"Aduh, Din. Kumat deh ini orang! Kalo lagi galau tuh jangan nyakitin diri sendiri! Udah itu merah banget lagi mie nya. Masih di tambah cabe pula."
Ini bisa disebut kebiasaan Dinda. Melampiaskan masalah dengan makanan berbau pedas. Entah itu bakso pedas, mie pedas ataupun seblak level tinggi.
"Udah deh, Dev! Diem aja deh lo! Lagi badmood gue."
"Pemandangan di depan masih kurang? Kok masih melampiaskan ke makanan pedas?" cetus Deva kesal.
Saat ini mereka berdua sedang di dekat sungai dengan indahnya bebatuan. Menikmati udara dingin setelah sekian lama tidak merasakan hawa dingin di kampung halamannya.
Menjadi anak rantau di kota orang, dengan hiruk pikuknya suara mesin. Rasanya tetap kampung halaman yang menjadi tempatnya pulang.
"Sini mie nya!" Deva merebut mie milik Dinda.
"Dev! Gue lagi pengen banget makan pedes!"
Deva dengan polosnya makan mie milik Dinda. Seakan lupa akan penyakit maag yang diidapnya.
"Jangan lo kira gue lupa kalo lo punya riwayat maag ya! Jangan aneh-aneh. Berhenti, Dev! Jangan dilanjutin! Okey gue ga bakal habisin itu! Buang aja deh! Biar adil."
Deva menghentikan makannya. Segera kumur-kumur dengan air sungai yang begitu dingin untuk menghilangkan rasa pedas di mulut.
"Gue lagi ada masalah, bingung ceritanya dari mana," cetus Dinda.
"Masalah Adit lagi?" tanya Deva tepat. Dinda mengangguk lemah.
"Udah lah, Din! Lelaki di dunia masih banyak. Jangan cuma terpacu dengan Adit terus!"
Sejenak mereka terdiam. Dinda menatap lurus aliran sungai. Pikirannya melayang ke masalalu, sungai ini penuh dengan kenangan.
"Lo inget ga sih dulu lo mandi di sini? Cuma pake kaos dalam dan celana pendek?" tanya Dinda menatap hamparan sungai.
"Yang mana ya?" tanya Deva pura-pura lupa.
"Ah lo! Ga asik." Dinda mendadak badmood.
"Gue ga lupa, Adindaaa! Gue ga lupa lo yang sering pura-pura nangis agar gue mau menemani lo untuk main di sini. Gue masih ingat lo yang menjadi penghuni tetap sungai ini. Tiap sore main ke sini ga ada bosennya."
Deva menceritakan masa kecilnya dengan Dinda di sungai ini. Meskipun jaraknya dekat dengan rumah, sama sekali tak ada rasa bosan menatap sungai ini. Suara gemericik air yang berbenturan dengan batu sangat menyejukkan hati.
"Temen gue main kan lo, Dev. Lo juga kan yang dulu yang gue tarik untuk main air. Lo juga yang paling tau gue di sungai ini. Tau gue nangis, tau gue bahagia. Ya mungkin emang banyak temen main kita dulu. Tapi, yang paling bisa ngertiin gue ya cuma lo."
"Lo emang sahabat terbaik gue. Sahabat yang selalu ngertiin gue. Gue baru sadar, semakin kita dewasa semakin kita tau mana yang benar-benar sahabat. Gue bersyukur kenal dengan lo. Makasih ya," tutur Dinda tulus.
"Gue juga bersyukur kenal lo. Gue bersyukur menjadi sahabat lo. Meskipun lo berisik, cerewet, rese."
Dinda melirik Deva dengan tatapan tajam andalannya. Bukannya takut, Deva malah mengambil air sungai dan mengarahkannya ke arah Dinda.
"Devaaaaaa!"
Dinda membalas percikan air dan mengarahkannya ke Deva. Beberapa detik kemudian turun tetesan air yang cukup besar.
"Din! Hujan! Ayo naik! Keburu deras!" pekiknya segera naik melewati batu demi batu.
"Ini udah deras, Dev!"
***
Cerpen tema kenangan karya nikmatul_maula
KAMU SEDANG MEMBACA
Cukup Disimpan
Cerita PendekBerisi kumpulan cerita mini dan cerita pendek berbagai genre karya para member.