Setidaknya Punya Pangeran

4 1 0
                                    

"Neena, dapat nilai berapa?" Janya menarik kertas ujianku dengan cepat sebelum aku menjawab apa yang ia tanyakan.

"Buset, kok bisa bagus? Padahal lagi putus cinta," ujarnya, terdengar seperti sebuah ejekan. Lekas kusambar kertas ujianku sembari menampakkan ekspresi kesal. Jahat sekali ia mengungkit penyebab suasana hatiku yang buruk seminggu ini.

"Memang benar aku patah hati, tapi bukan berarti aku harus mengorbankan nyawaku dengan mendapat nilai buruk seperti kebiasaanmu, 'kan?" ketusku sembari menelungkupkan kepala pada lipatan tangan di atas meja.

Kudengar tawa renyah Janya tanpa rasa bersalah. Gadis periang itu pamit untuk pergi ke perpustakaan, dan aku tetap diam dalam posisi malas. Kupejamkan mata, mengingat semua rasa kesal yang berawal dari berkali-kali kesalahanku sendiri. Seperti kata Janya, aku memang sedang patah hati. Hmm, untuk yang ke lima kalinya dalam semester baru ini kurasa.

Ketika bercermin, aku tahu bahwa aku cukup layak untuk disebut cantik. Aku pendek, tak lebih dari 155 cm. Tapi bobotku ideal. Semua pakaian seperti layak di badanku karena postur tubuhku bagus. Aku punya gingsul, dan menurut sebagian orang itu manis. Pipiku tembam, beberapa temanku gemas ingin mencubit. Kulitku kuning langsat, dan tanpa noda jerawat. Aku juga pintar, dan cukup humoris untuk bergabung dengan siapa pun tanpa pandang bulu.

Tapi kenapa aku selalu gagal dalam percintaan? Sejak sekolah dasar sampai sekarang ketika aku kelas sebelas, kenapa tidak ada seorang kaum adam pun yang datang untuk setidaknya berkata bahwa aku cukup menarik perhatiannya? Maksudku, aku harap aku pernah dicintai sebelum aku mencintai. Bosan juga rasanya jadi yang selalu patah hati.

_I see those tears in your eyes, I feel so helpless inside_

Lagu 'Tired' karya Alan Walker mengalun dari saku kemejaku. Ada telepon yang entah dari siapa, aku terlalu malas untuk melihat nama kontaknya. Kuangkat saja, kemudian menunggu suara dari penelpon di ujung sana.

"Halo, Mbak Neena. Bisa ke luar kelas dulu nggak?"

Mataku terbuka sempurna. Suara tampan dari ujung telepon membuatku langsung duduk dan dengan antusias menjawab, "Siapa ya?" sekalipun aku tak tahu pasti suara siapa ini.

"Danar, Mbak. Anak CDA. Ada titipan dari Bu Rumi, aku enggak berani ngasih ke dalam, malu."

Segera aku menghubungkan apa yang kuingat tentang Danar, dan yang kuingat hanya ia lulus tes tertulis untuk calon dewan ambalan. Segera aku ke luar kelas, penasaran dengan apa yang Bu Rumi titipkan pada bocah ingusan itu. Biasanya jika ada titipan, Bu Rumi akan mengirimkannya pada Abhi, cowok yang paling dekat denganku di kelas. Setidaknya sebelum dia mengincar anak CDA, dan itu membuatku patah hati.

Pandangan pertamaku untuk Danar, adalah bahwa ia anak yang tinggi dan cukup tampan. 180 cm mungkin, karena aku hanya sebahunya. Dia bicara dengan ramah dan aku rasa kami sefrekuensi. Tampaknya sopan, dan aku rasa aku akan mempermudahnya saat seleksi mendatang. Menurutku hari itu, ia cocok untuk jadi Dewan Ambalan.

-----

Menuju ke kelas hari ini, aku dikagetkan dengan Danar yang sudah berdiri di depan pintu kelas dan berbincang dengan Abhi. Melihatku mendekat, kedua cowok itu langsung memusatkan pandangan dan melambai bersama.

"Neena, istirahat kedua kumpul di lapangan belakang, ya," ujar Abhi, dan yang kulakukan hanya mengangguk, dan melengos masuk. Aku tahu Abhi tak salah, hatiku saja yang masih ingin egois dan berharap bahwa ia menyukaiku.

Cukup DisimpanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang