Jika setiap orang di berikan mesin waktu, walaupun hanya bisa satu kali dipakai, aku akan menggunakannya saat ini. Perasaan menyesal karena terlahir dari keluarga besar hoffman yang tidak memperdulikan kesehatan mental anak anaknya, mereka hanya mementingkan bisnis dan bisnis. Selagi uang mengalir deras, mereka tidak peduli yang lainnya.
Aku ingin kembali ke masa kanak kanak. Aku akan merengek meminta Nenek untuk membuangku di panti asuhan, atau aku akan kabur dari rumah keluarga Hoffman sepulang sekolah. Intinya, aku tidak ingin hidup di tengah keluarga yang egois.
Bahkan, sudah sejak satu jam yang lalu aku meninggalkan rumah tapi Mama dan Papa tidak mengirimiku pesan untuk perpisahan. Ah... Seharusnya aku tidak mengharapkan apapun. Aku pergi meninggalkan masa lajangku dengan kondisi yang mengenaskan. Seperti seorang wanita yang akan kawin lari dengan pasangannya.
Beruntungnya, Kai mampu menyarter travel yang membawa kami sehingga tidak perlu bersama penumpang yang lain. Hanya mobil Avanza memang, namun rasanya sudah cukup lega bagiku karena bukan mobil elf atau Toyota Hiace atau semacam itu yang lain. Aku tidak terlalu suka menaiki mobil yang badannya besar.
Ping!
Sebuah pesan dari Lauda masuk ke handphoneku. Aku hanya melirik sekilas tidak berniat membalas. Dia hanya mengatakan hati hati dan akan menyusul beberapa bulan lagi karena dia disibukkan dengan skripsinya.
Sebentar lagi, sebentar lagi Lauda akan menyandang sarjana dan kemudian bekerja. Sedangkan aku, aku sebentar lagi akan menyandang status ibu dan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Sanggupkah aku, Tuhan? Mengapa rasanya sangat tidak adil untukku.
Elusan hangat dari Kai mengagetkanku. Dia tersenyum tipis dan membuang muka kearah jendela, menampakkan gersangnya jalanan dan pepohonan di tol. Dia menyender di jendela. Satu tangannya menggenggam tanganku, dan satunya dia gunakan sebagai bantalan kepalanya.
Aku perhatikan, dia mempunyai bibir merah muda yang indah. Sepertinya dia bukan perokok, ada nilai plus untuknya. Tubuhnyapun sedikit berotot, mungkin karena dia seorang petani yang mengharuskan kerja dengan otot. Tidak lupa kulit hitam manisnya yang berbanding terbalik dengan kulit putihku.
"Apakah kau tidak mengantuk?"
"Tidak" aku menjawab sekenanya, memang aku sedikit mengantuk, tapi aku merasakan lapar karena dari tadi pagi tidak memakan apapun.
Setelah bangun, aku hanya memakan kue kering dan air putih yang dibawakan Lauda. Rasa gugup dan malu menderaku sepanjang acara tadi. Aku yang dikenal sebagai anak rumahan tiba tiba menikah dengan seorang petani dari kampung yang entah berantah dari mana asalnya. Pasti membuat banyak asusmsi buruk. Setidaknya aku tidak disana, yah... Setidaknya Kai mau membawaku pergi dan bertanggung jawa dengan bayiku.
Kluruuukkkk!!!
Oh... Kenapa haru sekarang?!
"Kau lapar?" Kai menatapku "Mas, nanti di rest area depan berhenti sebentar"
"Boleh Mas, sekalian saya juga mau ngerokok"
"Sekalian makan bareng kamu nanti Mas"
"Oke Mas, siap"
Supir travel yang sudah cukup berumur itu menepi sesuai arahan Kai. Kami bertiga turun di parkiran depan masjid. Aku mengedarkan pandanganku mencari tempat makan yang mungkin bisa aku makan. Mungkin bakso.
"Sudah waktunya sholat ashar, aku ingin ke masjid. Kalau mau menunggu silahkan"
Sholat?
Kai, laki laki itu tersenyum menanti jawabanku "jadi, bagaimana?" Tanyanya sekali lagi. Mungkin dia melihat kebimbanganku.
"Aku ikut" putusku, aku tidak mungkin menunggunya dengan posisiku yang hamil. Tidak kuat kalau harus duduk di lantai lama lama "tapi aku tidak bisa sholat" cicitku sepelan mungkin.
"Kita ambil wudhu dulu, nanti aku yang menjadi imamu" ujarnya.
Untuk pertama kalinya, aku melihat ketentraman dimata Kai. Menuruti apa yang dia perintahkan, aku menuju tempat wudhu wanita yang berada di sebelah kanan masjid. Dengan memakai kebaya, aku sedikit kesusahan karena harus menggulung baju ini sampai siku.
Demi Tuhan! Ini pertama kalinya aku berwudhu semenjak ujian agama sewaktu sekolah SMA dulu. Walaupun begitu, aku masih ingat tata caranya tapi lupa doa nya. Tidak apa, setidaknya aku berusaha bukan?
Aku menyelesaikan wudhuku dengan lama. Wanita hamil harus berhati hati terhadap sesuatu yang licin kan. Aku bisa melihat Kai yang sudah selesai wudhu juga, namun ditangannya ada sebuah mukena yang aku tidak tahu asalnya dari mana.
"Pakailah ini. Aku masuk dulu di sebelah sana. Nanti kau sedikit berada di belakangku"
"Iya"
Ubin masjid terasa adem di telapak kakiku. Hawa tentram dan nyaman langsung aku rasakan saat sudah masuk ke dalamnya. Kai sudah siap berdiri di depanku yang terhalang oleh kain, namun aku bisa melihatnya.
Aku dengan cepat memakai mukena yang diberikan Kai tadi. Kamipun melaksanakan sholat. Walaupun aku tidak membaca apapun dan hanya melakukan gerakan yang sama seperti Kai.
Aliran darahku terasa dingin menuju otak saat aku bersujud. Rasanya aku ingin melakukannya lagi dan lagi. Hingga akhirnya sholat itu berhenti diakhiri salam.
Aku tidak tahu apa yang di doakan oleh Kai setelah sholat. Aku tidak mengikutinya lagi, aku hanya melipat mukenaku dan menunggu Kai selesai dengan doanya. Karena aku bingung, aku hanya mengedarkan pandanganku keseluruh penjur masjid.
Beberapa anak kecil yang ikut ibunya sholat, ah lebih tepatnya menganggu ibunya sholat. Dan ada nenek nenek yang sedang melakukan dzikir. Semua yang aku lihat memang lebih banyak yang sudah berumur. Anak muda sepertiku rasanya sudah sangat jarang untuk menunaikan sholat. Contohnya aku sendiri.
"Neng... Suaminya yang pakai jas hitam itu?"
Seorang ibu ibu berumur mendekatiku. Dia menunjuk Kai yang masih berdoa "iya Bu" jawabku sekenanya.
"Setelah ijab langsung honeymoon? Apa tidak lelah Neng?"
"Ah.." aku tertawa hambar "kami menuju perjalanan rumah suami saya Bu"
"Ooh begitu, semoga diberkahi ya neng pernikahannya sampai sampai belum ganti baju ya Neng, saking senangnya ikut suami"
"Hehe... Iya Bu terimakasih doanya"
"Suami neng kelihatan sayang sekali, tadi saya bertemu dia, dia meminta tolong ambilkan mukena di lemari katanya istrinya lupa bawa mukena, eh ternyata kita bertemu disini. Cocok sekali, satunya ganteng dan Nengnya cantik sekali kalau punya anak pasti wajahnya sangat menawan"
"Sudah selesai?"
"Kaget!!" Ucapku spontan.
Kai, laki laki itu sudah berdiri di depanku dengan terhalang kain. Aku tersenyum sungkan kepada ibu ibu itu dan berpamitan untuk keluar lebih dahulu. Kai pun mengikutiku setelah berpamitan juga.
Karena kebaya ini, aku harus berjalan pelan pelan dengan di gandeng Kai. Entah darimana laki laki itu tiba tiba menggandengku. Kami menuju salah satu warung bakso, ternyata pikiranku dan Kai sama.
Sembari menunggu, aku merasa sangat risih menggunakan kebaya kutu baru ini. Aku dan Kai terlalu mencolok diantara yang lain. Seolah olah kami sedang kawin lari saja. Sedari tadi banyak pasang mata yang melirik lirik kami.
"Tahan ya, setelah makan bakso kita masuk mobil"
Bisikkan Kai setidaknya bisa menenangkan hatiku. Laki laki itu sedang menata bakso yang diantarkan penjual. Tangan hitam manis itu memberikan semangkuk bakso dan jeruk hangat di depanku. Sedangkan dia bakso dan teh manis.
"Ibu hamil jangan terlalu banyak minum es" ucap Kai.
Menanggapi itu, aku tersenyum. Sepertinya menikah dengan Kai bukan suatu hal yang buruk. Aku mempunyai seseorang yang mulai memperhatikan hal hal kecilku. Kai, suami dan ayah dari bayiku..
To be continued
Salam hangat, Fi
Tangerang, 17 Jan 24
KAMU SEDANG MEMBACA
Kopi Susu
General FictionAnne suka susu. Cairan putih yang menghilangkan rasa dahaganya. Yang bisa menghilangkan crunky-nya. Tapi sayangnya dia membenci kopi karena sudah menodai warna putihnya. Kai adalah kopi. Pria hitam manis yang selalu membuat hangat orang di dekatnya...