Rindu itu Berat

1 0 0
                                    

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, laa ilaaha illallaahu wallbaahu akbar. Allahu Akbar walillaahil hamdu.

Suara takbir menggema di malam bulan ramadhan, wajah sedih dan bahagia orang-orang perlihatkan. Suara petasan pun ikut meramaikan, menandakan akan usainya ramadhan.

Ketika orang lain berkumpul dengan keluarga, ada yang sibuk mempersiapkan baju lebaran, membuat atau membeli kue, dan lain-lain, sementara seorang anak laki-laki sedang termenung di jendela sambil menatap bulan dan bintang yang kala itu berdekatan.

Rasanya malam ini adalah malam yang menyesakkan hingga membuat air mata turun tak tertahan. Tiba-tiba saja dia merasakan bahunya ditepuk pelan, lalu ia pun menoleh.

"Loh, Sya ... kamu kok nangis?"

Anak laki-laki berusia tujuh tahun yang memiliki nama Syarul Ramadhan bergegas menghapus air matanya.

"Bulan sama bintangnya bisa deketan gitu ya, Bu, cantik."

Wanita berdaster itu mengikuti arah pandang anaknya, dia mengangguk sambil tersenyum. Tak lama ia kembali menatap anaknya, dia tersadar bahwa Syahrul sedang mengalihkan pembicaraan.

"Sya, kamu ada masalah? Cerita ke Ibu, jangan ngalihin pembicaraan!" pinta ibunya.

Syahrul bangkit dari duduknya."Eh, iya ... Sya baru inget kalau sekarang Pak Qodar mau bagi-bagi THR dan temen-temen ngajakin ke sana."

"Syahrul!"

Bukannya marah karena anaknya selalu mengalihkan pembicaraan, wanita itu memanggil Syahrul dengan nada yang begitu lembut sambil mengusap kepalanya.

Syahrul pun akhirnya kembali duduk.

"Sya, cuma sedih karena bulan ramadhan bakalan pergi."

Ibunya tersenyum."Jadi, karna itu kamu nangis?"

Syahrul mengangguk."Kita gak akan ada lagi temen kalau kelaperan."

Ibunya belum menanggapi, anak itu sudah kembali bersuara.

"Terus, nanti kita gak makan enak lagi. Kan kalau bulan ramadhan, kita gak minta aja banyak orang yang ngasih. Kalau bulan-bulan biasa harus kita yang minta, itu pun susah banget orang ngasih."

Ibunya terdiam. Miris rasanya mendengarkan perkataan anaknya yang memanglah sebuah fakta. Bulan ramadhan ini memang membawa keberkahan. Sebelum bulan ramadhan seringkali mereka sulit sekadar mendapatkan sesuap nasi, malah sering kenyang dengan caci maki.

Keduanya tinggal di rumah dengan bilik bambu. Hari-hari mereka isi dengan memungut rongsokan untuk dijual, walaupun hasil tak seberapa asalkan mereka bisa makan. Lalu, ke mana ayah Syahrul? Ketika Syahrul berusia tiga tahun, ayahnya pergi keluar negeri untuk mencari rezeki. Akan tetapi, beliau tidak ada kabar sampai saat ini. Syahrul selalu berharap bisa bertemu ayahnya, sekalipun dalam mimpi. Namun, itu belum pernah terjadi.

"Sya, gak boleh ngomong gitu!" pinta ibunya.

"Tapi faktanya gitu 'kan, Bu?"

"Sya, dengerin Ibu!" Ibunya memegang kedua pundak Syahrul.

"Rezeki itu bisa dateng kapan aja, dari mana aja karena Allah gak pernah tidur. Sekarang Allah lagi nguji seberapa kuat Sya bertahan dengan semua ini. Dan Ibu bangga sama Sya karena seberat apa pun ujiannya, Sya gak pernah ninggalin ibadah sama Allah."

Cukup DisimpanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang