Di ambang pintu Diera berdiri, memperhatikan Im Nayoung yang tengah tertidur pulas di samping alat-alat lukis. Agaknya Si Bungsu Im itu belum makan, menunggunya pulang atau tengah menunggu Jinah menyelesaikan masakannya.
Jinah itu Bunda Diera. Lengkapnya Im Jinah, biasanya Diera juga memanggil Jinah dengan panggilan Bunda Nana. Entahlah, Diera suka sekali memelesetkan nama orang-orang, selain dia akan mudah mengingat nama mereka, dia juga tidak akan kerepotan menyebut nama-nama itu. Contohnya saja seperti Kim Jinhwan yang dia panggil Jay.
"Sudah pulang?" Itu Im Siwan, baru saja keluar dari kamar.
"Iya, setelah ini Diera akan pergi bekerja."
Tidak, Diera tidak akan langsung pergi kerja, dia akan mengerjakan tugas milik Asahi dan teman-teman Asahi terlebih dahulu, lalu setelah itu akan menuju kedai.
Tersenyum lembut pada Siwan, Diera mulai melepaskan satu-persatu sepatu sekolahnya yang lusuh menggunakan ujung ibu jari kakinya.
"Diera," panggil Siwan.
Diera menoleh, kemudian kembali tersenyum, dia yang hendak masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaian menjadi urung. "Iya, ayah?"
"Uang tahunan sekolah sudah dibayar? Ayah punya sedikit uang, barangkali kamu—"
"Sudah, ayah," sela Diera cepat.
Senyumnya semakin melebar, tidak berniat untuk membuat Siwan khawatir, mengingat dua hari lalu Diera sempat bercerita pada Jinah mengenai tabungannya yang belum cukup dibayarkan untuk uang tahunan sekolah. Tidak disangka, Siwan yang baru saja pulang dari kerja mendengar itu.
Beberapa hari lalu Siwan baru saja mendapat pekerjaan sebagai tukang pengantar koran, upah yang dia dapat dibilang cukup kecil, perharinya pria paruh baya itu hanya mendapat 4 ribu won saja. Tidak seberapa, tapi Siwan cukup senang karena dia nyaris dapat membawa pulang makanan ke rumah setelah mengantar koran-koran itu.
"Bunda Nana di mana?" tanya Diera, dia menyadari raut wajah Siwan yang berubah sedikit lebih ... sedih juga kecewa. Senyum tipis yang masih dapat Diera lihat pada roman tampan Siwan sebelumnya berangsur menghilang.
"Tidur di kamar, baru saja selesai masak." Siwan menatap Si sulung Im, kemudian dia memalingkan wajah. "Kamu masuk dulu."
"Iya, ayah."
Im Diera menurut, dia melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar. Tangannya melepas dasi yang terasa mencekik lehernya, diletakannya di samping tumpukan buku yang ada di atas meja belajarnya. Diera menghela napas sebelum memutuskan untuk duduk pada ubin dingin itu, satu lengannya terulur masuk ke sela-sela lubang antara meja belajarnya dengan kasurnya—Diera tidak memiliki ranjang, kasurnya memang tanpa alas.
Sebuah kaleng roti dia tarik keluar, membuka tutupnya dan mulai menghitung upah yang dia dapatkan selama bekerja di kedai.
Sudah terkumpul 4 juta won, sedangkan dia harus mempunyai 5 juta won untuk membayar uang tahunan sekolah selama satu tahun, jadi Diera harus bekerja lebih keras lagi untuk mendapat 6 juta won untuk melunasi uang tahunan sekolah selama dua tahun.
Apa dia harus mencari pekerjaan lain? Itu hanya sebuah pertanyaan sederhana, namun cukup membuat Diera berpikir semakin dalam.
Inilah dunianya yang sesungguhnya, nyatanya semua warna yang terpampang pada hari-harinya hanya berwarna kelabu. Warna-warni telah dia ciptakan dengan sempurna, hingga seluruh orang mungkin tidak akan menyadari seberapa kelam dunianya. Im Diera, hanya dia yang memahami segala seluk beluk isi dari dunianya, tidak pernah mengizinkan siapa pun mengetahuinya. Sebab mereka bisa saja mati karena menjelajahinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Njm] OUR PAGE || Sudah Terbit✓
Fiksi Penggemar[ALANGKAH BAIKNYA FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA<3] _______________________________________________________________ SUDAH TERBIT DAN PART MASIH LENGKAP~ INFO PEMESANAN MELALUI DM ATAU MELALUI WHATSAPP YANG ADA PADA PAMFLET DI BAGIAN AKHIR BAB CERITA^^ ...