Page 19

13 9 0
                                    

Bae Irene terus menarik lengan kurus itu hingga langkahnya berhenti tepat di sebuah lorong kecil—lorong itu terhubung langsung ke dapur kedai. Sedangkan Diera tidak tahu apa yang akan Irene lakukan setelah ini, mengingat Irene tak biasanya melakukan hal seperti ini padanya.

Selama beberapa minggu ini Irene cukup dekat dengan Diera, meskipun Irene tetap menjadi gadis yang sarkas dan angkuh. Tapi percayalah. Irene banyak membantunya akhir-akhir ini. Menyelamatkan Diera dari Jennie yang semakin hari semakin membuat mentalnya semakin berantakan.

"Gue tahu. Lo lagi berusaha buat dapatin uang lebih untuk mengganti uang kedai yang hilang."

Diera mendongak, raut wajahnya tampak terkejut setelah mendengar kalimat Irene. Kemudian dia menunduk lagi, mengangguk membenarkan seluruh perkataan itu.

"Ganti pakai ini."

Tangan Irene terulur lengkap dengan sebuah amplop cokelat menggembung pada genggamannya, berisi uang yang entah nominalnya berapa. Jika diperhatikan lagi, uang yang berada di dalam amplop cokelat itu lebih dari cukup untuk menggantikan uang kedai yang hilang, bahkan bisa digunakan sebagai tambahan untuk membayar uang tahunan sekolah.

"Maaf, aku tidak bisa menerima itu," tolak Diera.

"Lo enggak perlu nolak, uang ini enggak seberapa buat gue."

Diera tahu, Bae Irene memang terlahir dari keluarga kaya raya. Itulah mengapa dia selalu menggunakan pakaian bermerk dengan style feminim yang begitu cocok dengan proposisi tubuhnya yang ramping dan gayanya yang anggun. Namun Irene lebih memilih bekerja paruh waktu agar dapat merasakan bagaimana sulitnya mencari uang, meski hanya dengan sekali kedipan mata dia bisa mendapat apa yang dia mau.

Setidaknya Irene harus tahu, Diera masih dapat menggunakan seluruh tenaganya untuk bekerja, mencari uang yang tidak hanya dia gunakan untuk mengganti uang kedai yang hilang. Diera sudah mengatakan dari awal, dia tidak meminta untuk dikasihani, apalagi dianggap serendah ini.

"Maaf, Irene."

"Lo kenapa, sih, batu banget? Gue tau lo enggak punya uang."

Mata Diera mulai berkaca-kaca. Ucapan Irene melukai hatinya, sebisa mungkin dia menahan air matanya agar tidak tumpah, menyekanya dengan satu telunjuknya yang tidak terbalut perban.

Jujur saja, Diera tidak tahu ke mana arah jalan pikir Irene. Beberapa hari lepas, Irene sendiri yang mengingatkan Diera jika dia tidak mengunci mesin kasir—memang lupa, memberitahunya secara tidak langsung bahwa uang kedai hilang, seolah Irene merupakan dalang dibalik semua ini, tapi sekarang gadis itu justru ingin membantunya untuk mengganti seluruh uang kedai yang hilang.

Awalnya Diera berpikir bahwa Irene yang mencurinya, karena malam itu Irene yang menutup kedai sebelum Bibi Lee pulang. Namun jika Irene yang mencurinya, mengapa gadis ini ingin membantunya?

"Aku masih bisa untuk mengembalikan uang itu," kata Diera.

"Terserah lo mau bilang apa! Gue pastikan lo akan pakai uang ini." Irene meletakkan amplop cokelat itu secara kasar di atas satu telapak tangan Diera yang terbalut perban. Kemudian pergi.

Diera memandang amplop itu cukup lama, lalu menangis lagi.

Selain mental Diera yang perlahan runtuh. Percayalah bahwa depresi itu nyata. Siapa pun yang tidak mengalaminya, tidak akan pernah memahaminya, inilah yang menyebabkan Diera sering menangis dan merasa frustrasi.

🪐🪐🪐

Sekarang Diera berada di dapur, tangan itu membuka loker miliknya. Mengambil sebuah tas ransel yang berisi seragam sekolahnya juga lembar-lembar uang. Bibi Lee baru saja mencarinya, katanya Diera harus menyetorkan penghasilan kedai selama dua minggu terakhir.

[Njm] OUR PAGE || Sudah Terbit✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang