25. Benedict Gradimulya

19 7 0
                                    

25. Benedict Gradimulya

Seharian Boy menemani sang ayah yang terbaring diatas kasurnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seharian Boy menemani sang ayah yang terbaring diatas kasurnya. Sejak kejadian kemarin, Gideon belum bisa berdiri. Siapa yang tahu kalau Tristan diam-diam membaluri parang dengan racun yang bisa melumpuhkan tubuh. Untungnya Gideon ditangani dengan cepat. Setidaknya, Pria itu tidak akan lumpuh permanen. Namun, perlu waktu lama bagi Gideon untuk masa pemulihannya.

Boy memang tidak menyalakan ponselnya sejak ia sampai di rumah. Ia cukup lelah karena harus mendengarkan segala ocehan Amanda mulai dari penyembuhan Gideon, pembalasan dendam pada Tristan, hingga Plan B. Menjadi anak seorang raja Intelijen memang sesulit itu. Namun, menurut Amanda, Boy akan segera dipertemukan dengan Andrea dan Helia untuk mendiskusikan rencana baru.

Boy memijit-mijit tangan Gideon yang tengah tertidur. Ia merasa tak tega melihat kondisi ayahnya yang kritis meskipun Gideon selalu berkata kalau dia kuat melakukan apapun. Boy begitu mencintai dan menghormati ayahnya. Jika sudah seperti ini, sudah pasti Boy akan menghabisi Tristan dalam waktu dekat. Tak peduli berapa banyak senjata yang dibawanya, Boy sudah yakin kemampuannya bisa menaklukkan senjata-senjata Tristan, meski itu gas air mata sekalipun.

Suara ketukan pintu terdengar hingga mengalihkan perhatian Boy. Seorang lelaki muncul dibalik pintu, membuat pil obat dan segelas air. Atas datang untuk melakukan pengecekan kembali pada tubuh Ayahnya itu. Dari raut wajahnya, tampaknya Atas telah menemukan sesuatu yang dapat mempercepat proses penyembuhan Gideon.

"Apa?" Boy bertanya dengan nada dingin pada saudaranya itu. Atas duduk di kasur yang sama sambil menyerahkan pil dan air minum pada Gideon.

"Gue udah nemuin obat yang cocok buat Papa. Sebentar lagi Papa sembuh, gue jamin!" Serunya. Gideon tersenyum mendengar berita dari Atas. Memang ia selalu membanggakan anak pertamanya itu. Meskipun sebenarnya, ada sesuatu yang membuat hubungan keduanya terpisah.

"Kamu emang keren. Anak Gradimulya apa yang gak keren sih?" Ujar Gideon. Seketika wajah Atas yang sebelumnya senang, berubah menjadi kesal.

"Atas anak Pak Gideon." Tegasnya yang membuat Gideon tertawa terbahak-bahak. Namun tawa itu tak berangsur lama. Suasana jadi hening tiba-tiba. Gideon mengingat saat-saat itu.

"Maafin Papa," kata-kata itu keluar dengan mulus dari mulut Gideon untuk yang kesekian kalinya. Ia benar-benar terpukul setiap mengingat kejadian belasan tahun yang lalu. Penyesalan terbesar, dan pengalaman yang tak ingin ia ulangi.

"Gak usah diinget, Pa. Atas ikhlas," jawab Atas. Gideon mencoba membangkitkan tubuhnya yang sedikit mati rasa. Ia ingin memeluk kedua Putranya itu. Air mata itu tak terbendung lagi. Benar rasanya ia ingin hidup bahagia tanpa ada beban. Hidup bahagia bersama dua putra dan istrinya.

Gideon benar-benar menyesal mengingat kejadian saat itu. Kejadian dimana ia harus mengikhlaskan Atas untuk tinggal bersama keluarga Gradimulya. Seandainya saat itu Gideon tidak mengamuk membabi buta, pasti Atas masih hidup bersamanya. Hidup dengan nama Giratasa Arkanlea, bukan Benedict Gradimulya. Gideon ingat betul bagaimana ia mengamuk pada istri pertamanya hingga melanggar janji turun temurun keluarga Arkanlea.

Arkanlea || [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang