25. Is This Love?

2.9K 230 10
                                    

Jam dinding yang berada di ruangan Fania menunjukkan pukul setengah empat saat ia menghubungi Dito. Niatnya ia ingin mengajak laki-laki itu jalan-jalan ke mall dan nonton film ke bioskop atau ke mana saja asal bisa bertemu dengan laki-laki itu, bukan hanya melalui sambungan telepon seperti sama halnya dengan satu minggu terakhir. Tetapi Dito langsung menolak tanpa berpikir. Seolah-olah ajakan Fania itu mengandung virus.

"Kita udah hampir seminggu nggak ketemu lho, Dit," protes Fania melalui sambungan telepon saat menjelang pulang kerja. "Kita tinggal atap tapi nggak ketemu sampai berhari-hari tuh nggak wajar, Dit."

"Mau gimana lagi. Kita berdua lagi sama-sama sibuk," jawab Dito.

Fania menirukan jawaban Dito, mencibir tanpa suara karena mulai bosan dan dengan alasan itu yang selalu dilontarkan oleh laki-laki itu dalam enam hari teakhir.

"Aku nggak sibuk." Fania menekankan jawabannya. "Aku nggak tau ini cuma perasaan aku aja apa bukan, tapi aku ngerasa kamu lagi menghindari aku. Did I do something wrong?"

"Nggak, Fan."

"Tuh, kamu juga jawabnya singkat-singkat gitu. Kalau aku nggak salah apa-apa kenapa kamu jutek banget, sih?"

"Jutek gimana? Aku biasa aja."

"Ini kayak bukan kamu. Kamu nggak akan sengaja jutek ke aku kalau aku nggak salah apa-apa. Aku bikin salah sama kamu, kan? Just tell me."

"Kalau kamu ngerasa ada ngelakuin kesalahan, then you tell me first," tutur Dito. Sama sekali tidak memberikan gambaran apa yang sebenarnya telah terjadi.

Fania mulai emosi. Dito sudah tahu kalau Fania tidak mahir mengelola emosinya. Kenapa masih sengaja memancing kekesalannya?

"Ini maksudnya kamu nyuruh aku buat lebih peka sama kesalahanku, yang mana aku sendiri bahkan nggak ngerasa pernah ngelakuin kesalahan apa-apa. Terutama dalam semingguan terakhir ini. Tapi kamu yang tiba-tiba sibuk menghindar dari aku. Kalau aku salah dan aku nggak sadar, tugas kamu yang kasih tahu aku di mana letak kesalahanku, Dit. Jangan kayak gini."

Setelah menyampaikan kekesalannya, beberapa saat kemudian terdengar helaan napas Dito dari seberang telepon. Dan jantung Fania pun tiba-tiba berdebar keras. Ia panas dingin menanti jawaban Dito. Karena ia benar-benar tak sadar telah melakukan sesuatu yang salah. Dan Fania mengira-ngira kalau kesalahan yang ia lakukan kemungkinan cukup serius hingga membuat laki-laki itu begitu judes dan dingin. Tapi apa?

Apa yang telah diperbuatnya dalam seminggu, ah tidak. Bahkan dalam tiga minggu terakhir ini—meski ia dan Dito sesekali berdebat tentang hal sepele—sama sekali tidak ada masalah berarti. Fania melakukan aktivitasnya seperti biasa. Begitu pula Dito. Dan terakhir kali ia bertemu di pagi hari kemudian siangnya bicara lewat telepon dengan Dito minggu lalu, sama sekali tidak ada tanda-tanda kalau Fania telah melakukan kesalahan. Ia hanya menghabiskan akhir pekannya dengan Puspa. Staycation dengan sahabat karibnya itu di salah satu hotel di Jakarta Selatan. Lalu window shopping ke mall. Yang jelas, ia bersenang-senang dengan Puspa. Hanya dengan sahabatnya itu.

"Dit, kenapa diam aja? Aku salah apa?" tanya Fania lagi yang mulai lelah bertanya hal yang sama. Bagaimana tidak? Ia sudah menunggu dengan harap-harap cemas tetapi Dito malah bungkam. "Aku samperin ke rumah sakit, ya?"

Dan giliran mendapat pertanyaan itu, Dito langsung menjawab dengan cepat, "Ngapain ke sini, Fan? Nggak usah."

"Kita makan siang bareng, Dit. Sambil ngobrol. Emangnya kamu nggak kangen ngobrol sama aku?"

"Aku lagi ribet. Nggak usah ke sini."

Fania berhak marah dan kesal karena ketidakjelasan sikap suaminya itu, kan?

NIKAH KONTRAK [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang