Bagian 8.2

44 3 0
                                    

Aku tidak ingin dilahirkan.

Aku tidak ingin dilahirkan jika akan seperti ini. Aku tidak ingin dilahirkan dari rahim seorang ibu yang tega terhadap anaknya. Aku tidak ingin dilahirkan dari keluarga kaya yang kejam. Aku tidak ingin dilahirkan menjadi wanita malang yang menikah dengan si pemerkosa. Aku tidak ingin dilahirkan sebagai wanita stress akut seperti ini.

Aku hanya bisa menatap api yang menyala berkobar kobar dimataku. Asap mengepul diatas teko yang sudah menghitam semua. Aku sedang berada di depan tungku. Karena hujan sedari semalaman, pagi ini aku menghangatkan badan di depan tungku ini.

Kai yang menyalakan kayu bakar tadi. Melihatku bangun dengan kedinginan, ia membawaku kesini. Sekalian untuk belajar menggunakan tungku katanya. Kemarin aku membeli lauk yang sudah matang untuk dimakan. Entah kenapa untuk hari ini, rasanya begitu malas menggunakan area dapur yang jauh dari kebiasaanku.

"Kau harus coba ini, enak sekali"

Yang dimaksud Kai adalah singkong bakar. Singkong itu dimasukkan Kai setengah jam yang lalu ke dalam tungku, ditengah tengah bara api. Tampilannya gosong, namun saat dibelah oleh tangan Kai aromanya begitu menguar.

Pagi pagi dengan hujan yang terus mengguyur bumi, memang sepertinya cocok dengan makanan hangat. Tapi aku belum pernah memakannya. Aku hanya melihat Kai yang terburu buru mengambil gula pasir dan menaburinya di dalam singkong bakar.

Tangan laki laki itu bahkan sudah hitam dan sepertinya terasa perih terkena kulit singkong yang panas tadi. Tapi, Kai mengambil sendok dan menyuapiku untuk mencobanya. Aku ragu.

"Cobalah, kau pasti akan suka" bujuknya.

Aku membuka mulutku perlahan, dan Kai menyuapkan singkong itu kedalam mulutku. Wah! Rasanya enak, gurih dan manis bersatu di dalam mulutku. Kai tersenyum, sepertinya di tahu kalau aku suka.

"Benar, kan?" Kai mengambil sendok berikutnya "aaa.."

Aku menerimanya dengan senang hati. Sampai aku tidak sadar sudah menghabiskan lebih dari setengah sendirian. "Bagaimana denganmu? Ayo, makanlah"

Kai menggeleng "tidak. Aku harus melihat istri dan anakku kenyang terlebih dahulu"

Aku terdiam. Sisa singkong itu masih terasa menggiurkan. Aku menatap Kai, laki laki itu sedang mengelap keringatnya. Kayu bakar yang di tungku sudah mulai keluar, Kai segera mendorongnya kedalam.

"Aku sudah kenyang, makanlah. Lagipula kau harus ke sawah bukan"

"Aku tidak ke sawah hari ini. Sedang hujan, tidak baik untuk di tengah tengah sawah" Kai menyendokkan singkong lagi "aaa...."

"Aku bilang sudah kenyang! Makanlah! Hujan seperti ini tidak bisa kemana mana untuk membelu makanan!"

Aku kesal. Aku kesal padanya yang tidak mau memikirkan dirinya! Apakah dia tidak tahu kalau artinya aku menyuruhnya untuk makan. Kalau dia ingin merebus singkong lain akan memakan waktu yang lebih lama.

Pria itu hanya diam dan makan dengan tenang. Aku tidak tahu dan tidak mau peduli. Aku tinggalkan dia di dapur sendiri. Lebih baik aku membaca buku yang aku bawa daripada menghabiskan waktu tidak berguna di dapur.

Ada beberapa buku yang aku bawa dari rumah. Buku buku kesayanganku selama ini. Buku tentang pelajaran yang sangat membekas diotakku. Aku ingin menjadi seperti Sigmund Freud. Atau Bapak Slamet Imam Santoso. Tapi sayang, dengan keadaanku seperti ini tidak akan bisa menggapai mimpiku.

Aku terfokus dengan buku di depanku. Sampai Kai memasuki kamar tanpa aku sadari. Aku hampir menjerit kala kepala Kai begitu dekat di telingaku.

"Kau mengagetkanku!" Kesalku. Aku menutup buku dengan cepat dan menyimpannya kembali. Tidak boleh ada yang tahu tentang perasaanku saat ini. Aku tidak ingin dikasihani.

Kopi SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang