Ada yang masih nungguin update-nya nggak nih???? 😁😁😁
Bab ini ada 2800an kata, cukup panjang lah ya buat dibaca sambil nungu update Kamis besok🤣
Happy reading~~~
***
Fania menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Wanita itu sedang bingung, tak tahu harus memulai dari mana. Sudah lebih dari lima belas menit sejak ia dan Dito duduk berhadap-hadapan setelah makan malam di pantri apartemen.
"Fania, kalau kamu nggak bisa bicara sekarang, it's okay—"
"Kalau aku nggak jelasain apa-apa, kamu akan pakai ini sebagai alasan buat menghindari aku lagi? Iya?"
Dito menggeleng kecil. "Aku di sini mau bicara baik-baik, Fania. Jangan mancing aku."
Fania mengembuskan napas beberapa kali untuk meredakan emosi yang campur aduk sebelum berkata, "Apa yang aku bilang semalam ke kamu... itu semua benar."
"Kamu bilang apa emangnya? Say it again."
"Kamu udah dengar semalam, Dit."
"Aku mau kamu bilang lagi sekarang. Semalam kamu mabuk, Fan. Kamu setengah sadar. Dan sekarang, karena kamu udah sepenuhnya sober, aku mau dengar langsung." Dito memutar tubuh Fania. Memegangi kedua pundaknya. "Look at my eyes! And say it louder, please!"
Fania melakukan apa yang Dito minta. Ia menatap mata laki-laki itu. Dan perasaannya lumer. Sel-sel dalsm tubuhnya serasa meleleh. Kenapa kemarin-kemarin dirinya tidak merasakan ini? Atau sebenarnya ia selalu merasakan gejolak perasaan yang meluap-luap ini, tetapi mencoba menyangkal dan mengabaikannya.
Lidahnya kelu. Jantungnya seperti diremas-remas saat menyadari bahwa perasaannya begitu nyata. Rasa cintanya kepada Dito—setelah beberapa lama saling tatap dengan mata gelap laki-laki itu—benar-benar nyata. Benar kata Puspa, ia ingin dan ia harus memberitahu Dito tentang perasaannya. Fania harus menunjukkan perasaannya agar laki-laki itu tahu bahwa dirinya bersungguh-sungguh dalam menjalani pernikahan mereka. Namun, kenapa menyatakan cinta rasanya sesulit ini? Untuk sekadar membuka mulut saja rasanya berat sekali.
"Fania ...," bisik Dito yang mulai tak sabar.
"Aku sayang kamu, Dit."
Dito meraih ujung rambut Fania yang jatuh menutupi wajah lalu menyelipkannya ke belakang telinga.
"Aku tahu. Aku udah tahu sejak lama. Kamu nggak perlu ulang-ulang lagi bagian itu."
Fania membasahi bibirnya yang terasa kering, padahal ia rutin mengenakan pelembab bibir. Kemudian memulai pidato pernyataan cintanya.
"I love you, Dito. Kamu laki-laki terbaik yang dihadirkan Tuhan buat aku. Kamu menyeimbangkan hidup aku. Kamu memang bukan segalanya, tapi kamu menyempurnakan hidupku dengan cara yang nggak benar-benar aku sadari. Kamu selalu ada di sini," Fania menunjuk kiri dadanya, tempat di mana jantung berdetak, "sejak dulu, Dit. Aku nggak pernah benar-benar melupakan sosok kamu walaupun kamu udah nggak ada di hidup aku selama masa-masa remaja sampai aku dewasa. Aku sadar kalau kehadiran kamu begitu penting dan akan selalu penting, waktu kita ketemu lagi setahunan yang lalu. It's silly, tapi aku menganggap pertemuan kita sebagai takdir. Perjalanan kita sampai ke sini karena sudah digariskan Tuhan. Aku baru benar-benar sadar kemarin. Puspa yang membuat aku sadar akan perasaanku."
Fania mengambil jeda sejenak untuk bernapas. Matanya terpaku lekat-lekat pada mata Dito yang juga tak lepas menatapnya.
"I love you. I really am, Dit," lanjut Fania lirih, namun pasti. "Selama ini aku mengira kalau kedekatan kita, kehangatan yang melingkupi kita, bisa kita dapat hanya karena rasa sayang aku ke kamu sebagai kakak laki-laki. Nyatanya, tanpa sadar aku berusaha terlalu keras untuk mempertahankannya supaya tetap berada di batas itu. Tapi harus aku akui kalau ternyata jatuh cinta sama kamu bukan hal yang sulit. Aku cuma selalu berusaha menyangkal kalau apa yang ada di antara kita nggak nyata. Karena mustahil kita punya hubungan lebih dari sekadar kakak dan adik. We are more than that. Kita suami istri. Dan aku harap, selamanya akan terus begitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAH KONTRAK [TAMAT]
RomanceJangan lupa follow dulu sebelum membaca^^ . . Belum genap satu bulan menikah, Fania Sasmito dan Dito Subagja memutuskan untuk pisah kamar. Bukan tanpa alasan. Pernikahan yang tidak mereka kehendaki itu menyiksa batin dan mereka memilih untuk tidak t...