Bagian 4.2

208 10 0
                                    

Penjualan nasi bungkus yang aku jalankan sudah terhitung tiga minggu. Lama kelamaan yang menjadi langgananku semakin banyak. Mayoritas adalah petani yang harus berangkat pagi pagi. Atau terkadang ibu ibu yang sedang malas memasak.

Jam jualanku juga ikut bertambah. Yang awalnya dari jam 5 pagi sampai jam 7, sekarang berubah sampai jam 9 pagi. Itupun aku harus menambah porsi lagi. Karena biasanya para petani memesan dua kali. Saat pagi hari dan menjelang siang.

Pak Agus adalah salah satu pelanggan tetapku selama ini. Dia akan berangkat pukul lima lebih lalu memesan sebungkus nasi uduk, terkadang dia memesan nasi goreng khusus karena memang aku belum menjualnya. Mungkin nanti aku akan menambahkan saat sudah banyak yang memesan.

Hasil dari penjualankupun lumayan. Setiap harinya aku sisihkan untuk biaya kelahiranku. Nenek May juga turut senang melihat kelancaran usahaku.

"Mbak Anne. Nasi bungkusnya 1. Sambelnya ditambahin ya"

"Lauknya seperti biasa kan?" Tanyaku memastikan.

Yang membeli kali ini adalah Mbak Tari. Dia adalah seorang ibu muda dua anak yang masih balita.

Sama seperti usaha yang lain. Terkadang pasang surut dalam berjualanpun ada. Sudah sejam jualanku tapi belum ada yang membeli. Hanya baru tiga bungkus yang laku terjual.

Entah kenapa, aku merasa orang orang yang lewat tidak seramah biasanya. Mereka tampak melirikku sekilas. Bahkan ada beberapa yang pura pura tidak melihat.

Karena lelah, aku sampai tertidur menunggu pelanggan. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Satu jam lagi, aku akan bersabar satu jam kedepan. Siapa tahu ada yang akan membeli.

Aku menatap nasi dan lauk yang tertutup kertas minyak. Masih banyak yang tersisa kali ini. Aku tidak mungkin membawa ini pulang.

"Apa yang harus aku lakukan, Tuhan?! "

"Hiikkkkss.... "

Air mataku mulai jatuh. Sebisa mungkin aku menyembunyikannya dengan menutup wajahku. Tapi rasanya itu sia sia. Air mataku semakin luruh ketika tiba tiba hujan turun.

Perutku terasa sedikit nyeri di tengah aku menangis. Mungkinkah bayi yang di dalam perutkku sedang menenangkan ibunya? Ah... Seharusnya aku selalu ingat kalau aku sudah memiliki sahabat kecil ini.

"Hai... Apa kau sedih juga?"

"Tenanglah... Bunda akan berusaha untukmu sayang. Maafkan Bunda karena sedikit menangis tadi"

Aku mengelus perutku dengan pelan pelan. Menyalurkan segala rasa kasih. "Sebentar lagi kita pulang yah" Janjiku.

Setengah jam berlalu, tapi belum ada orang yang membeli daganganku kali ini. Dengan berat aku berkemas untuk pulang. Solusi hari ini adalah membagikan makanan ini untuk tetangga Nenek May. Atau mungkin orang yang aku temui di jalan.

Dengan rasa sedih aku mulai membawa daganganku pulang. Terasa berbeda dengan perjalanan berangkatku tadi. Harapan tadi pagi sirna, hanya bisa aku ikhlaskan.

Setelah berjalan cukup lama, aku merasa lelah. Padahal perjalanan baru setengah jalan. Aku memilih untuk beristirahat di tempat duduk berbahan bambu di pinggir jalan.

Saat aku mengatur nafas, sama samar aku mendengar suara anak kecil yang sedang menggerutu. Tak lama kemudian, anak itu muncul dari kebun di belakang tempatku duduk. Tampaknya dia baru terbangun dari tidurnya.

"Hai Mbak.... " Sapa anak kecil itu. Kemudian dia duduk di sampingku dengan tenang. Tidak merasa takut atau malu malu.

"Hai adik" Aku tersenyum canggung menghadapi anak yang begitu berani menyapaku. "Kenapa denganmu?" Tanyaku berbasa basi.

Anak laki laki itu tampak sedang merasa kesal. Beberapa kali dia mengerucutkan bibirnya tanpa menjawab pertanyaanku. Menggemaskan.

Aku putuskan untuk duduk lebih dekat dengannya. "Apa yang membuatmu kesal" Tanyaku dengan lirih takut dia akan mengamuk. Anak kecil adalah manusia yang paling banyak kejutannya.

"Ibuku sedang marah. Dia tidak memberiku ayam untuk lauk. Padahal dari kemarin aku sudah memintanya"

Hatiku tersentuh seketika mendengar ceritanya. Begitu sulitkah untuk sekedar membeli ayam? Ternyata dunia yang selama ini aku jalan lebih baik daripada anak ini. Aku reflek mengelus perlahan kepala anak itu.

Tidak lama kemudian mengalirlah cerita tentang anak kecil itu. Namanya Panji, anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya masih berumur tiga bulan. Jadi ibunya sekarang lebih sibuk dari biasanya.

Kecemburuan terhadap adik bayi yang baru lahir memang marak terjadi. Apalagi kalau ada tetangga atau sanak saudara yang mendukung. Mungkin bagi mereka bercanda, namun untuk anak kecil seperti Panji merupakan suatu hal yang menakutkan.

Panji takut diabaikan. Sejak sang adik lahir, dia akan terus menyulitkan ibunya. Entah itu minta diambikan sesuatu atau ditemani makan. Intinya dia tidak mau waktu ibunya habis bersama adiknya yang setiap kali menangis.

Sedangkan ayahnya adalah seorang petani penggarap sawah orang. Dia akan sibuk seharian di sawah untuk menjaga pagi yang sebentar lagi panen. Biasanya akan ada banyak burung pipit yang memakan padi.

"Memangnya Panji tidak lapar?" Tanyaku mengingat ini sudah menjelang siang. Dan katanya dia melewatkan sarapan hanya karena ayam.

Panji tampak malu malu "iya Mbak" Jawabnya.

Aku membuka daganganku. Kebetulan aku memasak makanan yang tidak pedas. "Panji mau makanan Mbak?"

Panji mengangguk dengan malu malu. Segera aku siapkan satu porsi kecil menggunakan minyak. "Panji mau lauk apa?" Tanyaku, takutnya ada yang tidak dia sukai.

"Semuanya Mbak, Panji suka semuanya"

Aku tersenyum lebar. Dia tampak bersemangat menantikan makanan yang sedang aku siapkan. "Ini minumnya ya" Kataku sambil menyerahkan aqua gelas yang biasanya aku bawa untuk sendiri kalau saja aku haus.

"Terimakasih Mbak"

Panji memulai makannya dengan lahap. Walaupun tanpa meja dia bisa makan dengan nasi yang di pangku. Terlihat mandiri sekali di umurnya yang baru menginjak tiga tahun.

Setelah selesai menghabiskan semuanya. Panji pamit untuk menyusul sang ayah di sawah. Tak lupa aku bekalkan dua bungkus nasi lagi untuknya dan ayahnya makan siang. Hitung hitung meringankan bebanku untuk membawa pulang semua makanan ini.

Jalanan yang mulai panas sedikit menguras tenaga. Aku berusaha menahan rasa lelahku karena jalanan yang menanjak. Setelah tanjakan ini, rumah Nenek May tidak jauh lagi.

"Itu kan si Mbak yang jualan nasi rames di pojok sana. Kasihan ya"

"Iya, dagangannya masih banyak gitu. Pasti belum laku"

"Ya gimana mau laku. Orang orang kan udah tahu dia hamil"

"Ternyata orang kota serem serem ya. Hamil terus kabur ke pedesaan"

Aku mempercepat langkahku. Segerombolan ibu ibu yang biasanya membeli nasi yang kini sedang membawa caping tampak menilai perutku. Memang sudah terlihat sedikit besar. Tapi masih bisa aku tutupi.

Aku baru tahu kabar tentang ini. Mungkin mereka menyadarinya saat membeli daganganku. Yang pastinya, setelah ini hidupku tidak semudah kemarin kemarin. Orang orang sudah mulai menggunjingku dan Nenek May.

To be continue

Salam hangat Fi.

Kopi SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang