"People make mistakes. All the time. Entah disengaja maupun nggak disengaja," tutur Fania yang sejak dalam perjalanan menuju apartemen mengoceh tentang kesalahannya. "We got married. Itu bukan kesalahan. Aku, kamu, keluarga kita tahu kalau pernikahan kita bukan kesalahan. Tapi aku salah karena sejak awal menganggap pernikahan kita sebuah kesalahan, walaupun aku tahu kalau itu bukan kesalahan. Dan aku mengacaukan semua dengan segala kekhawatiranku yang nggak jelas. I'm freaking out. Aku ketakutan memikirkan keseharianku yang nggak sama lagi karena tiba-tiba harus menikah. Minta pisah kamar, maksa kamu setuju soal kontrak, and everything−"
"Fania, bisa kamu diam, please?" potong Dito dengan agak ketus. "Aku lagi nyetir dan aku nggak bisa konsentrasi karena suara kamu mengganggu."
Fania tidak bisa diam karena ia masih terlalu panik. Wanita itu butuh mengeluarkan ganjalan yang menyesaki kepalanya dengan terus membicarakannya agar ia bisa merasa sedikit lebih baik.
"Kamu marah. Kamu kecewa. I know it. Dan kamu berhak. Oke? Kamu suami aku dan kamu berhak marah karena istri kamu yang nggak kompeten dan tolol."
Dito melirik Fania yang duduk kursi penumpang selama beberapa detik. Ia mulai kesal.
"Aku bisa aja maafin kamu. It's easy. Memaafkan kamu setelah kamu berbuat kesalahan adalah hal paling mudah aku lakukan. Tapi sekarang aku nggak mau lagi begitu karena kamu jadi makin nggak tahu diri dan menganggap aku terlalu gampangan.
"Kamu harus tahu, Fania. Aku selalu menoleransi semua kegilaan kamu bahkan sejak kita berdua masih anak-anak. Dan kamu nggak pernah sadar akan hal itu. Dan sekarang aku menyesal. Aku menyesal membiarkan kamu seenaknya kempesin ban sepedaku biar aku nggak bisa sepedaan sama temen-temenku dulu. Aku menyesal kasih toleransi ke kamu waktu kamu ngebuang bola basketku berkali-kali biar aku nggak bisa main basket lagi walaupun kamu tahu kalau aku paling suka main basket. Seharusnya aku marah waktu itu dan nggak membiarkan kamu gangguin aku terus-terusan. Look at you now! Kamu menjadi penindas suami kamu dan itu semua terjadi karena aku terlalu lembek ke kamu sejak dulu.
"Jadi, aku nggak mau maafin kamu semudah itu walaupun kamu dengan sadar mengabsen semua kesalahan dan kebodohan kamu sendiri dari A sampai Z. Aku nggak akan luluh cuma karena kamu nunjukin seberapa menyesalnya kamu dengan nangis-nangis minta dibawa pulang setelah kamu kabur dari apartemen semalaman."
Dito bicara panjang lebar hingga terengah-engah. Ekspresinya agak menakutkan. Ia menatap lurus ke depan. Bibirnya terkatup rapat. Rahang mengeras. Seolah-olah bisa kapan saja meledak.
Fania terpaku selama beberapa saat karena Dito tidak mau berhenti menamparnya dengan kemarahan terpendam laki-laki itu terhadap dirinya.
"Aku nggak minta kamu buat maafin aku sekarang, Dit. Aku ngerti kamu masih—"
Dito menyela tanpa basa-basi. "Good. Kalau kamu ngerti, kamu bisa diam aja. Atau kamu mau aku turunin di sini? Kamu bisa cerita ke orang-orang yang kamu temui di jalanan tentang apa pun itu yang ada di kepala kamu sekarang, bukannya melampiaskannya ke aku dan membuat aku darah tinggi."
Fania langsung bungkam karena Dito benar-benar tak mau melakukan gencatan senjata meski dirinya sudah mengupayakannya. Dan Fania tak ingin membuat Dito semakin marah, lebih dari sekarang.
***
Fania baru saja selesai mandi. Ia masih mengenakan jubah mandi, rambut basahnya masih terbalut handuk saat keluar dari kamar dan mendapati Dito juga baru keluar dari kamarnya.
"Dit, mau ke mana?"
Dito menatap Fania dengan malas. "Keluar," jawabnya singkat.
"Aku tahu, Dit. Aku cuma pengen tahu. Kamu mau ke mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAH KONTRAK [TAMAT]
RomanceJangan lupa follow dulu sebelum membaca^^ . . Belum genap satu bulan menikah, Fania Sasmito dan Dito Subagja memutuskan untuk pisah kamar. Bukan tanpa alasan. Pernikahan yang tidak mereka kehendaki itu menyiksa batin dan mereka memilih untuk tidak t...