Karena Sampul Biru

1 0 0
                                    

Karena Sampul Biru

Sekali lagi, Tirza mengembuskan napas berat tatkala memandang sebuah buku bersampul biru yang mengisi laci terbawah meja belajarnya. Setelah beberapa saat memantapkan hati, akhirnya tangan lentik itu perlahan meraihnya.

"Jadi berangkat?"

Tirza memutar wajah, mendapati mamanya sedang berdiri di ambang pintu. Segera saja dia menyambar tas punggung lalu berjalan sembari memasukkan buku tadi.

"Jadi, dong. Udah rapi gini," ujar Tirza setelah tidak berjarak dengan sang Mama.

"Tapi di luar hujan."

Tirza menyengir. "Hujan 'kan berkah."

"Nak!" Mama Tirza memberi tatapan tajam, sarat peringatan.

Tirza berdehem. "Aku pakai jas, Ma. Gak akan banyak yang basah," balasnya seserius mungkin. Dia tahu, pemberitahuan sang mama akan cuaca di luar sana adalah sebuah pertanda kekhawatirannya pada Tirza yang berniat pergi dalam kondisi langit sedang menurunkan rintikan.

Mama Tirza menghela napas, tetap tak puas, tetapi juga tak mau berdebat. "Lagian kamu kok tumben banget mau ikut kumpul-kumpul gitu?

"Ada sesuatu yang harus aku kembalikan." Aura misterius tersirat di nada suara Tirza.

"Apa?"

"Rahasia." Tirza menyodorkan tangan kanan.

"Hati-hati." Mama Tirza mengusap lembut kepala sang anak yang tengah mengecup punggung tangannya.

Setelah tiga langkah meninggalkan kamar, Tirza tiba-tiba berbalik dengan ekspresi penuh penyesalan. "Ma, maafkan aku, ya."

Mama Tirza menghela napas. "Iya, Nak. Enggak apa-apa, kegagalan itu wajar. Tolong berhenti merasa bersalah dan meminta maaf tiap hari seperti ini."

Tirza tersenyum ganjil. Beberapa bulan ini dia memang selalu meminta maaf karena tidak berhasil lolos pada satu pun jalur masuk pendidikan tinggi yang diikuti. Akan tetapi, barusan dia meminta maaf untuk sesuatu lain. Yang sayangnya belum cukup keberaniannya untuk menyampaikan secara gamblang alasannya.

"Ya udah, aku berangkat." Tirza meraih jas dan kunci motor. "Assalamu'alaikum."

***

"Hiih ..." Ringisan lirih lolos dari bibir Tirza begitu beberapa belas menit kemudian berhasil membawa kendaraan roda duanya memasuki sebuah pekarangan luas. Dengan bibir bergetar dan tangan menggigil dia memutar kunci untuk mematikan mesin kemudian menginjak standar.

Setelah merasa yakin dengan parkirannya Tirza turun. Kaki jenjangnya menapak rerumputan yang mengelilingi sebuah vila megah yang letaknya agak jauh dari jalanan besar. Curah hujan yang tinggi membuatnya buru-buru berlari menuju teras untuk berteduh.

Sembari melepas jas, Tirza mengedarkan pandangan. Tempat ini sangat asri. Di sekelilingnya tumbuh cukup banyak pohon rindang dan bunga-bunga yang beraneka ragam. Membuatnya berpikir bahwa ini adalah tempat yang cukup nyaman.

"Tirza?" Tepat di balik jendela yang terbuka seorang perempuan bergaun merah muda menyerukan namanya dengan suara yang kentara menunjukkan keterkejutan. Bola matanya bahkan sampai melebar.

Tirza menyimpan jas dan helm di sudut tembok lalu membenahi kerudung. "Hai, Alma!" sapanya kemudian, canggung.

"Ya ampun, Tirza! Ini kamu?" Alma keluar kemudian memutar-mutar tubuh Tirza. Setelah yakin, dia berseru cukup kencang, "Guys! Tirza datang!"

"Wah, akhirnya!" Lima gadis berpenampilan modis yang baru keluar berucap berbarengan. Memandang Tirza dengan ekspresi-ekspresi tak terduga yang berlebihan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 10, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cukup DisimpanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang