Sesuai Permintaan

0 1 0
                                    

Namanya Aldilan, pemuda bermata teduh seperti sifatnya yang meneduhkan. Aldilan terlahir dari keluarga yang sederhana, ayahnya pun seorang petani. Walaupun orang-orang sering meragukan dirinya, ia tetap memiliki banyak harapan, salah satunya ditemani wisuda oleh Pak Alan yang merupakan ayahnya.

Lalu, ke manakah ibunya? Ibunya meninggal ketika melahirkan Aldilan. Tentunya Aldilan merasa bersalah, dulu pun pemuda itu berandai-andai jika saja dia bisa memilih, ia akan memilih untuk tidak lahir agar ibunya bisa hidup. Namun, Pak Alan selalu berkata bahwa semua sudah ditakdirkan Tuhan, tugas Aldilan sekarang mendoakan dan membuat ibunya bangga di atas sana. Hingga akhirnya Aldilan bisa menerima walau belum sepenuhnya karena ketika melihat anak-anak yang sedang bersama ibunya, ia selalu ingin seperti itu.

Kembali lagi pada harapan Aldilan, salah satu harapannya akan terwujud satu hari lagi. Ya, pemuda itu sudah menyelesaikan pendidikan S1-nya di salah satu universitas ternama dengan gelar sarjana pertanian. Dia tidak pernah menyangka harapannya akan terwujud. Memang benar, hasil tidak akan mengkhianati usaha dan doa.

Tidak sia-sia perjuangan ayahnya membiayai kuliah dari gaji bertani. Dirinya masuk ke fakultas pertanian pun karena terinspirasi dari ayahnya. Mungkin ayahnya bekerja sebagai petani di tempat orang lain, suatu saat nanti Aldilan ingin membuka lahan untuk para petani bekerja. Karena ayahnya selalu berpesan agar ia menjadi lebih baik ayahnya.

Sore ini dia bergegas pulang dari pasar menggunakan sepeda karena ingin memberikan sesuatu kepada ayahnya. Pemuda itu memang ke mana-mana selalu menggunakan sepeda, berbeda dengan remaja seusianya yang kebanyakan mengendarai motor atau mobil. Apakah Aldilan tidak malu? Tidak. Menurutnya, selagi sepeda itu bukan hasil mencuri, ia tidak perlu malu.

Tak terasa sepeda yang dia kayuh sudah memasuki perkampungan tempat ia dan ayahnya tinggal. Beberapa warga yang berpapasan dengannya memberikan sapaan atau senyuman. Tentu saja dengan senang hati Aldilan membalas. Hingga akhirnya dia sampai di depan rumah panggung.

Aldilan memasuki rumah dengan melepas sepatu terlebih dahulu, lalu mengucapkan salam. Di dalam ternyata sudah ada ayahnya yang sedang duduk santai ditemani kopi dan singkong rebus.

"Bapak ternyata udah pulang," ujar Aldilan sambil mengecup tangan kasar yang sering dipakai untuk mencangkul.

"Iya, belum lama kok, Di."

Aldilan yang kini sudah duduk di hadapannya pun manggut-manggut.

"Oh, iya, Aldi punya sesuatu buat Bapak." Aldilan membuka resleting tas, lalu mengeluarkan kantong kresek.

"Nih, buat Bapak."

Ayahnya mengernyitkan dahi."Apa ini, Di?"

"Buka aja!"

Ayahnya pun mengambil kantong kresek tersebut, kemudian mengeluarkan isinya yang ternyata baju batik berwarna cokelat tua.

"Satu hari lagi 'kan Aldi wisuda, itu buat Bapak pakai ke sana," ungkap Aldilan.

"Padahal kamu gak usah repot-repot, Di. Lebih baik uangnya kamu simpen untuk keperluanmu yang lain, Bapak 'kan masih ada baju lain," balasnya.

Aldilan menarik kedua sudut bibirnya, dia sudah tahu bahwa ayahnya akan menolak pemberiannya karena itu sudah sering terjadi. Hal tersebut membuat Aldilan bersyukur sekaligus malu. Bersyukur karena memiliki ayah yang begitu menyayanginya dan malu sebab belum bisa membahagiakannya.

"Wisuda ditemenin Bapak adalah salah satu dari banyaknya harapan Aldi, jadi Aldi mau ngasih yang terbaik buat Bapak."

Pak Alan tersenyum penuh rasa haru."Semoga harapan kamu benar-benar terwujud, ya!"

Cukup DisimpanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang