Jam telah menunjukkan pukul 21.30, tetapi gadis dengan pakaian sederhana itu belum juga beranjak dari tempat duduknya. Masih fokus dengan pekerjaan rumah yang ia dapatkan dari sekolahnya pagi tadi. Sudah pasti, kata kantuk kerap mengganggu dirinya malam ini. Kalau saja tugas tersebut tidak dikumpulkan besok pagi, maka gadis bernama Nala itu pasti mengerjakannya di lain waktu. Ia akan memilih terlelap ketimbang harus mengerjakan tugas sampai larut malam.
Namun, saat hampir di puncak penyelesaian tiba-tiba kilat menyambar. Petir mulai terdengar dan hujan turun begitu deras. Dalam hitungan detik seketika semua lampu menjadi padam. Nala yang memang takut akan kegelapan refleks beristigfar sambil berteriak menyebut nama sang kakak.
"Kak Nath! Kakak di mana? Ini kenapa pakek acara mati lampu segala, sih? Gelap banget di sini, Kak!" teriak Nala ketakutan.
Petir semakin kuat terdengar, para keris langit tak henti-hentinya menampilkan atraksi. Keadaan yang semakin membuat Nala semakin takut dan gemetar. Sayangnya, nama yang Nala panggil sedari tadi tak kunjung menampakkan diri. Mau tak mau Nala kembali berteriak. Sebagian orang mungkin menganggap Nala penakut, tetapi Nala tak peduli itu. Semua orang tak tahu apa yang sedang Nala rasakan saat ini.
"Kak Nath! Kakak di mana, sih? Kenapa nggak muncul-muncul?! Kalau Nala kenapa-kenapa gimana, Kak? Cepetan ke sini! Hiks!" Air mata yang Nala tahan, akhirnya berhasil ia tumpahkan.
Ia benci kegelapan, ia takut kesunyian. Traumanya di masa kecil berhasil mengalahkan pertahanan Nala selama ini. Sekeras Nala berusaha untuk tidak takut, tetapi pada akhirnya Nala akan kalah. Ia masih takut akan keadaan yang mencekam seperti ini.
"Kakak! Kakak di mana? Kak—"
"Na, hei. Iya, Kak Nath ada di sini," ujar Nathan yang langsung memeluk Nala degan erat.
"Kak ...."
"Kenapa?"
Nala tak menjawab, ia hanya memeluk sang kakak dengan begitu erat. Seolah tak ingin lepas.
"Sekarang tidur aja, ya? Udah malem, Na. Tugas sekolahnya lanjut besok pagi aja," ujar Nathan sambil berusaha menenangkan sang adik.
"Temenin," balas Nala sambil mendongak ke arah Nathan.
"Udah gede, Na, ya kali masih mau ditemenin."
Seketika wajah Nala terlihat murung. "Kak Nath, mah, masa nggak ngerti, sih? Nala takut, Kak, kalau Nala nggak takut nggak mungkin minta temenin—"
"Iya, iya," potong Nathan cepat. "Dasar bocah! Ayo, cepetan naik ke kasur."
Nala pun mengikuti perintah sang kakak. Mengambil posisi tidur sambil menarik selimut. Sedangkan Nathan, lelaki itu duduk di samping Nala. Bahkan, tangannya menjadi korban pelukan Nala saat ini. Hingga beberapa detik kemudian, Nala membuka suaranya.
"Kak," panggil Nala pelan.
"Iya?"
"Kalau kita meninggal pasti masuk ke liang lahat, kan, ya? Udah jelas, tempatnya sempit dan gelap banget. N-nala jadi takut, Kak. Nala nggak siap kalau nantinya Nala udah pergi dan harus masuk ke tempat itu sendirian. G-gimana Nala nanti, ya, Kak? Nala, kan, takut gelap," ujar Nala sambil menoleh ke arah Nathan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cukup Disimpan
ContoBerisi kumpulan cerita mini dan cerita pendek berbagai genre karya para member.