Semua kepingan kejadian yang menimpaku akhir akhir ini sedang ku pilah satu persatu. Aku tidak pernah membayangkan akan seperti ini. Aku kira, setelah aku lulus aku akan berada di London saat ini. Atau paling tidak berada di Amerika sana. Atau juga di Jerman, di kampung halaman nenekku.
Tapi kenyataannya sekarang aku sedang duduk termenung di balkon kamar Lauda. Setelah kejadian terusirnya aku dari kediaman Hoffmann, aku menginap di rumah sahabatku. Mungkinkah mereka merasa kehilangan anak satu satunya?
Sedari kemarin aku masih menutup mulut saat Lauda bertanya. Aku rasa gadis itu sudah tidak marah padaku. Seperti sekarang ini, dia datang membawa sarapan untuk kami.
"Sarapan kita datang.... " Ucapnya begitu riang.
"Terimakasih La... "
Sejenak aku terpaku melihat bagaimana Lauda menata makananan dengan riang. Gadis itu seolah melupakan kejadian kemarin. Apakah aku harus berusaha riang seperti Lauda juga?
"La... " Panggilku dengan lirih. Jujur aku bingung harus memulai darimana menceritakan tentang kehamilanku ini. Lauda sudah begitu baik, aku tidak mungkin tidak menceritakan masalahku.
"Kalau belum siap tidak usah Anne. Aku mengerti, kau masih punya banyak waktu"
Aku tersenyum puas mendengar kata Lauda yang begitu pengertian. Nanti, pasti aku akan menceritakan tentang kejadianku ini. Hanya saja sekarang fokusku akan dimana kah aku tinggal? Kami butuh tempat yang layak setidaknya.
"Terimakasih La"
"Iyaa... Aku adalah sahabatmu yang akan selalu bersamamu. Setidaknya kau jangan merasa sendiri"
"Iya La"
Kami berdua mulai makan dengan tenang. Lauda sudah selesai terlebih dahulu. Sekarang dia sedang bersantai menonton netflix di ponselnya. Sedangkan aku masih berusaha menghabiskan makanannya. Entah kenapa aku gampang sekali kenyang. Tapi aku harus menghabiskannya untuk kami berdua.
"Lauda... Aku rasa aku harus mencari tempat tinggal secepatnya. Apa kau tahu tentang rumah yang di kontrakan?"
"Kau bisa tinggal di sini Anne. Mama dan Papaku pasti mengerti"
"Aku tidak bisa La... Aku ingin berjuang bersama dengan bayiku. Bersama sama di rumah kami"
Lauda tampak berpikir keras mendengar penjelasanku. "Apa kau mau tinggal jauh dari sini?"
"Aku bisa.. Asalkan aku bisa sambil bekerja untuk menghidupi kami" Ucapku sambil mengelus pelan perutku.
"Mungkin di kota besar seperti ini kau akan sulit menemukan pekerjaan dengan kondisimu. Tapi aku punya saran kau tinggal di desa nenekku, bagaimana? Setidaknya aku tidak khawatir memikirkanmu sendirian di luar sana"
Aku berpikir sejenak. Desa yang sudah ku hindari selama ini. Dari semua hal yang terjadi di hidupku, akankah kembali ke desa itu akan lebih baik?
Aku takut. Aku takut bertemu lagi dengan pria itu. Pria asing yang seolah olah sudah mengagumiku begitu lama. Pria asing yang sudah menitipkan benihnya di rahimku.
"Aku akan memikirkannya nanti. Aku belum siap kembali ke sana"
"Apakah ada hubungannya dengan apa yang kau alami sekarang?"
Aku diam mendengar tuduhan Lauda yang memang benar. Biar dia menebak nebak sendiri. Aku belum siap membuatnya menyalahkan dirinya sendiri. Karena bagaimanapun semua berawal dari ajakan paksanya dulu.
-chcltefi-
Jika setiap ada pertemuan maka akan ada perpisahan. Tapi kini, perpisahanku akan membuat pertemuan. Aku memutuskan untuk mengikuti saran Lauda untuk berada di rumah neneknya.Aku sudah menceritakan sedikit kejadian itu. Hanya sebagian kecil, aku masih merahasiakan siapa ayah dari bayiku. Aku menceritakan garis besarnya saja, karena bagaimanapun itu adalah aib yang harus aku tutup rapat.
Kini aku menata baju di koperku yang berukuran sedang. Tidak membutuhkan waktu lama karena memang kemarin setelah di usir oleh Mama dan Papa, aku tidak mengeluarkan semua bajuku. Dan juga rata rata baju yang di dalamnya hanya baju santai.
"Anne.. Apakah sudah siap?"
Aku menoleh ke arah pintu. Di sana ada Tante Anjani dengan tas jinjingnya. Aku bersyukur beliau tidak memandangku dengan sebelah mata saat aku menceritakan kondisiku sekarang.
"Sudah Tan"
"Ayoo kita ke mobil. Kopernya biar Mbak Tri yang bawa nanti"
"iya tante"
Aku mengucapkan terima kasih dengan Mbak Tri, pambantu di rumah Lauda. Lalu aku berjalan mengekori Tante Anjani. Di mobil ternyata sudah lengkap, hanya tinggal menungguku saja.
Lauda sudah siap di bangku depan dengan supir. Tante Anjani duduk di bagian tengah bersama dengan Om Tiwo, suaminya. Aku memutuskan untuk duduk di paling belakang.
Setelah siap, mobil Alphard ini mulai berjalan dengan tenang. Kedua orang tua Lauda sama sama sibuk dengan handphone masing masing. Sedangkan Lauda sibuk bertelfon dengan beberapa orang yang bekerja sama dengannya.
"La... Pemotretanmu di Raja Ampat bulan ini jadi?" Tanya Tante Anjani.
"Jadi Ma. Setelah mengantar Anne, aku langsung bersiap ke sana"
Aku yang merasa menjadi alasan hanya diam saja karena tak enak. Bagaimanapun mereka mempunyai kesibukan masing masing malah mengantarkanku ke desa. Rasanya seperti seorang parasit saja.
"Aku ingin mendengarkan musik. Tidak apa apa kan?" Seru Lauda. Memang suasana di mobil terlalu tenang.
"Boleh La.. " Jawab Tante Anjani yang masih sibuk dengan ponselnya.
Mobil pun mulai masuk ke dalam jalan tol. Aku masih ingat setiap ruas jalan yang akan di lalui. Sambil bersender di jendela, aku memutuskan untuk tidur sejenak. Apalagi pilihan musik Lauda menambah rasa kantuk datang.
Entah sudah berapa lama aku tertidur. Sayup sayup aku mendengar suara gaduh. Aku mengedarkan pandanganku, hanya ada aku yang berada di mobil. Ternyata kami sudah sampai di halaman rumah Nenek May.
Aku turun dengan hati yang tidak enak. Karena terlalu lama tidur, aku tidak menyadari kalau sudah sampai. Aku mulai menyalami Nenek May dan kemudian beliau memelukku erat.
"Yang sabar ya nduk... Kau bisa di sini sama Nenek, udara di sini bagus buat pikiran" Ucap Nenek May dengan prihatin. Aku bisa melihat tatapan sedih di matanya.
"Iya Anne... Pokoknya jangan terlalu banyak pikiran. Kau hanya perlu memikirkan hal yang membuatmu senang saja"
Aku terharu mendengar ucapan Tante Anjani yang begitu perhatian. Bahkan Mama tidak pernah seperti ini. "Iya Tante"
"Anne... Aku pamit ya. Besok aku harus terbang ke Raja Ampat"
Aku memeluk satu persatu orang yang sudah mengantarkanku. Mereka semua adalah pahlawan tak terduga di hidupku. Aku akan mengingat setiap bantuan mereka selama hidupku kelak.
Aku melambaikan tangan saat mobil Alphard putih itu berlalu. Dengan di dampingi Nenek May, aku menggeret koperku ke dalam. Hari ini aku memanfaatkan waktu untuk beristirahat menyambut hari esok.
Sebelum aku benar benar masuk, aku menoleh melihat sekitar. Entah kenapa rasanya aku ingin melihat pemandangan di depan rumah sekali lagi. Ataukah mencari sosok Kai, si pemuda antah berantah yang menganggu hidupku?
Desa dengan hamparan sawah nan luas. Hanya itu yang aku lihat saat ini.
To be continue
Salam hangat, Fi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kopi Susu
Fiction généraleAnne suka susu. Cairan putih yang menghilangkan rasa dahaganya. Yang bisa menghilangkan crunky-nya. Tapi sayangnya dia membenci kopi karena sudah menodai warna putihnya. Kai adalah kopi. Pria hitam manis yang selalu membuat hangat orang di dekatnya...