Cukup Disimpan

6 2 0
                                    

"Agni pacaran dengan adik kelas ya?"

Tidak ada angin, tidak ada hujan, Tsania menyambarku begitu saja pagi ini. Aku bahkan baru saja menginjakkan satu kaki ke dalam kelas, masih berpeluh akibat bersepeda, dan belum meletakkan tas yang beratnya seperti diisi batu.

"Gak tau, lah. Aku kan gak dekat sama anak otomotif," sahutku sembari masuk ke dalam kelas. Tsania terus mengekorku sampai aku duduk seperti anak ayam pada induknya.

"Kamu kan teman SD dan SMPnya, pasti tau lah gimana dia. Emang tipe dia kayak si Clarin Clarin itu?" sungut Tsania, terlihat sekali ia cemburu atau semacamnya.

"Dia tuh banyak cewek, ganti-ganti. Udah kubilangin dia playboy tetap aja gak percaya," cibirku sembari mengeluarkan earphone dan memasangnya pada telinga. Andai saja bukan upaya menyebar aib, tentu aku ingin bilang pada Tsania bahwa selain tukang ganti cewek, kenanganku pada Agni juga banyak dari bagaimana dia sering buang air di celana sampai kelas 4.

"Dadah, aku mau ke ruang OSIS. Ada dokumen yang harus aku isi," pamitku sambil melambaikan tangan dan langsung ke luar kelas. Tampaknya Tsania bicara, tapi aku tak mendengar apa-apa. Di telingaku hanya ada 'Perfect' karya Ed Shareen.

Ya ... lagu ini tetap pas bagi pendengaranku setelah dua tahun lamanya.

-------

Ruangan berukuran 3 x 6 cm ini pagi-pagi sudah mendapat servis kebersihan, Faruq pelakunya. Komputer  di ujung ruangan telah beroperasi, aku rasa pemuda itu pagi-pagi sudah datang sama sepertiku untuk memasukkan data.

"Yow, Bro! Dah dari tadi?" sapaku sembari mendekati Faruq.

Faruq tertawa ringan. "Sepuluh menit yang lalu," ujarnya sembari menekuk siku kanan membentuk sudut 90°. Aku melakukan hal yang sama, dan kami melakukan tos dengan mempertemukan bagian tangan kami yang tertutup kain. Agar lebih aman menurut Faruq.

Aku duduk di depan komputer dan melakukan hal yang menjadi tugasku, Faruq juga demikian. Kami saling diam, hingga pekerjaan kami selesai, dan bel masuk akan segera berbunyi. Kami mematikan komputer dan ke luar ruangan, lalu saat itu, baru Faruq memulai dosa kami tiap pagi.

"Lo tau nggak sih? Si Agni dari kelas Otomotif? Katanya pacaran sama dekkel yang paling cantik pas MPLS," cerocos Faruq, dan aku tidak mengerti kenapa dari tadi para manusia membahas Agni.

"Kalau nggak salah namanya...." Faruq diam sejenak, ia memijat kepalanya, terlihat sedang mengingat sesuatu.

"Clarin?" tebakku, teringat cerita Tsania.

Faruq menepukkan tangannya, "Nah, itu!" serunya seketika.

Aku hanya tersenyum tipis, sementara Faruq terus menceritakan semuanya. Hingga kami hampir sampai di gedung informatika, baru Faruq mengajukan satu pertanyaan. "Menurutmu gimana, Na? Agni kan sesekolah terus sama kamu."

Aku mendengkus sebal, entah siapa yang membuat kabar itu tersebar. Padahal aku sangat tidak ingin masa putih-abuku bersinggungan dengan  masa lalu.

"Terakhir aku ngobrol dengan Agni waktu kita lulus SD. Pas SMP sama sekali enggak ngobrol. Sekelas aja gak pernah," ungkapku, sedikit menekankan kekesalan.

Faruq tertawa, entah apa yang lucu. Tapi detik berikutnya ia menunjuk telingaku yang tertutup kerudung. "Jadi yang buat kamu suka 'Perfect' itu bukan Agni?"

Aku melotot seketika. Langsung saja kupukul lengan Faruq, sementara si pemilik lengan tertawa tanpa henti. "Bukan! Agni bahkan gak pantas dibandingkan dengan sehelai rambut dia!"

Faruq tertawa makin renyah, dan itu mengundang perhatian banyak orang. Sudah berkali-kali seperti ini, bahkan tak jarang banyak yang mengira Faruq pacarku karena kami sering berjalan bersisihan. Padahal, aku tak pernah sekali pun menganggap Faruq seperti sebenarnya lelaki. Aku bahkan malu berjalan di sampingnya karena suara Faruq bak toa.

"Kalau begitu, siapa yang kamu bilang nyanyi lagu 'Perfect' di kelulusanmu?"

"Ada lah."

"Gimana cirinya?"

"Kayak laki-laki."

"Ganteng gak?"

"Tentu. Senyumnya manis."

"Tinggi gak?"

"180 cm."

"Punya roti sobek?"

"Sayangnya nggak. Dia di bawah 50 kg."

"Ih kurus banget!"

"Yang penting dia suka aku!"

"Heh anak informatika juga banyak yang suka kamu kali! Anak teknik lain juga, banyak loh yang suka tanyain kamu."

"Bodo amat. Kalau bukan dia, ya bukan."

Faruq berdecih sebal, ia tampaknya kesal ketika menyadari fakta bahwa aku pandai berdebat dan cukup keras kepala.

"Dia sepantaran?" tanya Faruq lagi sebelum ia masuk kelas.

"Iya, beda 7 bulan."

"Tuaan dia?"

Aku meringis, sebentar lagi masa lalu tampaknya akan terulang.

"Tuaan aku. Dia adik kelas."

Faruq ternganga, sementara aku tertawa dan berlari masuk ke kelasku yang berseberangan dengan kelasnya.

"Heh sialan! Kemarin lu nolak temen gue karena tuaan lu satu bulan, terus ternyata lu suka berondong gitu?!" berondong Faruq dari luar. Aku hanya tertawa dari dalam kelas sementara teman-temanku tersenyum maklum.

Aku dan Faruq bagi anak informatika, seperti saudara yang tak pernah akur.

"Siapa yang suka berondong?" Tsania langsung bertanya ketika aku hendak duduk.

... [Bersambung]

***

Cerpen tema kenangan karya Nasylaawa ini sudah diterbitkan dalam efent KFA7

Cukup DisimpanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang