Faiz dan Faiza

1 0 0
                                    

"Kakak, kakak sungkem sama ayah gih. Nanti biar adik ikutin. Kamu contohin dulu," pinta bunda padaku.

"Tapi, Faiza malu, Bun."

Sungkeman setiap tanggal satu syawal sepertinya sudah menjadi kebiasaan di keluargaku. Tadi bunda sudah sungkem ke ayah. Dan kini giliran aku dan nanti dilanjut adikku, Faiz.

Sungkem tuh sebenarnya minta maaf, tapi sambil menunduk di depan orang yang lebih tua. Hal ini seperti penghormatan sekaligus permintaan maaf.

Aku ga tau apa yang diucapkan mereka berdua. Yang pasti setelah itu, baik ayah atau ibu sama-sama meneteskan air mata. Tanpa sadar suasana haru tercipta, tentu membuat aku dan Faiz terdiam seakan mengikuti suasana.

"Udah sini ga usah malu," tutur bunda.

Aku mengode Faiz lewat mata. Namun sialnya dia malah pura-pura acuh. Emang bener-bener itu bocah. Awas aja nanti.

"Udah sini, Kak. Ayah udah nungguin itu."

Aku mau ga mau ya tetep maju. Seolah memberi contoh yang baik untuk Faiz. Sebagai kakak yang baik memang seharusnya memberi contoh. Tapi untuk satu ini, aku ga tau apa yang harus aku lakukan.

Akhirnya aku memberanikan diri. Melakukan seperti yang tadi dicontohkan bunda. Di luar ekspektasiku.

"Maafin kesalahan ayah ya, nak. Ayah biasanya marahin Faiza, ayah biasanya emosi waktu Faiza buat salah. Maafin ayah ya ..."

Aku hanya terdiam, bingung harus menjawab apa selain kata iya. Mau membalas dengan ucapan minta maaf, rasanya lidah ini kelu untuk mengucap. Egoku Masih terlalu tinggi untuk sekedar minta maaf.

Setelah aku selesai, kini ganti Faiz. Dia tetap dengan gayanya yang tidak bisa diam, petakilan dan kawan-kawannya.

"Kamu salim sama Faiz gih," pinta bunda padaku. Ini yang paling malas. Berangkat sekolah saja dia selalu skip untuk salim ke aku. Biasanya cuma salim sama ayah dan bunda, langsung berangkat sekolah. Ego lah.

"Kok Faiza, Bun?"

"Udah, setiap hari udah bertengkar, masa ga mau minta maaf?" jelas bunda.

Ada benarnya, setiap hari kalo lagi ngumpul pasti berantem. Minimal adu mulut, itu minimal. Kalo lebih biasanya, sembunyiin barang, lempar barang, pukul-pukulan, dan masih banyak lagi.

"Tapi kan, Bun?" Aku mengambil nafas dalam-dalam. Memikirkan kata yang pas untuk sanggahan.

"Apa? Mau alasan apa? Tolong lah kak, sehari saja," tutur bunda berhasil menebak isi pikiranku.

Lagi dan lagi, aku tidak punya alasan. Mau tidak mau aku yang maju dulu untuk minta maaf ke Faiz.

"Maaf ya, Faiz, dari kakakmu yang paling cantik," cetusku penuh percaya diri.

Dia hanya membalas dengan wajah andalannya, wajah jengah dengan ujung bibir yang tertarik sedikit. Dengan terpaksa dia mencium punggung tanganku.

"Faiz!" gertakku waktu dia menjilat punggung tanganku. Spontan aku mengelapkan ke bajunya.

Tolong lah! Ini masih satu syawal. Jangan ngajak berantem. Baru minta maaf udah bikin ulah lagi.

*
*
*

Kini ... rekaman-rekaman di waktu silam hanyalah kenangan. Netraku tak beralih sedikitpun dari nisan kedua orang tuanya. Mengusap nisan itu lembut, dia rindu.

Bulan depan genap setahun ayah dan ibu pergi meninggalku dan Faiz. Dan hari raya kali ini adalah hari raya pertama tanpa mereka. Jika dulu, setiap selesai sholat idul fitri ada sungkeman yang seperti kewajiban. Kini, acara itu berganti ziarah ke makam kedua orang tuanya.

Kecelakaan truk pengangkut barang dengan sepeda motor itu menewaskan kedua orang tuaku. Masih teringat jelas, mereka berpamitan untuk pergi membeli bahan jualan, tapi sayangnya nasib baik tidak berpihak pada kami.

Saat itu juga duniaku berubah.

"Ayah, bunda, Selamat hari raya idul fitri. Meskipun idul fitri kali ini rasanya beda."

Baru datang saja, air mata Faiza sudah berontak keluar.

"Ayah sama bunda apa kabar? Malaikat ga jahat kan sama ayah dan bunda? Faiz sama kakak baik-baik kok di sini. Jadi ayah sama bunda ga perlu khawatir," tutur Faiz.

Tahun ini, Faiz sudah kelas 8 SMP. Dan aku sudah bekerja meskipun penghasilannya belum bisa dikatakan cukup. Semenjak orang tuaku pergi, semua planning yang sudah aku siapkan rasanya terpaksa dihapus.

Aku yang berencana kuliah di tahun ini terpaksa harus menggagalkan rencanaku sendiri. Padahal keadaan aku sudah gap year di tahun sebelumnya. Jika dulu alasannya kekurangan biaya karena Faiz juga masuk sekolah menengah pertama. Kini alasannya tidak ada yang membiayai. Mau ga mau, aku terpaksa menjadi tulang punggung untuk Faiz. Dia harus berpendidikan.

Faiz yang dulunya jail, iseng atau apalah itu. Kini dia berbeda, satu tahun ini benar-benar mengubah kepribadiannya. Jika dulu pulang sekolah biasanya main dengan temannya meskipun sekedar nongkrong, kini dia pulang sekolah bekerja, ya meskipun sekedar bantu-bantu sebagai kuli bangunan. Aku salut dia tidak malu akan hal itu. Padahal hal seperti itu cukup aneh di anak seusianya.

"Kak Iza jangan nangis dong. Kan tadi sebelum ke sini udah janji ga bakal nangis. Kasian ayah dan bunda kalo kita nangis."

Faiz menyadari air mataku. Aku bersyukur, masih punya Faiz. Jika tidak, aku tidak tau alasan aku bertahan di dunia ini jika aku benar-benar sebatang kara.

"Kakak ga nangis kok, Iz."

Sempat terpikirkan di benakku untuk menyerah. Namun rasanya, itu tidak akan ku lakukan. Aku masih mempunyai alasan hidup, yaitu Faiz.

Kadang aku kasihan dengan dia yang masih duduk di bangku menengah pertama, tapi sudah harus bekerja. Mau melarang, keadaan memang menuntut kita berdua untuk menghidupi diri sendiri.

"Kak Iza tenang aja, Faiz tetap di sini kok. Faiz ga akan kemana-mana."

"Tumben sweet banget," cetusku menyadari perubahannya.

"Gapapa lah sekali-kali kak, barang kali mau bersandar di pundakku juga gapapa. Mumpung aku belum punya pacar," selorohnya yang ku balas timpukan ringan.

Aku tau, itu hanya alibinya untuk menutupi kesedihan. Dia hanya memasang topeng dramanya agar terlihat kuat.

"Emang kamu berencana pacaran?"

"Kalo kak Iza izinin gapapa sih kayaknya. Ide yang menarik juga untuk memanfaatkan waktu luang."

"Memanfaatkan waktu luang apanya. Buang-buang waktu iya," sahutku cepat. "Ga ada ceritanya, pacaran bermanfaat sampe dapatin pahala."

Meskipun pacarannya ngingetin sholat, ngingetin ngaji, ngajak puasa atau berangkat haji bareng pun. Ga ada istilah yang membenarkan pacaran yang dikombinasikan dengan ibadah itu diperbolehkan.

"Ada kok, pacar halal."

"Heh! Sekolah dulu! Awas sampai nikahnya langkahin kakak!"

Usiaku dan Faiz terpaut cukup jauh. Ga lucu kalo yang nikah duluan Faiz.

"Iyaa ... Iyaa..."

Dia mengalah. Emang cewek kalo lagi debat ga bisa dibantah. Strata cewek tetep di atas kalo dalam masalah seperti ini

"Udahh-udah ayo pulang!"

Setelah menang debat, aku mengajak dia pulang. Kehilangan memang menyedihkan, tapi jangan lupa ada yang harus diperjuangkan.

***

Cerpen tema Syawal karya nikmatul_maula

Cukup DisimpanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang