Bagian 3.3

46 3 0
                                    

Sudah terhitung lima hari aku berada di desa ini. Sejauh ini aku merasa nyaman tinggal di rumah Nenek May. Untuk niatku yang mencari rumah sewaan masih tertunda. Nenek May dan Keluarga Lauda masih belum setuju karena aku akan sendirian.

Rutinitas harian di sini lebih sibuk daripada rutinitasku yang dulu. Karena di sini tidak ada pembantu, aku biasa bangun subuh untuk mencuci bajuku. Hanya di masukkan ke dalam mesin cuci sebenarnya. Tapi terkadang ada beberapa tetangga Nenek May yang menitip untuk di cucikan juga. Entah kebiasaan sejak kapan, tapi para tetangga seringkali titip di cucikan dan membayar setelah di keringkan.

Pagi ini setelah menjemur pakaian di samping rumah, aku akan berjalan kaki menuju tukang sayur yang lumayan jauh. Kali ini aku memutuskan untuk mencoba bertelanjang kaki. Rasanya begitu adem dan enak saat kakiku menginjak aspal. Memang jalannya sempit hanya bisa di lalui dua mobil, tapi suasananya begitu sepi.

Nenek May masih sibuk menyiapkan sarapan pagi. Dan aku menawarkan diri untuk membeli sayuran. Akhirnya setelah lima hari aku berani keluar sedikit jauh. Aku masih sedikit trauma mengingat kejadian dulu di karenakan aku nekat berjalan jalan sendiri.

"Pagi Mbak" Sapa seorang ibu akhir 40 an. Aku tebak dia adalah tukang sayur yang berjualan.

"Pagi Bu" Jawabku sekenanya. Aku sendiri bingung harus bagaimana. Aku merasa risih dengan tatapan beberapa wanita tua dan muda yang disni. Yah.. Memang karena aku belum pernah kelihatan.

"Iki tamune Bu Maysaroh ?" Bisik seorang wanita paruh baya berbaju merah di sebelahku. Sejujurnya aku tidak begitu paham dengan bahasa mereka.

"Tekok ming wonge wae Bu" Bisik seorang wanita yang lebih muda. Tampaknya akhir 20 an.

Kemudian wanita berbaju merah itu lebih mendekat ke arahku "Mbaknya dari kota?"

Aku menghentikan aktivitasku memilih sayur bayam "iya bu. Saya tinggal sama Nenek May. Saya temannya Lauda, cucunya Nenek May"

"Loh? Saya kok tidak melihat Lauda?" Tanya perempuan akhir 20 an tadi.

Lama kelamaan beberapa orang mulai berkumpul mengeliliniku. Mereka bertanya macam macam yang malah nembuatku pusing. Tapi sebisa mungkin aku menjawabnya.

Pertanyaan yang mereka tanyakan hanya kujawab dengan satu poin. Aku akan tinggal di desa ini sementara. Selain itu aku hanya menjawab dengan senyuman. Aku tidak mau mengumbar identitasku di sini. Biarkan aku menjadi orang asing yang tiba tiba tinggal di sini.

Wanita paruh baya berbaju merah tadi bernama Bu Lastri. Sedangkan wanita berumur akhir 20 an bernama Mbak Tuti. Kedua orang ini yang paling gencar bertanya sedari tadi. Yang lain hanya menyimak.

Setelah aku rasa cukup, aku membayar belanjaanku dan berlalu pulang. Sayup sayup aku mendengar gosip tentangku lagi saat mulai menjauh. Biarlah, untuk saat ini mungkin kehamilanku tidak begitu ketara entah esok.

"Anne... Apa kau habis berbelanja?" Tanya Nenek May begitu aku masuk ke dalam rumah.

Aku tersenyum "Iya nek, kebetulan aku sedang ingin memakan sayur bayam dan ayam goreng" Aku mulai menata belanjaanku di dapur "bolehkah aku memakai dapurmu Nek?"

"Tentu. Kau bisa memasak?"

Aku mengangguk dan mulai mencuci ayam "aku dulu terbiasa ikut bibi di dapur. Perlahan aku bisa memasak masakan sederhana"

"Ah.... Aku tak sabar mencicipi masakanmu Anne" Ucap Nenek May "kalau begitu aku akan pergi sebentar. Pagi ini ada acara senam untuk lansia di balai dekat sini"

"Hati hati di jalan Nek" Pesanku.

Setelah mengantar Nenek May sampai depan rumah, aku berjibaku dengan dapur kembali. Ini pertama kalinya aku begitu menginginkan untuk makan sesuatu. Mungkin aku mengalami ngidam pertama kalinya.

"Baby... Ayo kita masak" Ajakku sambil mengelus perut yang masih rata. Aku bahagia, kemanapun aku pergi akan ada yang selalu menemaniku.

-chcltefi-

Hari ini setelah aku memasukkan beberapa uang yang aku dapatkan dari tetangga yang menitipkan cucian ke dalam dompet, Nenek May datang. Beliau membawa sebuah kantong kresek yang berisi makanan. Mungkin itu adalah makanan dari pengajian di masjid. Setiap sabtu sore, biasanya para ibu ibu mengadakan pengajian sehabis Ashar sampai setengah enam.

"Nek" Panggilku saat Nenek May sedang menata kue basah di piring "ini uang dari tetangga tetangga yang biasa menitipkan cucian mereka" Ucapku sambil menyerahkan dompet tadi.

"Sudahlah, itu untukmu saja. Lagipula, kaulah yang membantu mereka"

"Tapi mesin cuci itu punya Nenek" Elakku. Aku tidak enak.

"Simpan saja ya sayang, buat cicit Nenek yang di dalam perut" Kata Nenek May yang mau tidak mau membuatku terenyuh.

"Terimakasih banyak Nek" Ucapku dengan syukur.

Jujur saja, untuk memikirkan persalinan dan masa depan anakku nanti, otakku buntu. Apalagi aku belum bekerja dan hanya mengandalkan uang tabungan. Walaupun soal makan masih menumpang tapi kebutuhan yang lain untukku sendiri dan anakku nanti cukup menguras.

"Kau pintar memasak Anne. Kenapa tidak mencoba berjualan nasi rames untuk para petani di sawah?"

Aku terdiam mendengar usulan Nenek May "apakah akan laku Nek?"

"Tentu saja. Banyak para ibu ibu yang tidak sempat memasak karena banyak hal yang mesti diurus. Apalagi petani berangkatnya masih terlalu pagi"

Nenek May tersenyum memandangku. Dia mengelus elus bekalang kepalaku dengan penuh kasih sayang "tapi, kalau kau tidak mau Nenek tidak memaksa. Yang terpenting kesehatanmu dan bayimu"

"Iya Nek. Nanti akan aku pikirkan. Aku takut tidak sesuai dengan lidah orang di sini" Kataku.

Bukankah biasanya lidah setiap orang berbeda? Aku takut kalau ternyata masakanku tidak seenak ekspektasi mereka. Aku belum pernah menjual makanan hasil masakanku sendiri.

"Kau belum mencobanya sayang"

Omongan Nenek May ada benarnya. "Baiklah. Mungkin mulai besok aku akan mencoba berjualan di depan rumah" Putusku.

"Saranku kau berjualan saja di ujung jalan yang dekat dengan pesawahan. Disana ada gardu kecil. Besok Nenek akan membantumu"

Aku berpikir untuk mengingat ingat tempat yang dimaksud. Tidak jauh dari sini memang ada pesawahan yang luas. Jalanan depan rumah Nenek May juga buntu karena pesawahan itu. Dan memang ada sebuah gardu kecil di sana.

Tempatnya memang cocok untuk berjualan. Apalagi para Pak Tani kebanyakan mempunyai saung yang dekat dari gardu itu. Semoga saja nanti bisnis kecil ini bisa menyambung hidupku dan anakku, sehingga tidak terlalu merepotkan Nenek May.

"Terimakasih Nek" Ucapku seraya memeluk Nenek May. Beliau membalas dengan pelukkan erat juga. Ah... Rasanya bahagia berada di sini. Lebih terasa hidup, apalagi udaranya begitu segar.

-Kopi Susu-


To be continue

Salam hangat, Fi.

Kopi SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang