15 - Memori

684 121 10
                                    

Raga terkadang ingin sekali memukul bagian belakang kepala Nanda dan Deka yang tidak henti-hentinya mengejek hubungannya dengan Kara. Raga memang terkesan menghindar dari Kara, tapi ia memang sengaja melakukannya karena ingin memikirkan lagi rencana hidupnya. Tidak seperti Dita yang memang akan menjadi pemimpin masa depan negeri ini, Raga akan hidup menjadi bayang-bayang kakaknya. 

Meskipun dia akan dikenalkan pada masyarakat, perannya tidak akan banyak menghadapi publik secara terbuka. Ia akan menangani masalah negara dengan cara yang tidak diketahui oleh publik secara umum. Dengan kata lain, Raga akan mewarisi pekerjaan pamannya.

Raga tidak menyalahkan Kara yang belum siap menerima dirinya. Terkadang ia sendiri merasa terbebani dengan tanggung jawab yang akan dipegangnya, tetapi di sisi lain ia juga mendapat banyak kemudahan dalam hidup yang belum tentu didapatkan orang lain. Setiap kekuatan tentu akan memiliki tanggung jawab yang lebih juga.

Meskipun Kara tidak menolaknya secara gamblang, Raga hanya belum siap jika seandainya Kara benar-benar menolaknya. Sejauh yang diyakini Raga, Kara bukan tidak mungkin melakukan itu. Kadang ia menyalahkan diri sendiri kenapa dia tidak mengaku saja kalau dirinya adalah Pangeran Kedua Kerajaan selama seleksi berlangsung. Tapi, ia juga tidak bisa melakukan itu seenaknya karena aturan resmi keraton yang menyembunyikan identitas keturunan sampai mereka menginjak umur seperempat abad.

"Kenapa mas? masih mikirin mbak Kara ya?" Tanya Deka saat mereka berjalan menyusuri jalan tanah pedesaan sore itu.

Inilah alasan Raga ingin memukul anak itu. Dia tak hentinya membahas Kara dalam setiap kesempatan yang ada. Walaupun celetukan Deka benar, Raga tentu tidak akan menjawab itu.

"Jangan gitu Ka, kasihan mas Raga lagi galau .... Duh mas kenapa kemaren nggak ketemu mbak Kara dulu sih? Sok-sok an kabur tapi sekarang galau." Celetuk Nanda.

Ilyas yang berjalan di sebelah Raga hanya menoleh sekilas lalu menepuk pundak Raga sambil nyengir. Raga memandang ke arah Nanda dan Deka yang berjalan di kirinya dengan ekspresi datar. Mereka berdua menahan tawa lalu berjalan cepat mendahului Raga dan Ilyas.

"Aku tahu kamu kesal, tapi mengajak mereka adalah pilihanmu sendiri." Gumam Ilyas sambil mengatur napasnya.

Raga menghembuskan napas.

"Aku hanya tidak suka kehidupan pribadiku dibahas." Jawab Raga singkat.

"Kehidupan pribadi katamu? Siapa juga yang kencan secara terbuka hingga terkena skandal?" Komentar Ilyas.

"Apa kalian langsung mengenali siapa lelaki dalam skandal itu hanya dari foto?"

Ilyas menoleh ke arah Raga, "Bisa ketebak lah ... memangnya siapa yang bisa dekat dengan para kandidat jika bukan penjaga? Lagipula Kara bukan tipe orang yang bisa menyembunyikan ekspresinya. Dia jelas terlihat sumringah setiap bertemu denganmu."

Raga tersenyum. "Benarkah ...?" Tanyanya penasaran.

Ilyas hanya menghembuskan napas. "Aku bahkan heran kenapa Kara tidak mengundurkan diri saja dari seleksi dan pacaran denganmu. Ternyata ... dia bukannya tidak mau tapi karena tugas, dia bertahan."

"Kara adalah sandra bagiku. Kehadirannya di keratonlah yang membuatku tidak berkeliaran melakukan misi untuk sementara."

"Aku kagum Gusti Pangeran sengaja melakukan itu untuk tujuan yang menguntungkan semua pihak. Kamu aman, Kara dapat uang, dan disaat yang bersamaan mendekatkan kalian berdua."

"Sampai saat ini aku tidak tahu apakah harus menghajarnya atau berterima kasih padanya." Gumam Raga.

Percakapan mereka berdua terhenti saat Deka dan Nanda yang berjalan mendahului mereka kini berdiri terpaku. Raga dan Ilyas yang akhirnya menyusul mereka berdua mendapati pemandangan hutan pinus lebat membentang di depan mereka. Jalan setapak yang mereka lewati kini semakin mengecil menuju ke arah kedalaman hutan.

Gate into the Unknown [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang