Bab ini 3000 kata lebih lhooo, lebih panjang dua kali lipat dari beberapa bab sebelumnya... semoga nggak bosen ya haha
Happy reading~~
***
Enam jam sebelumnya...
Ada rasa sesak dan mendesak ingin bertemu ketika Dito mendengar suara Fania melalu sambungan telepon—yang terdengar gemas terhadap dirinya karena menghindar hampir semingguan penuh. Mendengar suara Fania, mendadak timbul begitu banyak hal yang ia ingin lakukan dengan Fania. Memeluknya, menciumnya, melakukan hal-hal yang menyenangkan di atas tempat tidur, atau sesederhana duduk berdempetan di atas sofa sambil menonton series Netflix bersama di akhir pekan, tanpa banyak bicara, hanya fokus menatap layar datar televisi di depan mereka.Namun, sejak minggu lalu, semua menjadi terasa juah dan mustahil. Untuk berhadapan langsung dengan Fania saja Dito merasa tidak sanggup melakukannya, apalagi berdekatan nyaris tanpa jarak, itu adalah hal yang Dito pikir tidak akan pernah bisa ia lakukan lagi.
"Aku nggak tau ini cuma perasaan aku aja apa bukan, tapi aku ngerasa kamu lagi menghindari aku. Did I do something wrong?"
"Ini kayak bukan kamu. Kamu nggak akan sengaja jutek ke aku kalau aku nggak salah apa-apa. Aku bikin salah sama kamu, kan? Just tell me."
"Damn it, Dito! What the hell is going on?! Kasih tahu aku, kamu kenapa? Please, jangan bikin aku bingung gini, Dit. Terakhir kita ketemu, kita masih baik-baik aja. Kenapa kamu tiba-tiba nggak jelas gini? Please, just tell me. What. Is. Going. On?"
"Kamu bilang aku nggak bikin salah. Tapi kamu nggak mau ketemu aku. Kenapa, Dit? Kamu muak karena ternyata kamu mulai sadar kalau aku nggak worth it? Kamu udah capek?"
Pertanyaan demi pertanyaan Fania itu kembali terngiang di kepalanya. Pertanyaan yang tidak terjawab dengan jelas. Karena Dito pun sulit mendapatkan jawabannya.
Apa yang ia lakukan saat ini sangat tidak dewasa dan konyol. Dito menyadari betul akan hal itu. Apa susahnya terlebih dulu mengajak Fania bicara—Fania bahkan sudah berinisiatif bertanya lebih dulu dan juga berkali-kali mengajaknya bicara—tanpa perlu membuat wanita itu kesal dan mempertanyakan pada dirinya sendiri akan kepekaannya terhadap apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka?
Jika mempertimbangkan posisi Fania saat ini, rasanya sangat tidak adil bagi wanita itu. Saat mereka terhubung lewat telepo, terdengar bahwa Fania benar-benar tidak paham akan apa yang terjadi. Namun, Dito memilih untuk menjadi egois dan sengaja menghukum Fania karena foto-foto sialan yang membuat dirinya patah hati hingga tak doyan makan dan tak bisa tidur nyenyak itu.
"Maaf, Dok, ganggu acara makan siangnya sebentar. Ada seorang laki-laki yang mencari Dokter Dito."
Dito sedang makan siang dengan para rekan kerjanya di kantin rumah sakit—setelah sempat ribut dengan Fania lewat telepon perkara dirinya yang terus menghindar dan sudah berniat akan menghubungi wanita itu setelah selesai makan siang untuk meminta maaf atas sikapnya tadi yang terlalu dingin dan arogan—saat salah seorang perawat menginterupsi acara makan siang itu dan mengatakan bahwa Dito kedatangan tamu.
"Mencari saya? Bukan pasien?"
"Iya, Dok. Mencari Dokter Dito dan katanya bukan pasien."
Tanpa banyak bertanya, Dito meninggalkan kantin tanpa menghabiskan makanannya untuk segera menemui si 'tamu laki-laki' yang sudah diantarkan perawat itu ke ruangannya dan diminta untuk menunggu sebentar.
Dito sudah terlalu sering mendapat kejutan, maka ketika ia menemukan Ferdi sedang duduk nyaman di kursi kerjanya, Dito tidak tampak terkejut walau ada gemuruh riuh di dadanya yang tak pernah bisa dipadamkan semenjak Ferdi mengacau dalam hidupnya dengan Fania. Malah sejujurnya Dito sudah mendapati suatu firasat bahwa cepat atau lambat laki-laki itu akan muncul.
KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAH KONTRAK [TAMAT]
RomanceJangan lupa follow dulu sebelum membaca^^ . . Belum genap satu bulan menikah, Fania Sasmito dan Dito Subagja memutuskan untuk pisah kamar. Bukan tanpa alasan. Pernikahan yang tidak mereka kehendaki itu menyiksa batin dan mereka memilih untuk tidak t...