26. Tension

2.4K 251 27
                                    

Selamat membaca untuk kalian semua yang masih sabar ngikutin kisah pasangan nyebelin ini😁😁😁

***

Setelah mengatur napas untuk yang kesekian kalinya dan mencoba untuk menenangkan debaran jantung yang menggila—Fania telah berkali-kali merutuki Dito dalam hati karena membuat dirinya merasa seperti ini—Fania perlahan melangkahkan kaki, melewati lorong-lorong rumah sakit yang cukup ramai, sempat berpapasan dengan keluarag para pasien, perawat yang lalu lalang, dan kemudian ia menghentikan langkah kakinya saat ia sampai di bagian resepsionis.

"Selamat sore, Ibu. Ada yang bisa kami bantu?" sapa salah satu petugas yang duduk di balik meja resepsionis dengan nada dan senyum ramah.

"Sore, Bu." Fania balas tersenyum. Ia turut menggunakan panggilan 'Ibu' menyesuaikan panggilan yang disematkan untuknya. "Maaf, kalau boleh tahu, Dokter Dito masih di rumah sakit atau sudah pulang ya, Bu?"

Petugas itu masih mempertahankan senyum ramahnya.

"Dokter Dito sedang meeting dengan dokter-dokter lain untuk rencana operasi besar minggu ini, Bu. Kemungkinan sebentar lagi selesai."

Fania baru ingat, sebelum hubungannya dengan Dito merenggang, Dito sempat bercerita bahwa laki-laki itu akan ikut dalam operasi pemisahan bayi kembar siam yang akan dipimpin oleh profesornya. Jadi, kemungkinan besar Dito tidak berbohong saat laki-laki itu berkata bahwa ia sedang ribet dan sibuk, sehingga sulit ditemui, bahkan di waktu-waktu senggangnya. Namun, tetap saja hal itu tak membuat perasaan Fania lebih baik.

Dito memang seringkali butuh waktu yang cukup untuk dirinya sendiri saat sedang mempersiapkan operasi penting. Hanya saja, rasanya terlalu berlebihan jika untuk bertemu dengan Fania saja sampai tidak sempat. Dan dari sana, Fania tahu bahwa ini bukan perkara operasi penting yang tak bisa diganggu, melainkan karena masalah lain yang Fania masih raba-raba.

"Ibu salah satu pasien Dokter Dito, ya?"

Suara petugas paruh baya yang mengenakan hijab berwarna senada dengan seragam kerjanya itu menyentak Fania yang tengah berkutat dengan pikirannya sendiri.

"Mohon maaf sekali, hari ini tidak ada jadwal konsultasi dengan Dokter Dito. Kalau mau konsultasi dengan beliau, Ibu bisa datang besok pagi ya, Bu," jelasnya kemudian.

Fania langsung menggeleng. "Bukan, Bu. Saya bukan mau konsultasi dengan Dokter Dito. Saya juga bukan pasiennya."

"Baik, kalau begitu, ada perlu apa dengan Dokter Dito ya, Bu? Biar saya bisa bantu hubungkan dengan beliau," kata si petugas.

Beberapa bulan yang lalu, saat Fania berkunjung ke rumah sakit ini untuk membawakan dompet Dito yang tertinggal di apartemen, ia juga meengalami hal serupa. Saat itu, karena masih belum terbiasa menyandang status baru sebagai istri, Fania menjawab bahwa dirinnya adalah salah satu keluarga Dito, tanpa menyebut spesifik statusnya. Waktu ayah mertuanya meninggal, Fania tidak muncul menemani Dito menyambut rekan-rekan kerja Dito yang datang melayat karena Fania sedang menemani ibu mertuanya.

Kemudian beberapa bulan berikutnya, saat ia menyeret Dito dan Ferdi ke rumah sakit ini selepas mereka berdua adu pukul hingga lebam dan berdarah-darah, Fania juga tidak sempat beramah-tamah dengan rekan-rekan kerja Dito. Jadi, wajar-wajar saja jika tidak ada yang mengenalinya. Dan kali ini, setelah berbulan-bulan menyandang status sebagai istri Dito, Fania tidak mau lagi menjadi sosok yang tidak dikenali. Sama seperti yang pernah dikatakan Dito berbulan-bulan yang lalu. Fania kini juga merasa serakah.

Setelah cukup lama terdiam karena terdistraksi oleh pikirannya sendiri, Fania kembali bersuara. Kali ini ia menarik senyum tipis yang langsung pudar dalam satu detik.

NIKAH KONTRAK [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang