32. PillowTalk

3.3K 212 3
                                    

Semua menjadi terasa begitu mudah dalam beberapa minggu terakhir ini. Fania seperti mendapatkan kedamaian dan ketenangan yang rasanya sudah lama tidak ia rasakan dalam hidupnya. Kehidupan rumah tangganya dengan Dito belakangan ini minim pertengkaran. Benar-benar menentramkan rasanya. Dan ada lagi yang lebih baik dari itu. Fania merasa seperti sedang kasmaran, seperti masa-masa SMA-nya dulu saat pertama kali naksir kakak kelas.

Dito memang tidak mendadak berubah menjadi lebih perhatian dari sebelumnya atau menjadi tidak terlalu sibuk lagi dengan urusan rumah sakit sehingga punya waktu yang lebih banyak untuk berduaan. Sikap Dito tidak banyak berubah meski Fania telah mengungkapkan perasaannya.

Namun, Fania tetap mensyukuri detik demi detik yang ia habiskan berdua dengan Dito. Meski itu hanya beberapa jam di malam hingga pagi hari, atau terkadang di waktu makan siang saat Fania mengunjungi Dito ke rumah sakit—selalu Fania yang berinisiatif mengunjungi Dito karena jam kerjanya lebih fleksibel.

Oh, ada satu hal lagi yang penting. Sejak beberapa minggu lalu, tidak ada lagi acara pisah kamar. Karena mau pisah bagaimana jika keduanya selalu lekat satu sama lain? Habis bercinta atau tidak, keduanya tidak mau saling berjauhan. Maunya berdekatan terus. Selama berada di apartemen—sepulang kerja hingga pagi menjelang berangkat kerja—keduanya hampir selalu lengket dengan satu sama lain.

Malam ini tak ada bedanya. Setelah makan malam, keduanya duduk berangkulan di atas sofa sambil menonton TV dan bercerita tentang keseharian mereka. Membahas hal-hal dari mulai sepele hingga serius. Yang setelah beberapa lama keduanya saling rayu, berbagi ciuman, dan berujung saling melucuti baju masing-masing. Sekali lagi, mereka menghabiskan malam tanpa lepas dari gairah yang membara.

"Kamu masih ingat seragam jersey tim basket SMP kamu yang dulu tiba-tiba hilang?" tanya Fania sambil memainkan jari—membuat pola melingkar menggunakan jari telunjuk—di dada Dito yang tak tertutupi sehelai benang pun.

Dito merapikan anak rambut Fania yang kusut dan menjawab, "Aku tahu hilang ke mana. Kamu buang kan? Aku udah nggak kaget lagi, Fan. Kamu kan hobi buang barang-barang kesayanganku."

"Nggak. Kamu salah. Aku nggak pernah niat buang jersey kamu itu."

"Terus kamu ke manain?"

Fania terkekeh. Ia membenahi posisinya agar menjadi lebih nyaman—di dalam rangkulan lengan kekar Dito, kepala bersandar di dadanya—dan menaikkan selimut yang melorot.

"Kamu jadiin keset?" tebak Dito.

Fania menggeleng.

"Awalnya aku cuma iseng sembunyiin aja di laci kamarku. Terus aku lupa kalau aku simpan di situ sampai kamu pindah. Waktu aku nggak sengaja nemu seragam kamu itu beberapa bulan kemudian, aku langsung nangis-nangis lagi. Kayaknya waktu itu aku akhirnya sadar kalau kamu udah benar-benar pergi dari hidup aku."

Dito berdecak tak percaya.

"Aku kadang masih nggak paham kenapa kamu seiseng itu, Fan. Dan aku pun masih susah percaya kalau kamu sebegitu kehilangan aku dulu."

"Aku kadang juga mempertanyakan hal yang sama sih. Tapi yang jelas waktu itu aku benar-benar ngerasa kehilangan sosok kakak yang bisa aku ajak berantem, Dit. Aku nggak bisa biasa-biasa aja. Dan menurutku wajar sih. Kita udah bersama-sama sejak kecil karena nggak punya saudara kandung yang bisa diajak main setiap hari. Terus kamu tiba-tiba pergi."

Fania sedikit mendongak untuk mencium garis rahang Dito, kemudian mengelus pipi laki-laki itu dengan lembut.

"Tapi mungkin memang udah seharusnya kamu pergi waktu itu. Kalau enggak, aku nggak tahu apakah aku bisa tumbuh dewasa seperti sekarang. Mama pernah bilang kalau kemungkinan aku akan jadi anak manja kalau nempel terus sama kamu."

NIKAH KONTRAK [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang