Bagian 7.3

329 17 0
                                    

Suara kicauan burung. Gemericik air. Hamparan padi. Semua hal yang aku rindukan selama dua hari di Jakarta terbayar sudah. Mataku tak henti hentiny memandang langit yang mulai ditelan kegelapan. Indahnya desa ini tak tertandingi dengan gedung gedung pencakar langit di Jakarta.

Sabar ya nak.

Aku mengelus perutku yang sedikit nyeri. Apakah anakku begitu senang kembali ke desa? Sepertinya, dia ikut senang sepertiku. Ahh... Aku tidak sabar menunggumu main bola di perut Bunda nak.

"Kenapa dengan perutmu?"

Aku tersentak dari lamunanku "tidak apa apa. Hanya sedikit pegal"

"Boleh aku menyentuhnya?"

Sejenak aku terkaget, berkali kali aku kedipkan mataku apakah Kai benar benar mengatakan itu? Yang ku dapati, laki laki itu melihatku dengan penuh harap. "boleh..." Ucapku sedikit ragu.

Kai menarik dirinya agar lebih dekat denganku. Aku menahan nafas tatkala tangan hitamnya sudah ada di atas perutku. Rasanya hangat. Apa kau suka nak?

"Rumahnya sebelah mana mas?"

Pertanyaan dari supir travel mengagetkan kami. Kai menarik tangannya dengan kikuk. "Lurus aja pak. Nanti di depan ada pertigaan belok kiri. Lurus terus sampai ujung"

"Ooh iya Mas"

Aku memalingkan pandangan ku kearah luar jendela. Beberapa petani yang dulus E-Ring menjadi langganan nasi bungkusku tampak sedang bersenda gurau sembari berjalan. Jam pulang untuk para petani saat matahari mulai terbenam, membuat aku merasa sedikit nyaman. Akhirnya aku pulang ke desa ini sebagai seorang istri. Bukan seorang gadis yang hamil di luar nikah. Namun rasa malunya itu tetap masih ada.

Saat melewati rumah Nenek May, aku memperhatikan sejenak. Walaupun tidak begitu lama aku tinggal disana, tapi itu adalah tempat pelarian terbaikku selama ini. Semoga aku bisa ke rumah Nenek May nantinya. Mengingat jarak rumah Nenek May dan rumah Kai sedikit jauh.

Mobil berhenti di jalan bebatuan depan rumah Kai. Dengan hati yang aku teguhkan, aku turun dari mobil dengan membawa tasku. Sedangkan koper yang aku bawa dan ransel milik Kai dibawa oleh laki laki itu lebih dulu. Ia menaruh barang kami di kursi bambu depan rumah.

Aku tersenyum kepada supir travel sebelum masuk ke pelataran rumah yang dipagari tanaman acalypha siamensis itu. Aku mendudukkan bokongku di kursi. Berjajar dengan koper dan tas ransel Kai. Sedangkan laki laki itu nampaknya sedang berbincang dengan supir travel. Tak lama, Kai memberikan amplop mungkin berisi uang. Sepertinya ia sedang membayar jasa travel itu. Ia tetap berada di sana sampai travel itu menghilang dari pandangan.

Sekarang aku baru sadar. Dibalik warna hitam yang berada di kulit Kai, laki laki itu termasuk tampan. Andaikan dia mempunyai kulit putih, pasti akan menyaingi anak kota.

Kai tersenyum kepadaku. Ia membuka kunci rumah dengan rumit. Ada beberapa kunci yang dia pakai. Seperti gembok dan kunci gantung. Setelah terbuka sempurna, Kai menghampiriku dan mengajakku untuk masuk.

Hawa dingin menusuk kulitku. Mungkin karena kosong ditinggal ke Jakarta atau mungkin karena aku mempunyai kenangan buruk disini. "Aku lelah" aduku. Memang rasanya pegal sekali selama perjalanan tadi.

"Ayo kita ke kamar" Kai menuntunku masuk ke dalam kamar itu. Kamar yang dulu dia perbuat untuk memerkosaku. "Maaf... Tapi hanya kamar ini yang lengkap isinya"

Aku mengangguk. Sepertinya Kai mengerti perubahan wajahku saat pertama kali masuk kedalam kamar ini.  "tidak apa apa. Bisa tolong ambilkan koperku?"

Tak lama kemudian, Kai datang membawa koperku. Sekarang aku jadi bingung, koperku tidak bisa di letakkan di bawah karena alasnya  masih tanah. Tapi Kai lebih dulu membuka koperku di kasur yang ada. Kasur bergaris putih dengan dasar warna pink. Aku tahu ini dalamnya bukan busa melainkan kapuk.

"Aku sudah mengambilkanmu sandal. Pakailah, aku yakin sepatumu itu tidak nyaman"

Aku menelisik kearah kakiku yang masih memakai flatshoes ber sol sedikit. Memang benar apa yang dikatakan Kai. "terimakasih" aku menyambut sandal jepit swallow itu. Akhirnya kakiku sudah bisa bernafas lega.

Kai pergi keluar dari kamar. Waktunya aku untuk mengambil pakaian gantiku. "Kaget!!" Aku hampir berteriak.

Kai muncul dengan baju partai dan celana pendek dari balik gorden bergambar burung bangau.  "Maaf... Kau bisa berganti pakaian di kamar mandi belakang kalau kau risih. Aku akan bereskan kopermu"

Tanpa mengucapkan apapun aku menurut. "Ada hal yang ingin aku sampaikan nanti. Tolong jangan berlama lama, tidak baik perempuan hamil diluar malam malam" pesannya yang membuatku bingung.

Dan ternyata apa yang dikatakan Kai memang benar. Kamar mandi yang dimaksud Kai adalah sumur dengan penutup seadanya dari plastik abu abu atau entah apa aku tidak tahu. Tidak ada atap yang bisa melindungi dari hujan. Untungnya, sudah beralas dari semen tanpa keramik. Tidak terbayang kalau ini masih bebatuan.

Suara jangkrik yang bersahutan menambah hawa seram. Apalagi rumah Kai dikelilingi kebun pepohonan. Aku segera berganti pakaian dan buang air kecil, mencuci muka dan menggosok gigi. Untungnya tadi aku sudah sempat makan malam dengan nasi aren arem yang dibeli saat di rest area. Aku ingin cepat tidur.

Yang aku lihat saat masuk kedalam kamar Kai adalah sosok laki laki itu yang sudah terbaring setengah badan di atas kasur. Matanya tampak menutup dengan tangan bersedekap di dada, pastinya dia juga lelah sepertiku. Aku berjalan perlahan menghampirinya.

"Sini, disebelahku" Kai tiba tiba membuka matanya. Dia menepuk ruang kasur di sebelahnya. Karena mepet tembok, aku harus melewatinya.

Aku hanya diam. Menunggunya untuk memulai percakapan diantara kami. Bayangan bayangan yang dulu terjadi tampak masih erat di memoriku. Aku hanya bisa menunduk menahan hasrat untuk menangis. Korban pemerkosaan mana yang sukarela dinikahkan dengan pelaku? Walaupun tampaknya Kau adalah orang baik namun luka batin dan ingatan pahit itu masih melekat sepanjang masa.

"Aku ingin meminta maaf sebesar besarnya"

Aku mengangkat kepalaku. Menatap Kai yang juga sedang menatapku dengan penuh penyesalan. Oke mungkin dia ingin mengucapkan sesuatu setelah ini.

"Aku ingin kita menjalani kehidupan yang seperti lainnya. Tolong lupakan semua kesalahanku yah, mari kita bangun rumah tangga penuh kebahagiaan"

"Aku tidak bisa melupakan begitu saja" sanggahku.

"Aku mohon. Aku tidak ingin mempunyai pernikahan yang hancur"

Aku tetap menggeleng "aku membencimu"

"Kau boleh memukulku. Kau boleh mencaciku. Memarahiku. Sampai kau puas meluapkan kebencianmu"

Aku menatapnya sinis. Begitu mudahnya di berpikir. "Pikiranmu sangat dangkal"

"Kau sudah menjadi seorang istri Anne... Perlahan belajarlah untuk mencintaiku dan menjadi seorang istri untukku... Yah?" Kai menatapku penuh penekanan. Ini salahnya bukan membuatku menjadi seperti ini?

"Aku tidak mau hidup seperti ini!!!" jeritku mulai datang "bagaimana dengan mimpiku? Bagaimana dengan keinginanku? Bagaimana aku di cap sebagai perempuan hina di desa ini? Kau tahu apa yang aku inginkan?"

Kai terdiam.

"Kau tahu tidak? Hah!!!" Aku memukul dadanya "Bebas. Aku ingin hidup sesuai rencana awalku. Melanjutkan kuliah, menjadi seorang yang sukses. Menikah dengan saling mencintai. Aku ingin menjadi seorang ibu yang bisa dibanggakan. Aku ingin hidup sebagai orang yang diinginkan. Bagaimana aku bisa bertahan dengan orang orang yang mencaciku setiap harinya?"

Tangisku menjadi sangat pecah. Aku berhenti berbicara saat nafasku mulai tersengal senggal "kau tidak tahu bagaimana aku bingung bertahan hidup karena diusir! Kau tidak tahu bagaimana aku menanggung malu dihadapan warga desa! Saat aku kesusahan dengan morning sickness sialan ini, aku harus berdagang agar bisa membiayai anakku!"

"Maaf" ucap Kai, dia menarikku mendekat untuk kemudian dia peluk. Mengelus punggungku dengan pelan.

Aku tidak tinggal diam. Aku memukul dengan membabi buta. Kuluapkan semua kekesalanku dan kesabaran ku pada seseorang yang menjadi dalang masalah dihidupku. Aku menangis sejadi jadinya. Kai orangnya. Orang yang harus bertanggung jawab dengan semuanya.










.

To be continued

Salam hangat, Fi
Tangerang,28 Jan 24

Kopi SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang