Melebur Bersama Kenangan

1 1 0
                                    

Pagi ini udara terasa sejuk walau mendung telah menyapa di atas sana. Kicauan para burung pun menggema di setiap penjuru. Kulangkahkan kaki ini ke jalanan sepi, seraya mengingat-ingat sesuatu yang terjadi kemarin atau mungkin ... sebelum-sebelumnya.

Kepingan-kepingan memori berhasil menghampiri. Beberapa kalimat yang terlontar juga kembali terdengar. Seolah ia masih ada di sini—disampingku—tengah asyik mengobrol sesuatu yang random, tetapi ada suatu makna yang dapat diambil.

"Kamu tidak mengambil wadah titipan, Na?" ujar Kak Iyan padaku.

"Nanti saja, Kak. Takutnya namaku dipanggil untuk pasien selanjutnya," ujarku sambil menampilkan sebuah senyuman.

"Tapi, panggilan kamu masih lama, lho. Bagaimana jika warungnya nanti sudah tutup?" balas Kak Iyan.

"Ya ... pergi saja ke rumahnya," jawabku enteng.

Dia menjawab lagi, "Kamu tahu rumahnya?"

Sesaat aku terdiam yang kemudian diiringi dengan sebuah gelengan. "Tidak, Kak. Heheh." Cengiranku membuatnya menggeleng sambil tersenyum.

"Terus, nanti bagaimana?"

"Tinggal tanya saja nanti dengan tetangga. Gampang, kan?"

Kak Iyan hanya tersenyum menanggapi jawabanku yang mungkin terdengar menggampangkan sesuatu. Sedikit kuceritakan, bahwa Kak Iyan ini adalah salah satu pekerja di salah satu klinik di dekat rumahku. Ia berada di bagian resepsionis. Awalnya kami tak saling mengenal, hanya seorang pasien dan seorang petugas. Namun, seringnya diri ini melangkah pergi ke sana dan bertemu dirinya akhirnya kata saling mengenal ini pun hadir di antara kami berdua. Aku menganggapnya ... kakak laki-lakiku. Sebuah impian konyol yang pernah aku bayangkan sewaktu SMP.

Jika dipandang dari fisik, ia memang tidak putih seperti orang-orang di luar sana. Ia memiliki kulit yang gelap, tetapi ada kesan manis di wajahnya. Ia sederhana, tetapi beberapa perkataannya berhasil tersimpan di memori kecil ini.

Saat itu, kupandang jam dinding untuk kesekian kalinya. Waktu semakin berjalan dan hari semakin sore, tetapi nama ini belum juga dipanggil. Dan untuk kesekian kalinya pula, Kak Iyan terus menyuruhku untuk mengambil wadah di warung. Ya, ia memang tahu aktivitasku di setiap harinya—menitip risol di warung—karena jarak klinik ke rumahku tak jauh. Bahkan, setiap hari klinik itu aku lewati. Jadi, tak heran jika ia tahu aktivitasku.

"Ana, panggilanmu masih lama, yang sabar aja, ya. Orang sabar itu banyak pahalanya, Na," ujar Kak Iyan sambil menyapu ruang tunggu yang tampak terlihat kotor.

Aku mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Kak. Tidak apa. Lagipula ini Ana yang salah, 'kan datangnya sudah kesorean. Hehehe."

Setelahnya aku terdiam sesaat. Kalimatnya barusan mungkin terdengar basi, klasik, lumrah dan hal biasa dikatakan oleh umat manusia lainnya. Akan tetapi, entah mengapa aku mendengarnya cukup tersentuh. Bukan karena Kak Iyan yang berbicara, tetapi kata-katanya berhasil menerobos hati yang tengah rapuh ini. Bahkan, tanpa disadari bulir bening ini jatuh sedikit membasahi pipi.

Aku menangis? Iya! Aku menangis.

Aku tersentuh. Mungkin, karena keadaanku yang sedang tidak baik-baik saja, makanya kalimat yang dilontarkan Kak Iyan sangat tersentuh dan tepat sasaran.

Huft. Aku menghela napas, sambil berusaha menghapus air mata yang sempat menetes agar tak dipergok oleh Kak Iyan.

Hingga beberapa menit kemudian, akhirnya nama ini dipanggil juga. Aku segera masuk dan meninggalkan Kak Iyan yang tengah beberes di ruang tunggu. Namun, sebelum masuk kusempatkan untuk bercanda kepadanya.

"Kak, semangat, ya! Harus bersih-bersih, jika tidak nanti dapat istri brewokan hahaha."

"Mana ada istri brewokan yang ada suami brewokan, Ana!" balasnya sambil berkacak pinggang.

Tak!

Aku tersadar dari lamunanku kala sebuah benda bernama lato-lato berhasil mendarat di dahiku. Jika kalian tanya apa itu sakit? Tentu saja! Akan tetapi, aku tak begitu memedulikan. Pikiranku masih mengarah pada sosok lelaki yang saat itu masih duduk di bangku resepsionis.

Kini, dirinya telah pergi ke suatu tempat. Suatu tempat di mana ia akan mendapatkan ilmu lebih banyak lagi, pengalaman yang lebih bermakna lagi, dan akan bertemu dengan orang yang berbeda lagi.

Mendengar kepergiannya, sebenarnya cukup membuatku sedih. Kabar itu aku dapatkan dari petugas baru—Kak Brahma. Kak Brahma bilang, Kak Iyan hanya tak ingin aku sedih jika ia mengatakannya secara langsung padaku. Maka dari itu, ia hanya menitipkan salam untukku lewat Kak Brahma.

Jika begini aku bisa apa? Menahannya? Itu tidak mungkin! Aku tidak ada hak untuk itu.

Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk dirinya. Bersamanya, banyak memori yang tersimpan. Bukan memori sebagai sepasang kekasih, tetapi memori antara seorang kakak laki-laki terhadap adik perempuannya.

Pertemuan ini memang singkat, semakin hari ia akan melebur bersama waktu. Akan tetapi, sebuah kenangan yang telah terajut, tak akan terlupakan dan akan terkenang dalam waktu jangka panjang.

***

Cerpen tema kenangan karya toetikhdhyh_

Cukup DisimpanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang