Aku menggeleng, tak bisa menahan diri untuk tidak bergidik ketika melihat Ratih--adikku--menggerak-gerakkan tisu di bawah hidungnya, menyusut ingus yang meler.
Rasanya ingin sekali meledeknya, tetapi mengingat suasana hari raya, aku memilih urung. Di waktu lebaran seperti ini memang wajar mengeluarkan air mata saat sedang saling memaafkan, terlebih ketika dengan orang tua, menunjukkan keseriusan sekaligus perasaan bersalah karena yakin selama sebelas bulan kemarin pernah--bahkan sering--mengusik hati mereka. Namun, tidak sampai seberlebihan Ratih juga, dia itu lebay.
"Sudah, cuci muka, gih!" Ibu mengintruksi, mungkin jemu dengan drama kedua anaknya.
"Segera," timpal ayah ketika kami masih bergeming di tempat. Kemudian ayah bangkit dari sofa tempat kami melakukan sungkeman. Sembari mengambil langkah, beliau menambahkan, "Kita berangkat ke rumah Kakek sebentar lagi."
Setelah para orang tua meninggalkan ruang keluarga, aku beringsut meraih pundak Ratih dan membantunya berdiri. Dalam perjalanan menuju kamar mandi, aku membisik, "Yakin, Ayah dan Ibu pasti maafin kita. Jadi, udahan meweknya. Entar aku kasih THR, deh."
Ratih mengusap sudut matanya, lalu mengerjap-kerjap, mungkin heran. "Punya duit emang?" tanyanya dengan nada yang kentara menunjukkan ketidakpercayaan.
Aku mendengkus, melepaskan rangkulan, kemudian melipat tangan di dada. "Punya, 'lah," balasku pongah dengan dagu terangkat. "Perlu diingat, Kakak kamu ini bukan pengangguran."
"Mana buktinya?" Alis Ratih terangkat sebelah, masih sangsi ternyata. "Tukang ngamar seharian dapat duit dari mana?"
Aku berdecak. Ratih meremehkanku. Tak terima, segera kurogohkan tangan kanan ke saku gamis. "Nih," sungutku setelah mengeluarkan sebuah barang tipis berbahan kertas.
"Gambar kamu?" Ratih masih mencibir, tetapi tangannya tanpa aba-aba merebut. Dasar anak itu, mentang-mentang usianya hanya dua tahun di bawahku, tingkat kesopanannya padaku teramat tipis.
Bahuku mengedik. "Lebih tepatnya hasil dari menjual gambarku,"
"Wah ..."
Sesuai dugaanku, netra Ratih pasti akan berbinar melihat isi amplop yang bagian luarnya berhias desain khusus--berbentuk lentera dengan lampu hati--buatanku itu.
"Seratus lima puluh ribu, dong," seru Ratih sambil mengibar-kibarkan tiga lembar uang berwarna biru. "Tajir si Kakak. Makasih, ya," kecapnya sok lembut.
Aku mencebik. Giliran dikasih uang saja, dia sopan. Padahal hari-hari lain dia amat jarang menyebutku dengan panggilan itu. Biasanya dia malah langsung menyebut nama kecilku.
"Alhamdulillah, sama-sama." Bagaimanapun suasananya, harus selalu mengingat Allah.
"Adek! Kakak! Segera!"
Belum sempat Ratih mengeluarkan suara dari mulutnya yang telanjur terbuka, terdengar seruan Ibu dengan nada yang kuyakin menahan kesal karena kami tak kunjung melaksanakan apa yang diperintahkan.
Tak mau kembali membuat Ibu marah, padahal belum ada satu jam bermaaf-maafan, segera saja aku mendorong Ratih ke kamar mandi. "Buruan!"
***
Segera yang diminta orang tuaku memang bukan bualan semata. Tak sampai sepuluh menit, kini kami sudah harus bergerak meninggalkan rumah. Melangkah beriringan melewati jalanan setapak, menuju daerah RT sebelah, tempat orang tua dari ayah berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cukup Disimpan
Storie breviBerisi kumpulan cerita mini dan cerita pendek berbagai genre karya para member.