"Ish, dinginnya."
Ringisan itu membuatku menghentikan sejenak fokus pada rentetan kalimat yang ada pada buku di tangan. Aku memutar kepala, memandang ke arah pintu, tepat pada seorang gadis yang baru memasuki ruangan dengan kedua tangan bertautan di depan mukanya yang tertutup masker. Meski tidak bisa melihat keseluruhan mukanya, tetapi aku dapat mengenalinya. Dia adalah Bela, siswi termodis di kelasku.
"Eh, pagi, Binar!" sapanya riang saat akhirnya menyadari eksistensiku. Setelah menurunkan maskernya ke dagu, gadis bertubuh semampai itu memasang senyum merekah dan melambai-lambaikan kedua tangannya sambil mempercepat langkah menapaki ubin ruangan yang mengilat.
"Pagi, Bela," balasku sekenanya diiringi sedikit tarikan bibir. Berbeda dengan Bilqis yang begitu murah senyum, aku malah kurang terbiasa melakukan itu. Memiliki wajah yang bawaan dari lahirnya bergaris jutek, membuatku malah merasa pegal saat memaksakan diri untuk tersenyum terlalu lebar.
Aku segera memperbaiki letak kacamata agar bisa mengamati Bela lebih jelad. Kini dia sudah mendudukkan diri di kursinya sambil menghadap padaku. Kami memang tidak semeja, tetapi posisi duduk kami bersebelahan terhalang jalan. Terlihat Bela membuka peniti di bawah dagunya, kemudian melepas karet masker di kedua telinganya yang dihiasi anting-anting panjang.
Seketika bola mataku agak melebar ketika berhasil melihat seluruh wajahnya, aku dibuat salah fokus dengan rona yang ada di sekitar hidung dan pipi atasnya. Warnanya memang tidak semencolok merah cabe, tetapi tetap saja cukup kentara kemerahannya saat diperhatikan dari jarak dekat seperti ini.
Bela kenapa, ya? Apa jangan-jangan dia sakit? Oh, aku mencubit jempol tangan sendiri. Mungkinkah alasan Bela tadi menggunakan masker adalah karena indra pernapasannya sedang kurang baik?
Akan tetapi, jika dia sedang tidak enak badan, kenapa malah datang ke sekolah? Apalagi di waktu cukup pagi seperti ini. Padahal sudah tidak ada lagi kegiatan belajar mengajar dalam kelas karena kemarin sudah dilaksanakan penilaian akhir semester. Sekarang adalah waktunya jam kosong yang digunakan organisasi intra sekolah untuk mengadakan class meeting.
"Tumben berangkat pagi, ada yang harus dikerjakan, kah?" Tak seperti biasanya yang apatis pada apa pun yang dilakukan teman-temanku, entah kenapa kali ini aku malah mengeluarkan tanya demikian, begitu tak dapat menahan penasaran.
"Nggak ada. Cuman ngikut pacar aku aja yang jemputnya pagi-pagi."
Aku menaikkan sebelah alis. "Kamu nggak bawa motor?"
Bela menggeleng-geleng, membuat kerudung segiempat-nya agak melorot ke belakang dan menampilkan sebagian rambutnya yang dipoles pirang. "Nggak kuat."
Tuh 'kan ... kemungkinan Bela memang sedang sakit. Buktinya dia sampai tidak sanggup membawa kendaraan seperti biasa. Duh, kenapa malah sekolah sih dia. Jika itu aku, yang sedang sakit, jelas akan lebih memilih untuk istirahat di rumah. Terlebih di masa bebas seperti ini.
"Dingin banget, ya."
Terlalu lama bergelut dengan berbagai tanya di kepala, aku sampai tidak menyadari bahwa kini Bela sudah memperbaiki penampilannya. Kerudungnya telah kembali terpasang rapi. Aku berdeham, lantas menimpali, "Iya, mau peralihan ke musim hujan, banyak angin kencang juga."
"Rawan pilek, ya." Bela menggosok bagian bawah hidung bangirnya. "Bikin sebel banget kalau kena, suka susah napas," keluhnya bersungut-sungut.
"Sekarang kamu lagi kena?" Syukurlah, akhirnya aku menemukan momen yang tepat untuk membuktikan perkiraanku.
"Nggak 'lah." Bela memutar duduknya jadi menghadap meja. Cekatan dia melepas tas punggungnya lalu mengeluarkan ponsel dari dalamnya.
Melihat Bela yang mulai asik menggeser-geser layar benda persegi pipih itu, aku jadi membatin. Setidakmenyenangkan itu aku sekarang sampai membuatnya seperti tidak terlalu tertarik memperpanjang obrolan.
Padahal meskipun kami baru resmi mengenakan seragam putih abu-abu sejak dua bulan lalu, tetapi hubungan kami sebenarnya sudah terjalin sejak beberapa tahun lalu. Tepatnya dari saat kami masih duduk di kelas delapan sekolah menengah pertama, dulu kami terlibat di organisasi yang sama sampai akhirnya akrab dengan cukup dekat hingga saling curhat berbagai masalah.
Sayangnya memang setahun belakangan interaksi kami tidak seintens dulu. Jangankan untuk saling berbagi cerita, bertemu pun jarang. Setelah lengser dari jabatan di organisasi dan menjalani hari sebagai siswa tingkat akhir di kelas yang berbeda, pada akhirnya kami merenggang.
Sampai beberapa bulan yang lalu ketika mengetahui kami berada di sekolah-bahkan kelas-yang sama, kupikir kami dapat lebih mudah memperbaiki hubungan menjadi harmonis seperti dulu. Namun, ternyata tidak begitu. Jarak kami memang dekat, tetapi satu sama lain sulit saling berdampingan.
Kami sekarang telah berbeda dengan di awal perkenalan yang masih sangat lugu. Kini Bela sudah bertransformasi menjadi gadis trendi, tidak hanya gaya pakaiannya, pergaulannya pun begitu heboh. Sementara aku kian memantapkan julukan 'kutu buku', gayaku tak berubah, tetap setia bertemankan lembaran-lembaran kertas.
Aku membuyarkan lamunan tentang perbandingan yang tidak seharusnya masih dipikirkan. Sebab, perubahan dalam hidup adalah sebuah kewajaran. Tidak ada yang perlu disesali. Lagipula meskipun hubungan kami tidak serekat dulu, setidaknya kami tidak saling membenci. Saat berjumpa masih suka bertukar kata, seperti saat ini.
Eh, kembali ke yang mengganggu pikiranku sebelumnya. Aku segera menggeser kursi ke dekat Bela.
Bela menoleh, mungkin terganggu dengan deritan yang aku timbulkan. "Kenapa, Bi?"
Mengabaikan alis bela yang bertaut dengan ekspresi penuh tanya, aku malah kian mencondongkan kepala ke arahnya, lalu bertanya, "Semalam kamu habis nangis?"
"Hah?" Bela malah kian menunjukkan raut keheranan.
"Kamu ... kalau ada masalah cerita sama aku. Kayak dulu, aku akan mendengarkan keluh kesahmu."
Bela malah menggeleng-geleng. "Nggak paham. Kamu kenapa?"
"Dulu, seingatku, alasan hidung kamu memerah di pagi hari hanya dua. Sedang pilek atau ... habis menangis semalamnya." Aku menjauhkan wajah, menjatuhkan punggung pada sandaran. "Tadi kamu bilang nggak sakit, berarti semalam kamu nangis, 'kan?"
Tak kusangka, Bela malah tertawa dengan kencangnya sampai memukul-mukul meja. "Plis ... ngakak."
Aku jelas bingung. "Kamu kenapa?"
Beberapa detik kemudian akhirnya tawa Bela mereda. Kini dia balik mencondongkan tubuh ke arahku sambil mengarahkan telunjuk ke hidung sendiri. "Ini ... gaya, make up kekinian."
Melihatku terdiam, Bela menepuk bahuku. "Makanya belajar dandan, Binar!"
***
"Jadi, gimana?"
Aku mengerjap. Melihat Bela yang barusan bertanya, di tangannya ada alat perona pipi. Seketika aku bergidik. "Enggak!"
"Kenapa?"
Aku punya kenangan buruk tentang itu! Aku hanya menjerit dalam hati. Mana mau aku mengatakan yang sebenarnya, terlebih kenangan kurang indah tiga tahun lalu itu berkaitan dengan Bela. Bisa diketawai habis-habisan lagi nanti.
"Jadi, mau pakai apa?"
Aku melirik kotak kecantikan di pangkuan Bela, kemudian menggeleng-geleng. "Bedak sama pelembab bibir aja."
Bela memelotot. "Heh, mau perpisahan masa gitu?"
***
Cerpen tema kenangan karya salwariamah

KAMU SEDANG MEMBACA
Cukup Disimpan
ContoBerisi kumpulan cerita mini dan cerita pendek berbagai genre karya para member.