Bagian 8.1

44 3 0
                                    

Pagi hari pertama sebagai seorang istri tidak ada yang istimewa untukku. Tidak seperti istri istri yang lain, Yang semangat untuk berbenah dan memasak mengurus suaminya. Justru aku adalah kebalikannya. Memasuki kandungan empat belas minggu, justru aku merasakan kemalasan yang luar biasa.

Aku sudah bangun sejak adzan subuh berkumandang tadi. Namun aku malas untuk beranjak dari kamar berkasur kapuk yang disediakan Kai semalam. Bicara tentang aku yang mengamuk kemarin malam, aku tidak mau satu tempat tidur dengannya. Setelah selesai meluapkan amarahku, aku menyuruhnya untuk tidur di luar. Entah dimana dia tidur, mungkin di kursi kayu panjang yang ada di ruang tamu. hanya itu satu satunya tempat yang bisa dijadikan tempat tidur.

Aku terbangun setelah mendengar suara panci berjatuhan. Aku tebak Kai sedang memasak di tungku api. Entah memasak apa. Sudah sejam yang lalu, dan aku masih di kamar saja bermain handphone. Berbagai pesan masuk belum aku buka. Dari pop up pesannya saja aku bisa melihat mereka menanyai aku honeymoon kemana sampai tidak menunggu tamu pulang.

Honeymoon?

Ah... Mama dan Papa yang mengarang semuanya. Entah apalagi yang mereka akan ucapkan nanti kalau banyak yang bertanya aku tinggal dimana. Sudahlah, tidak usah memikirkan mereka. Toh, aku sudah dibuang.

Baterai handphoneku habis. Setelah menemukan charger dan stop kontak yang menempel di kayu sebagai ambalan untuk pagar bambu, aku beranjak keluar. Aroma masakan sangat mengganggu indera penciumanku.

Kai tersenyum manis menyambutku, aku bisa melihat sedikit lebam di pelupuk matanya. Itu ulahku semalam, entah apa yang bisa aku jangkau, aku pukul. Sakit sekali pasti rasanya. Aku meringis membayangkannya.

"Duduklah! Sarapan kita sudah siap"

Aku tidak menggubrisnya. Aku berjalan melewatinya untuk ke belakang membasuh mukaku. Rasanya lengket sekali karena semalaman menangis.

"Bisakah kau menganggap usaha suamimu?"

Aku masih diam tidak mau menjawab. Selesai membasuh muka, aku menutup bilik toilet dengan pintu dari plastik entahlah apa ini. Aku membuang air kecil disana. Rutinitas orang setiap paginya.

Selesai dengan semua urusan pagi, aku duduk di kursi bambu. Kai memberiku makanan yang sudah dia siapkan. Aku tidak protes, tapi... Makanan apa ini? Bentuknya aneh dan bersantan, serta warnanya kuning?

"Itu namanya rebung.  Anakan bambu"

"Aku tidak suka" jawabku jujur. Aku menaruh kembali piring itu di meja kayu.

"Makan seadanya dulu, ya? Nanti siang baru ada tukang sayur. Kau baru bisa belanja semaumu"

Rayuan Kai tidak mempan. Aku sama sekali tidak berselera dengan makanan itu. Aku memutuskan pergi dan kembali masuk ke dalam kamar. Membiarkan Kai makan masakannya sendirian.

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku masih berada di dalam kamar bermain handphone. Tak lama Kai masuk kedalam kamar. Ia sudah siap dengan pakaian buluknya untuk bertani ke sawah.

"Aku pergi ke sawah dulu ya Anne" Kai mendekat, ingin menciumiku namun aku berkelit. Dan dia hanya tersenyum "ini uang belanja mingguan kita, aku hanya punya ini, lebihan dari membayar travel kemarin"

"Aku pergi, Anne. Jaga rumah dan dirimu baik baik ya" Kai berpamitan juga dengan anaknya "Bapak ke sawah dulu ya nak, nanti kalau padi sudah panen Bapak bawa ke pasar beli baju buat Adek ya"

Aku tidak terharu. Aku kesal melihatnya menyentuh perutku tanpa izin walaupun niatnya ingin bersentuhan dengan adek bayi. "Pergilah! Sudah siang" usirku.

Kai menurut untuk pergi. Selepas dia pergi, aku menatap selembar uang lima puluh ribuan ditanganku. Lima puluh ribu untuk satu Minggu? Dia ingin aku makan apa. Ya Tuhan! Kebutuhan kami makin banyak, sebentar lagi aku juga ingin mengecek kandunganku di dokter. Aku tidak mungkin menjual emas kawin yang dijadikan mahar oleh Kai. Dan aku tidak mungkin mencari uang seperti kemarin karena perutku sudah mulai membesar dan susah bergerak.

-Kopi Susu-

Sore hari dengan hujan lebat adalah hal yang enak untuk tidur menurutku. Tapi itu dulu, saat aku masih berada di rumah Mama dan Papa. Bukan disini, di tengah desa dikelilingi pohon. Dibawah rumah kayu tanpa keramik yang sudah reyot.

Aku hanya bisa meringkuk ketakutan menahan tangis. Hujan semakin deras, petir mulai bersahut sahutan. Membuat atap rumah Kai rembes dan bocor. Aku biarkan begitu saja. Aku takut rumah ini akan roboh. Kini aku hanya bisa meringkuk dibawah selimut yang sudah usang. Selimut polos yang sudah tipis sekali. Handphone sengaja aku matikan karena di rumah ini pasti tidak ada penangkal petir.

"Anne!"

"Aaaakkhhh"

Kai sialan!

Aku ingin memakinya saking kagetnya. Kai datang dengan basah kuyup sekujur tubuhnya. Caping yang dia pakai tidak bisa menutup semua tubuhnya. Cangkul yang dia bawapun tergeletak di depan pintu begitu saja.

"Kau mengunci pintu depan, aku lewat belakang tadi. Aku kira kau kemana"

"Hei... Anne, kau kenapa?"

Aku semakin menangis tersedu sedu. Kai dengan baju basahnya berlari keluar. Hampir saja ia menabrak cangkulnya sendiri. Tak lama ia kembali dengan memakai handuk saja sepinggang.

Petir menggelegar tiba tiba. Tangisku semakin kencang. Aku takut. Kai dengan tubuh setengah telanjangnya tidak jadi memakai baju yang sudah ia ambil. Ia melempar bajunya asal ke ranjang kami. Refleks dia memelukku dengan erat. Cukup lama, ia menuntunku untuk berbaring.

Kini kami berada di bawah selimut yang sama. "Aku takut" gumamku di depan dada bidangnya. Semoga Kai tidak mendengarnya.

"Takut kenapa?" Kai memberi jarak diantara kita "aku sudah pulang. Maafkan aku meninggalkanmu terlalu lama. Tadi hujan lebat dan aku tidak...."

"AKU TAKUT RUMAH INI ROBOH BODOH!"

Wah...

Aku yang dulu tidak suka marah marah, kenapa bisa dengan gampangnya meluapkan semua amarahku di depannya. Kenapa dia selalu meminta maaf dan seenaknya sendiri kalau berpikir. Aku mencubit perutnya dengan sekuat tenaga.

"Aku takut mati terkena rubuhan rumah ini!!!" Kataku dengan penekanan.

Tapi Kai malah tertawa keras "tenang! Walaupun rumah ini sudah banyak yang bocor. Tapi aku pastikan rumah ini masih layak dihuni"

"Layak katamu? Kau tidak lihat aku kedinginan? Tidak lihat air sudah mulai masuk ke dalam rumah. Bagaimana kalau banjir? Hah!"

Pikirannya terlalu ah.. sudahlah!

"Anne.. aku sedari dulu sudah disini. Jadi aku bisa pastikan rumah ini masih aman untuk kita huni"

Brakkk!!!

Aku terperanjat.

Ternyata daun kelapa kering yang jatuh. Kami bisa melihatnya dari lubang bawah. "Kan? Kau kira ini tidak menakutkan untukku?"

Aku bersiap untuk menyumpah serapah Kai. Namun laki laki itu malah mendekapku sampai tidak bisa berbicara. Licik sekali cara yang dia pakai. Cih...

"Kalau kau takut. Kau boleh memelukku, halal untuk kita"

-Kopi Susu-




To be continued
Salam hangat, Fi

Tangerang,15 feb 24

Kopi SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang