Ini adalah flashback Dara dan Disha setelah Dean menjauh.
HAPPY READING!!!!
🦋🦋🦋
"Dara, kamu kenapa sendirian? Gak ada temen? Ayo sama aku aja!"
"Dara gak jajan? Ini aku belikan roti. Dimakan, ya."
"Dara kenapa nangis? Kamu sedih, ya? Sedih kenapa? Ayo sini cerita, aku dengerin sampai selesai."
"Dara, kamu cantik, ya. Senyum kamu manis."
"Dara, nanti malam kita ke festival bareng, ya?"
"Dara ..."
"Dara ..."
Disha adalah anak kecil yang periang. Dulu dia sangat mengagumi Dara, bahkan sangat menyayanginya seperti adiknya sendiri. Rasa kagum yang membeludak membuatnya perlahan sadar bahwa ternyata Dara selalu berada seribu tingkat di atasnya.
Iri.
Itulah yang membuat Disha seketika sadar dan kemudian mulai sedikit demi sedikit menjauhi Dara.
Dara yang notabene-nya adalah seorang anak kecil yang pendiam, sulit berkomunikasi, dan pemalu, dia tidak mempunyai banyak teman. Dan saat itulah Disha datang mewarnai hidup Dara. Disha lah yang melatih Dara agar menjadi seorang anak yang lebih aktif dan pemberani. Ia selalu memuji Dara agar Dara percaya diri. Disha lah yang membantu Dara untuk berinteraksi dengan teman sebayanya.
Hingga Dara mempunyai teman baru, Disha merasa terlupakan. Saat Dara pertama berteman dengan Dean, Disha sudah mulai merasa tersisihkan. Dia juga takut, karena semakin bertambah teman Dara, semakin bertambah pula orang yang akan memberi jarak antara dirinya dengan Dara. Dan Disha tidak ingin hal itu terjadi.
Selain itu, Dara yang sekarang mempunyai banyak teman, sudah disanjung oleh banyak orang. Sudah banyak yang memuji Dara. Berbeda dengan dulu sebelum Dara mempunyai banyak teman, yang memujinya hanya Disha seorang. Jika sekarang Dara sudah disanjung banyak orang, Disha mulai merasa perannya sudah tidak dibutuhkan lagi. Hingga kemudian Disha berinisiatif untuk menjauhi Dara.
🦋🦋🦋
"Disha!" panggil Dara kecil itu seraya menahan isak tangis. Di tangan kanannya, sebuah boneka beruang putih menjadi saksi bisu perbincangan antara dua anak kecil ini.
Disha kecil berkacak pinggang dengan sorot mata tajam. "Ada urusan apa sama aku?" Disha membusungkan dada. Nada bicaranya sedikit keras, membuat Dara merasa digertak.
Kelip cahaya manik mata Dara meredup. Kepalanya menunduk 90 derajat, menatap kaki boneka beruang yang ia pegang dengan tatapan sendu. "Kenapa kamu jauhi aku?" lirih Dara bertanya.
Disha memutar bola matanya sinis. Kedua tangannya ia lipat di dada. "Jadi, kamu gak tau alasan aku jauhi kamu?" ujarnya bertanya.
Dara mengangguk lemah. Sedetik kemudian ia mendongak menatap Disha dengan sorot mata penuh harap. "Iya, makanya aku minta penjelasan dari kamu."
"Jangan harap kamu bisa paham dan ngerti semuanya, Dara." Suara lantang Disha memotong ucapan Dara yang penuh harap. Dan kalimat itu berhasil membuat air mata yang semula menggenang di pelupuk mata Dara menetes deras.
Raut wajah Dara muram. Disha kembali menoreh luka di hati kecil Dara untuk yang kedua kalinya setelah beberapa bulan berlalu sejak kejadian di taman.
Ingatan saat kejadian di taman mulai kembali, membuat Dara semakin terisak. Mendecih sebal, Disha pergi meninggalkan Dara yang menangis terisak-isak.
Dara mencoba mencekal tangan Disha. Namun Disha tiba-tiba melotot. "Jangan sentuh aku!"
"Ta-Tapi-"
"Kamu tau? Aku benci setiap lihat kamu ketawa senang-senang sama yang lain. Aku benci dengar pujian-pujian orang tentang kamu."
"Aku juga benci dengar hinaan mereka yang selalu ngerendahin aku."
"Aku benci lihat kamu senang sama pujian mereka. Aku benci semuanya! Benci, Dar!" Disha mulai menangis. "Aku udah ngerasa gak pantas sama kamu. Kamu yang sekarang udah dikenal semua orang. Jadi? Sekarang ini, apa artinya aku di hidup kamu?"
Disha mengentakkan tangannya yang dicekal Dara dengan keras. "Mulai sekarang, aku bukan teman kamu lagi, Dara." Satu kalimat itu, berhasil membuat Dara terhenyak. Dadanya sesak, dia tidak bisa bernapas seperti biasanya. Seolah terasa ada yang mengganjal di dada.
Mulut Dara mengatup rapat. Hanya air mata yang mengalir deras yang dapat menggambarkan rasa sakit yang dia rasakan saat itu. Matanya panas. Dara terbatuk-batuk beberapa kali karena merasakan sesak di dadanya yang semakin terasa sakit.
Sementara itu, Disha melenggang pergi meninggalkan Dara yang sudah terduduk lemas di lantai. Dara menunduk, membiarkan air matanya menetes deras membasahi boneka yang dia peluk. Sekarang, dia sudah kehilangan sahabatnya yang paling berharga. Dia sudah kehilangan semuanya. Dean, Disha, dan teman-teman yang lain.
"Aah, buang-buang air mata aja. Jangan nangis dong, kamu kalau dijahatin itu ya balas!" Suara itu membuat tangis Dara terhenti sejenak. Dia kemudian mendongak, mendapati seorang anak kecil perempuan dengan bando merah di kepala.
Dara menyeka air matanya yang membasahi kedua pipinya. "K-Kamu siapa?"
Anak perempuan itu berjongkok menyamakan tingginya dengan Dara. Tangan mungil sang gadis kecil tersebut menepuk puncak kepala Dara lembut. Menerima usapan halus itu membuat Dara merasa tenang seketika.
"Kamu gak perlu nangisin orang kaya dia. Dia cuma iri sama apa yang kamu punya. Kamu hebat ya selama ini bisa bertahan sama orang kaya gitu." Dia menyunggingkan senyum manis yang lebar pada Dara.
Dara hanya diam tak berkutik. Dia terlalu terkejut dengan hadirnya seseorang yang sama sekali tidak ia kenal.
"Aku Thaliana, panggil aku Thalia." Gadis kecil bernama Thalia itu lagi-lagi tersenyum. Dan senyum itu sangat menenangkan. Itu adalah senyum paling tulus di antara senyum yang pernah Dara lihat. Dan menurutnya, senyum dari seorang anak bernama Thalia ini lebih manis dari senyum senyum yang dia lihat pada umumnya.
"Kamu gak harus terus-menerus berteman sama dia kok. Setiap orang ada masanya. Ada masanya orang itu datang, ada masanya orang itu pergi. Dan ini udah saatnya dia pergi." Thalia kembali berbicara, menenangkan Dara yang saat ini sedang dalam kondisi terpuruk.
Dara membuka mulut, "Tapi, kalau dia pergi ... aku gak bisa apa-apa." Suara Dara melirih.
Mendengar itu, Thalia tertawa. "Hahahaha ...."
"Hei! Jangan terlalu bergantung sama orang. Kamu bisa kok lakukan apapun sendiri tanpa bantuan dia. Atau kalau semisalnya kamu gak bisa apa-apa tanpa dia, aku mau jadi orang yang bantu kamu setiap saat." Thalia berdiri, sedikit merapikan roknya yang kusut lalu setelah itu memberi tangan untuk membantu Dara berdiri.
Dengan senang hati Dara menerima sodoran tangan Thalia. Mungkin perkataan Thalia benar, dia bisa melakukan apapun sendirian tanpa bantuan dari Disha. Mau tidak mau, cepat atau lambat dia harus bisa melepas diri dari Disha. Dia harus terbiasa melakukan apapun sendirian dan tidak lagi bergantung pada orang lain.
"Makasih, Thila." Dara tersenyum lebar.
"Nama aku Thalia, bukan Thila!"
"Iya, Thali."
"Pake a dong!"
Dara tersenyum. "Oke Athali."
Thalia tersenyum masam. "Thaliaaaaaaa! Thaliana Ghazeeram!"
Menghela napas ringan, Dara kembali tersenyum. "Iya, iya Thanalia."
"Ah, udah deh terserah kamu aja."
🦋🦋🦋
Thank u for reading My Enemy, Dean! until this part
i looooveee u all soo much
⊂(≧▽≦)つ
KAMU SEDANG MEMBACA
My Enemy, Dean!
Novela JuvenilMereka berdua adalah sepasang sahabat dekat yang terpaksa berpisah karena suatu alasan. Perlahan menjaga jarak, mengurangi komunikasi, hingga pada akhirnya mereka berhenti berinteraksi satu sama lain. Sepasang sahabat tersebut adalah Adara Andalusi...