Entah sudah berapa lama perasaan ini terpendam dalam hati. Mengintainya dari kejauhan adalah salah satu aktivitas rutin yang dilakukannya. Bahkan, gadis ini tak segan-segan untuk melemparkan perhatiannya walau sering tak dapat balasan.
Sebut saja gadis ini dengan nama Lili. Gadis berusia 18 tahun yang berpenampilan sederhana. Mungkin sebagian orang akan menganggapnya tidak menarik. Namun, benih cinta yang ia tanam sejak dulu pada seorang lelaki bernama Langit, tak pernah mati. Hari-harinya selalu ia siram dan dipupuk, dengan harap akan tumbuh lebih besar dan mungkin ... akan mendapatkan hasil yang memuaskan.
"Hei! Apa dirimu melamun lagi?" tegur Tasya—salah satu temannya Lili.
"Ah? Benarkah?" tanya Lili balik.
"Oh ayolah, Lili, ini sudah ke berapa kali? Apa kau tengah melamun tentang Langit?" tebak Tasya.
"I-iya. Hehe." Lili hanya menyengir.
Terlihat temannya itu menghela napas, sambil mencoba membernarkan posisi duduknya agar nyaman. "Li, apa kau tak lelah? Apa kau masih ingin mengejarnya walau dirinya telah menyakitimu berkali-kali? Apa kau tak ingat, semua perhatian yang telah kau berikan padanya, justru ia abaikan dengan seenaknya?"
Lili terdiam sejenak. Ia, ingat. Bahkan, sangat ingat. Ia tahu, apa yang telah ia lakukan selama ini, tak ada tanda-tanda keberhasilan. Justru, berakhir dengan kekecewaan. Namun, bukan Lili namanya jika ia akan menyerah begitu saja.
"Li? Tuh, kan! Kamu melamun lagi!" ujar Tasya kesal.
"Ya, maafkan aku. Huh. Aku tahu, semua yang aku lakukan sepertinya akan sia-sia. Tapi, bukan berarti aku harus menyerah begitu saja, bukan? Aku pasti bisa memenangkan hati Langit, Sya. Aku yakin itu!"
"Lalu, jika kau tak berhasil memenangkan hatinya bagaimana?" tanya Tasya kesal.
"Mengapa kamu bilang begitu? Bukannya mendukung, malah mematahkan semangat teman!" balas Lili tak terima.
"Bukan ingin mematahkan, tapi aku hanya ingin menyadarkan dirimu, Li. Ayo, sadarlah. Seberapa kuat dirimu berjuang untuknya, jika sang empu mengabaikan, maka kau tak akan berarti apa-apa di matanya," jelas Tasya tulus.
Lili yang bisa dikatakan cukup keras kepala, pergi meninggalkan Tasya yang kini tengah dilanda kebingungan.
"Li, kapan kamu akan sadar?"
🌸🌸🌸
Sepasang kaki ini melangkah ke sembarang arah, dengan pikiran yang juga tengah sembarang. Tak peduli jika banyak pasang mata yang melihatnya aneh. Lili bingung. Ia terus memikirkan apa yang Tasya katakan tadi. Apakah yang Tasya katakan itu benar?
Gadis itu duduk di pinggir lapangan, sembari matanya menatap acak pemain basket itu satu persatu. Hingga akhirnya, penglihatannya jatuh pada seorang lelaki yang menggunakan syal bewarna hitam di kepalanya. Lili sangat mengenali lelaki itu. Siapa lagi kalau bukan Langit?
Senyum Lili seketika mengembang. Sepintas idenya muncul untuk melakukan aksi. Ia pun memutuskan untuk pergi dan dengan waktu tak sampai satu menit ia kembali dengan sebotol air mineral juga sebungkus roti cokelat kesukaan Langit.
Namun, senyum yang ia tampakkan kini meluntur seketika. Netranya memanas tatkala sosok lelaki yang ia dambakan kini tengah berbincang mesra pada seorang gadis yang lain dan tak bukan adalah teman sebangkunya sendiri—Tasya.
"Lang, bukankah aku sudah bilang, semua orang tak perlu tentang hubungan kita?" ujar Tasya yang kini tampak gelisah akan keberadaannya.
"Emang kenapa sih, Sya? Ada yang salah, ya?" tanya Langit bingung.
"Lili—"
"Kamu tak perlu mengkhawatirkanku, Sya," sahut Lili dari belakang.
Sontak sepasang kekasih itu menoleh ke arah sumber suara.
"Lili? A-aku tak bermaksud—"
"Sudahlah, Sya. Aku sudah tahu sekarang, ternyata ... selama ini aku menyukai seorang lelaki yang merupakan pacar temanku sendiri. Bodohnya, aku tak sadar akan hal itu dari dulu. Pantas saja, kamu menyuruhku untuk sadar diri. Ternyata selama ini aku menyakiti hatimu, ya?" potong Lili sambil menahan tangis.
Tasya lantas beranjak dari tempat duduknya, lalu menghampiri Lili yang mungkin sekarang tengah rapuh.
"Li, bukan seperti itu. Tapi—"
"Tapi apa, Sya? Sudahlah, tak usah berpura-pura. Nyatanya, kamu sakit hati kan bahwa pacarmu ini aku sukai?"
Tasya terdiam. Gadis itu tak menapik kenyataan bahwa ia cemburu, ia tak suka lelakinya itu disukai oleh wanita lain selain dirinya.
"Hahahah. Betul, kan?" Lili berusaha menahan tangis. Ia berusaha menguatkan diri walaupun sebenarnya sudah tak kuat lagi.
"Maafkan aku, Sya. Aku telah mengganggumu selama ini, aku hampir saja merebut pacar temanku sendiri. Maafkan aku. Mungkin, semuanya akan baik-baik saja jika saat itu kamu memberitahuku tentang hubungan kalian. Dengan itu, setidaknya aku tidak seperti orang bodoh seperti sekarang ini. Hah," ujar Lili sambil menatap ke arah lain.
"Dan untukmu, Langit. A-aku juga minta maaf. Maaf karena selama ini aku telah sedikit mengusik hidupmu, mungkin lebih. Harusnya aku sadar sikap abaimu itu semata-mata untuk menjaga perasaan Tasya. Sayangnya, aku baru tahu sekarang. Selamat, ya! Semoga hubungan kalian tetap berlanjut. Aku permisi."
Tanpa persetujuan Tasya dan Langit, Lili pergi begitu saja. Tak peduli berapa kali Tasya menyuarakan namanya dengan harap berhenti dan kembali mendengarkan penjelasannya. Jujur, Lili telah muak. Muak dengan apa yang telah terjadi. Lihatlah, betapa bodohnya dirinya sekarang. Hatinya memang benar-benar dipermainkan.
Kini, ia sampai di suatu tempat yang begitu sepi, yaitu taman belakang sekolah. Di sinilah Lili menumpahkan segalanya. Sedih, kecewa, sakit, semuanya bercampur menjadi satu. Tanpa sengaja, bayangan saat kali pertama ia menanam benih cinta itu hinggap di kepala.
Di bawah langit biru, kali pertama ia bertemu dengan sosok langit. Sosok lelaki yang hampir membuatnya gila karena ketampanannya, yang hampir membuatnya tak berdaya. Dan sekarang, di bawah langit biru juga Tuhan menunjukkan semuanya. Rasa kecewa itu mampir tanpa diundang. Tak bisakah seorang Lili berhak bahagia atas cintanya? Lalu, mengapa di saat ia telah menemukan hal itu, justru malah dikecewakan terlebih dahulu?
"Bodoh! Bodoh! Bodoh! Lili mengapa kamu bodoh sekali! Seandainya kamu tahu lebih awal, mungkin semua ini tak aka terjadi!" Lili menangis seorang diri.
"Pantas saja Tasya tak mendukungku, ternyata lelaki yang aku kagumi adalah pacarnya! Harusnya ia katakan saja dengan jujur dari awal! Jangan membuatku seperti ini!"
"Harusnya cinta pertamaku akan berakhir manis, tidak seperti ini! Ah, Tuhan! Mengapa engkau membiarkanku merasa kecewa? Mengapa baru sekarang aku mengetahui semua ini?" Lili meremas roknya sendiri. Tak peduli jika ada seseorang yang mendengar. [Bersambung]
***
Selengkapnya cerpen karya toetikhdhyh_ ini sudah diterbitkan dalam antologi tema patah hati di Jejak Publisher

KAMU SEDANG MEMBACA
Cukup Disimpan
Short StoryBerisi kumpulan cerita mini dan cerita pendek berbagai genre karya para member.