"Anne... Apa kau mendengarku?"
Aku tersentak mendengar suara Lauda. Ternyata kami sudah menghabiskan lima puluh menit untuk bertelfon. Tapi rasanya aku tidak mendengar apapun yang dikatakan Lauda. Mungkinkah aku melamun setelah menceritakan apa yang terjadi tadi pagi?
"Ah... Iya kenapa?"
"Sudah kuduga kau tidak fokus mendengarkan ku"
Aku terkekeh mendengar nada kesal Lauda "maafkan aku. Bisa kau ulangi lagi?"
Lauda menghela nafas "intinya, kau dan baby harus sehat sehat disana. Soal uang aku pasti akan membantumu. Kau hanya harus tetap happy agar si baby juga happy. Oke?"
"Iya aunty" kataku sambil menirukan suara anak kecil.
"Ah .... Aku jadi tidak sabar untuk pulang ka rumah Nenek. Sudah sebesar apakah perutmu itu nanti?"
"Sebesar buah melon" jawabku asal. "Sudah dulu ya La.. Aku harus mengangkat jemuran"
"Oke, bye"
Tut!
Aku mematikan sambungan telepon. Benar kata Lauda, mulai sekarang aku harus mengatur moodku agar si bayi tidak ikut merasakan stress. Semoga kau tumbuh dengan sehat di tengah keterbatasan ini sayang bisikku sambil mengelus perut.
Setelah memotivasi diri, aku bangkit untuk melanjutkan aktivitas rumah. Hari sudah mulai menjelang sore. Memang biasanya aku akan mengangkat pakaian pada jam segini. Kemudian akan menyetrikanya nanti malam sembari menunggu kantuk.
Saat melewati ruang Tv aku melihat Nenek May. Beliau biasanya berada di Masjid untuk pengajian. Tapi kini, beliau sedang duduk bersantai di depan televisi yang menayangkan berita. Entah apa yang dipikirkan beliau, tatapan beliau tidak sepenuhnya menonton televisi.
Aku putuskan untuk menghampirinya sebelum mengangkat jemuranku. "Sore Nek" Sapaku berbasa basi.
Nenek May tersenyum tipis. Beliau mengelus tanganku untuk duduk disebelahnya. "Nenek ada yang mau dibicarakan denganku?" Tanyaku.
"Beberapa warga desa sudah ada yang mengetahui keadaanmu"
Aku hanya terdiam mendengarkan. Entah kenapa lidahku kelu untuk sekedar menanggapi. Hanya senyum tipis yang dapat aku keluarkan saat ini. Dan itu tampaknya malah membuat Nenek May menangis.
Nenek May Tergugu sambil mendekapku "apa kau baik baik saja? Nenek tahu mereka mulai menjauhimu. Maafkan nenek tidak bisa membantu banyak cah ayu" ucapnya. Tangannya mengelus pelan kepalaku.
Entah kenapa aku terkekeh. Seharusnya aku yang menangis. Seharusnya aku yang merasa bersalah karena membawa nenek May dalam masalahku. "Jangan sedih Nek, aku tidak apa apa. Ini sudah menjadi resiko yang harus aku tanggung"
"Nenek kasian dengan anak di kandunganmu. Apakah kau benar tidak mau mencari ayahnya?"
Sejenak aku terdiam mendengar pertanyaan Nenek May. Sedikitpun aku tidak pernah ingin mencari Kai. Aku tidak siap berumah tangga sembarangan dengan orang.
Menurut pengalaman sekitar dan sudut pandangku, hal itu cukup membuat beban. Aku tidak bisa hidup bersama dengan orang yang bahkan aku tidak kenal. Ken termasuk orang asing bukan?
"Tidak Nek. Menurutku hidup berdua dengannya sudah cukup"
Nenek May terdiam. Dia mengusap tanganku dengan lembut dan tersenyum "apa daganganmu tidak laku banyak karena hal ini?"
Aku tersenyum datar menanggapinya. Ternyata Nenek May sudah bisa menebaknya sendiri. "Aku rasa karena mereka bosan saja dengan masakanku Nek" hiburku.
"Tidak usah bohong nduk, Nenek paham dengan situasi sekarang. Semoga daganganmu cepat laku kembali"
"Amiinn Nek"
Nenek May menghela nafas "sebenarnya masakanmu cukup enak, mungkin hanya karena rumor itu mereka tidak mau membeli. Jangan khawatir, beberapa hari kedepan pasti daganganmu kembali laris. Pangan adalah hal yang tidak bisa di kesampingkan bukan?"
Aku terkekeh "iya nek, semoga saja. Mulai besok aku akan mengurangi daganganku agar tidak terlalu banyak yang tersisa"
"Apa kau mau pindah tempat?"
Tawaran Nenek May terdengar menggiurkan. Tapi aku rasa aku belum bisa untuk pindah. Aku hanya cukup bersabar saja. Kasihan orang orang yang akan ke sawah apabila mereka lapar tidak ada yang jualan.
"Tidak usah Nek"
"baiklah. Kalau kau ingin pindah beritahu Nenek ya, kita cari bersama"
-Kopi Susu-
Dua hari sudah berlalu. Seperti kata Nenek May, Perlahan daganganku ada yang membeli kembali. Walaupun itu masih sedikit orang, tapi aku sangat bersyukur.
Kebanyakan dari mereka adalah para petani yang memang sedang kelaparan. Ibu ibu yang biasanya membeli daganganku masih enggan. Mereka memilih memasak sendiri. Aku selalu melihat mereka pulang membawa sayuran sambil menatapku sinis.
Pagi ini aku sedang menghitung uang koin yang aku terima tadi. Nanti akan aku kumpulkan dan ditukar di pasar sekalian untuk menabung di Bank. Untungnya disini dekat dengan pasar dan juga Bank. Hanya menaiki angkot sekitar 20 menitan sudah sampai.
Setelah menghitung uang koin, aku kembali menghitung uang cash yang aku punya. Tiga ratus ribu uang bersih yang bisa aku tabung hari ini. Setidaknya bisa untuk membeli perlengkapan si bayi nanti. Bertahanlah ya Nak.
Aku melihat jam tangan ada di ponselku. Ternyata sudah sekitar jam sembilan. Aku memutuskan untuk pergi ke pasar. Sebelumnya aku sudah sempat pamit kepada Nenek May, jadi tidak perlu pulang ke rumah dulu.
Untuk mencapai jalan aspal yang di lewati angkot, aku harus berjalan kaki sekitar 10 menitan. Tapi memang disini adalah desa yang cukup sepi, angkot yang lewat hanya ada tiga. Aku harus menunggu angkot berikutnya karena angkot sebelumnya sudah terlihat menjauh.
Aku duduk di bangku panjang di bawah pohon. Sambil menunggu, aku membuka sosial media yang belum pernah aku buka semenjak kejadian itu. Banyak postingan temanku yang sedang berlibur sebelum masuk kuliah S2. Atau beberapa dari mereka sedang kerja di perusahaan ternama. Ah... Rasanya aku rindu suasana kota.
Bipp bipp bipp
"Iya sebentar Bang"
Angkot yang ku tunggu sudah datang. Aku segera bergegas membereskan daganganku. Niatnya akan aku bawa ke pasar, siapa tau akan habis di sana.
Ketika aku masuk, banyak bau yang bercampur menjadi satu. Karena umur kandunganku yang masih memasuki trimester pertama, aku mati matian menahannya agar tidak muntah di angkot.
Beberapa penumpang yang merupakan ibu ibu membawa sayur tampak asik berbincang. Selebihnya ada bapak bapak yang membawa ayam dan beberapa macam umbi umbian. Sepertinya mereka akan menjualnya di pasar.
Kebetulan aku duduk di belakang supir angkotnya, jadi sesekali aku bisa melihat kedepan saat tidak bisa menahan bau. Bangku depan ternyata kosong, tapi tidak lama kemudian di tempati oleh nenek nenek yang masuk membawa cucunya.
Jalanan yang di tempuh cukup asri karen melewati persawahan dan ladang jagung. Aku juga ikut menghafal jalanan sembari melihat lihat. Dan tidak sengaja aku melihat dia, ayah dari anakku yang sedang berdiri di pinggir jalan.
Dan seketikapun, kendaraan roda empat ini berhenti. Seperti jantungku juga, laki laki itu masuk ke dalam dan duduk di sampingku. Karena memang ini hanya satu satunya tempat duduk yang masih tersisa.
"Hai"
-Kopi Susu-
Salam hangat, Fi.
Happy reading 😊

KAMU SEDANG MEMBACA
Kopi Susu
Ficção GeralAnne suka susu. Cairan putih yang menghilangkan rasa dahaganya. Yang bisa menghilangkan crunky-nya. Tapi sayangnya dia membenci kopi karena sudah menodai warna putihnya. Kai adalah kopi. Pria hitam manis yang selalu membuat hangat orang di dekatnya...