Panasnya sinar mentari begitu terasa mengenai kulit gadis berseragam putih abu yang sedang berjalan seorang diri. Sesekali dia mengusap keringat dengan tangan yang bercucuran di dahi, lalu ia mengibas-ngibas tangannya.
Gadis berpipi tirus itu memperlihatkan wajah masam ketika melihat remaja seusianya berseliweran pulang sekolah menggunakan kendaraan roda dua maupun empat. Iri, itulah yang dia rasakan saat ini. Ia ingin mendapatkan apa yang orang-orang miliki, tetapi apalah daya, setiap dia meminta sesuatu, orang tuanya selalu beralasan tentang ekonomi. Jujur, dia benci ini semua. Jika harus hidup serba kekurangan, ia akan memilih untuk tidak dilahirkan.
_Tidid!_
Suara klakson mobil membuat dia menghentikan langkahnya, lalu menoleh. Setelah mengetahui siapa yang ada di dalam mobil, ia pun memutar bola matanya. Gadis itu sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Daripada tubuhnya yang sudah panas akibat sinar mentari bertambah menjalar ke hati karena kejadian yang akan terjadi, dia pun memilih kembali melangkahkan kaki.
"Heh? Green, lo miskin aja belagu!" seru gadis yang sedang menyetir.
"Anak Badut, woy! Lo kalau ada orang ngomong itu tanggepin, jangan jalan terus! Tuli, lo?"
"Kupingnya gak pernah dibersihin kali, ya. Awas, guys! Entar ketularan sama dia."
"Daripada lo sekolah, mending jadi badut aja kayak Bapak lo!"
Gadis yang memang bernama Green mengepalkan kedua tangannya. Dia sedaritadi berusaha menahan emosi hingga wajahnya memerah padam, apa yang menjadi tebakannya ternyata benar. Green berhenti dan m menghentakkan kakinya, kemudian dia menoleh pada empat gadis yang ada di dalam mobil.
"Kalian maunya, apa sih?"
"Wih, guys! Si Anak Badut emosi nih, mukanya sampe merah gitu. Cocoklah sana, lo ikutin jejak Bapak lo!" seru gadis yang duduk di bangku stir sambil tersenyum sinis.
Sementara, teman-temannya hanya terkekeh.
"Udah, cukup kalian dari dulu ngehina gue! Gak puas, hah?" sentak Green.
"Puas gak, guys?" tanya gadis yang sepertinya pemimpin geng mereka.
"ENGGAK!" Mereka begitu bersemangat mengatakan hal itu ditambah dengan tawa mengejek.
Deru napas Green memburu, ingin rasanya dia menonjok wajah _glowing_ mereka.
"Liat aja nanti, gue bakal milikin semua yang kalian punya bahkan lebih! Jangan harap, kalian bisa berteman sama gue!" tegas Green.
"Uuh ... ngeri!" sahut mereka pura-pura takut.
"Siapa juga yang mau berteman sama lo? Kalau pun lo milikin semua barang yang kita punya, paling juga kebelinya barang seken."
Green sudah tidak tahan dengan semua ini, dia pun memilih segera pergi dari sana. Tidak peduli dengan teriakan 'anak badut' yang mengganggu telinga. Ayah Green memang bekerja sebagai badut dan itu sudah lama. Gadis itu selalu meminta agar ayahnya mencari pekerjaan lain, tetapi ayahnya tetap bekerja sebagai badut.
"Green!"
Panggilan dari seseorang membuat gadis yang masih dilanda kemarahan pun menoleh. Terlihat di seberang sana ada lelaki paruh baya yang memakai kostum badut, tetapi bagian kepalanya dipegang di tangan. Kemudian, lelaki itu melambaikan tangan. Green pun menyeberangi jalan, walaupun sebenarnya dia malas bertemu lelaki yang merupakan ayahnya. Namun, dia ingin mengatakan sesuatu.
"Green, baru pulang?" tanya ayahnya sambil mengulurkan tangan.
"Gak usah basa-basi deh, Pak!" titah Green sambil menepis tangan ayahnya, lalu kembali melanjutkan pertakataan,"tanpa Green jawab, Bapak pasti udah tahu jawabannya."
Lelaki tersebut menatap tangan yang baru saja ditepis anaknya, susah sekali tangan itu mendapat kecupan hangat dari anaknya.
"Kamu mau makan? Nanti Bapak beliin," ujar ayahnya.
"Aku mau mobil, rumah yang kayak istana, dan barang-barang mewah. Bisa?"
Ayahnya menghela napas, selalu saja itu yang dipinta anaknya. Padahal, untuk makan sehari-hari saja susah, malah terkadang tidak makan.
"Green, kamu 'kan ...."
"Tau kalau kita ini ekonominya kayak apa, buat makan aja susah. Gitu 'kan yang mau Bapak bilang?" Green memotong ucapan ayahnya.
Diam, itulah yang ayahnya lakukan karena bingung harus mengatakan apa. Hal tersebut membuat anaknya kesal.
"Bapak emang jahat, ya. Bapak gak pernah berusaha buat ngewujudin apa yang Green mau, tapi waktu kecil Bapak beraninya ngusir Ibu. Bapak mau bikin Green tersiksa? Apa gak cukup?"
Karena lelaki di hadapannya ini masih terdiam, Green pun memilih pergi dari sana. Lelaki itu hanya bisa menatap kepergian anaknya. Akan tetapi, ketika Green akan menyeberang, mata lelaki itu membulat dan segera berlari menghampiri anaknya.
_Bruk!_
Ayah Green tertabrak oleh mobil dan Green tersungkur ke pinggir jalan. Green yang masih sadarkan diri menoleh pada ayahnya yang sudah berlumuran darah. Gadis itu dengan perlahan bangkit, lalu menghampiri ayahnya yang sudah dikerumuni orang-orang.
"Pak, bertahan, ya! Jangan tinggalin, Green!" Gadis itu membawa kepala ayahnya di atas paha.
"Green, ma-maafin Ba-Bapak yang belum bisa memenuhi semua keinginan kamu! Ma-maafin Bapak yang gak pernah ngebahagiain kamu!"
"A-ambil ko-kotak warna hitam yang ada di lemari rumah, nanti ka-kamu ba-ca waktu Ba-bapak ketemu Tuhan!"
Green menggelengkan kepala, air matanya pun ikut turun."Enggak, Bapak gak boleh ngomong kayak gitu!"
Walaupun dia membenci ayahnya, tetapi ia tidak mau kehilangannya. Apalagi sampai saat ini, dia tidak tahu ibunya di mana. Gadis itu tidak punya siapa-siapa lagi.
"Ka-kamu ja-jaga diri baik-baik! Ba-Bapak ya-yakin, ka-kamu pasti jadi orang suk-sukses!"
"Sel-selamat tinggal, Gre-Green! Ba-Bapak me-menyayangi ka-kamu!"
Tertutuplah mata ayah Green, dengan segera salah satu orang di sana mengecek denyut nadinya. Tangis Green semakin menjadi setelah mendengar kalimat 'innalillahi wa inna ilahi rooji'un' dari orang itu.
..........
Sore itu, Green duduk di pinggir jalan sambil memegangi kotak yang ayahnya berikan. Dibukalah kotak yang di atasnya didapati pita berwarna putih, ternyata di dalamnya ada sebuah gelang emas, surat, dan gantungan kunci berbentuk badut.
_*Untuk: Anakku Tersayang*_
_*Dari: Bapak Yang Sering Mengecewakanmu*__Green, akhirnya kamu membaca surat yang sudah lama bapak simpan. Surat yang akan memberitahumu sesuatu yang belum pernah bapak sampaikan._
_Green, sejak kecil kita selalu bersama. Kamu tahu? Bapak sangat menyayangi kamu, walaupun sudah jelas bapak selalu mengecewakan kamu. Kamu tahu? Saat kamu menanyakan perihal ibu, bapak selalu menjawab,'bapak yang mengusir ibumu'. Padahal, ibumu yang mengusir bapak dan mengambil semua harta bapak._
Satu tangan Green menutup mulutnya yang ternganga.
_Mungkin kamu bertanya, kenapa bapak berbohong? Itu semua bapak lakukan agar kamu tidak membenci ibumu dan biarlah kamu membenci bapak. Sejak saat itu, karena bapak tidak punya apa-apa, bapak pun memutuskan menjadi badut._
_Green, maafkan bapak yang selalu membuat kamu malu dengan pekerjaan bapak._
_Itu, gelang waktu kamu masih bayi dan gantungan badut dari bapak, kamu simpan, ya untuk kenang-kenangan!_
Satu tetes air mata menetes ke kertas. Dia tidak pernah menyangka, ibunya setega itu. Lalu, ayahnya yang selalu ia pandang buruk, malah begitu baik. Jujur, dia kecewa pada dirinya sendiri. Mengapa setelah ayahnya pergi dia baru mengetahui semua ini?
Ditatapnya seberang jalan tempat pertemuan terakhir dengan ayahnya dan tempat biasa ayahnya beristirahat ketika menjadi badut. Semuanya tinggal kenangan dan akan tersimpan dalam kenangan, tidak akan ada lagi yang memanggilnya di sana ketika ia pulang sekolah.
***
Cerpen tema kenangan karya Tiaratrii22
KAMU SEDANG MEMBACA
Cukup Disimpan
Короткий рассказBerisi kumpulan cerita mini dan cerita pendek berbagai genre karya para member.