

"Mereka pasti menganggap kita sengaja kabur karena nggak mau ditodong-todong soal anak," gumam Fania.

Dito menjauhkan tubuh Fania dari tubuhnya. Ia menatap istrinya dengan serius.

"Karena aku udah setuju soal pindah sementara ke Paris demi kamu, kamu yang berkewajiban kasih tahu orang tua kita."

"What? Kok gitu?" protes Fania.

Tentu saja Fania keberatan. Karena selama ini, setiap kali orang tuanya menodongnya soal anak, selalu Dito yang pasang badan di depannya dan menjelaskan berbagai alasan kenapa Fania masih belum hamil juga.

"Kan ini berkaitan sama mimpi yang kamu kejar. Aku nggak benar-benar tahu apa yang kamu nngin capai, jadi aku cuma akan temani kamu waktu bilang ke mereka," kata Dito. Benar-benar serius bahwa ia akan membiarkan Fania 'mandiri' di depan orang tua mereka kali ini.

Fania memasang wajah cemberut dan kemudian mencibir, "Nggak fair. Kan kita berdua sama-sama bakal pindah kerja di Paris, bukan cuma aku doang."

Dito menatap Fania dengan geli.

"Kamu udah pasti bakal kerja di Paris, Fania. Sedangkan aku, aku masih harus apply ke rumah sakit - rumah sakit yang belum tentu mau nerima aku. Jadi, aku yang bakal lebih kesulitan di sana. Kalau bicara soal keadilan, kamu yang kasih tahu orang tua kita. Jadi kita impas. Okay?"

"Kamu paling bisa memanfaatkan situasi biar nggak merugi sendirian."

"Atau biar aku yang break the news ke orang tua kita, tapi kita LDR-nya jadi enam bulan? Atau tiga tahun sekalian, jadi aku nggak perlu repot-repot ikut pindah?"

"Kamu ngeselin banget emang."

Dito terkekeh-kekeh karena merasa menang. Seperti teringat akan sesuatu yang tiba-tiba melintas di pikirannya, Dito kembali memasang ekspresi serius di wajahnya. Ia duduk tegak, kedua tangannya saling bertautan.

"Kita lupakan bentar soal Paris. Karena ada sesuatu yang penting yang perlu kita bicarakan."

Dan Fania langsung menunjukkan sikap waspada. Agak kesal juga karena Dito tidak memberinya ruang untuk berbahagia lebih lama.

"Dit, bisa nggak sih kita tuh ngejalanin satu hari aja dalam ketenangan gitu? Aku lagi bahagia banget hari ini karena aku nggak perlu ninggalin kamu dan pergi sendiri ke Paris. Tapi ini bahkan belum ada lima menit sejak kamu ambil keputusan soal Paris dan kamu udah ngajak ribut."

"Aku nggak ada ngajak ribut."

"Kamu bilang mau bicarain soal hal penting, Dit. Kamu lupa kalau setiap kita ngobrol tuh pasti ada aja yang bikin kita ribut?"

NIKAH KONTRAK [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang