Bagian 9.1

72 4 0
                                    

Apa yang disebut dengan pulang?

Siapa orang yang menciptakan kegiatan pulang seorang istri harus mencium tangan suaminya?

Apakah aku termasuk bukan istri yang didambakan?

Pikiran pikiran aneh itu terus menghantuiku. Mungkin efek karena aku tidak bertemu dengan Kai saat dia pulang. Aku bertemu dengannya pagi ini saat ia akan berangkat ke sawah. Dengan caping dan cangkul yang ia bawa dipundak.

"Uang untuk belanja ada di meja"

Hanya ucapan singkat. Kai pergi berangkat begitu saja. Bahkan sebelum aku membalas ucapannya. Mungkin dia sedang terburu-buru. Memang, hari sudah mulai siang. Pasti akan teras lebih panas kalau Kau kesiangan.

Meja kayu panjang di ruang tamulah yang dimaksud Kai. Aku mengambil uang berwarna ungu yang tampak kumal. Speechless. Dengan uang ini aku harus membeli apa? Kenapa Kai bisa berpikir uang segini bisa mencukupiku satu hari ini.

Bahkan untuk kesehariannya saat di rumah Jakartaku dulu bisa menghabiskan satu sampai dua ratus ribu rupiah. Aku tahu, karena biasanya aku menemani artku berbelanja di tukang sayur atau pasar terdekat. Dan aku akan mampir jajan setelahnya. Tapi uang yang diberikan Kai tidak mencukupiku untuk jajan kali ini.

Ah sudahlah.... Lebih baik aku mandi pagi. Cuaca yang cerah membuatku semangat mandi di kamar mandi yang sangat menyatu dengan alam itu. Rasanya segar sekali.

Sesudah mandi dengan sabun batangan yang tersedia, aku bersiap untuk ke tukang sayur. Semoga kali ini masih mangkal di tempat biasa. Aku sedang ingin memakan ikan lele dan sayur bayam.

Jalanan tidak terlalu licin karena kemarin tidak hujan. Beberapa petani juga mulai berangkat menuju sawah. Aku hanya tersenyum tipis menyapa mereka. Dan juga para ibu ibu yang akan mencuci di sungai.

"Lah.. Mbak istrinya Mas Kaipan kan?" Seorang petani memberhentikanku.

"Kaivan, Pak?" Tanyaku memperjelas. Aku hanya tau namanya Kaivan, dipanggil Kai. Tidak tahu nama panjangnya.

"Iya. Yang rumahnya di tengah kebon itu" petani itu menunjuk rumah Kai dibelakangku.

"Iya Pak" aku mengelus perutku. Tiba tiba merasa rendah diri mengetahui kalau semua orang sudah tahu alasanku kedesa ini.

Aku ingin pergi, namun dicegat. "kenapa Pak?" Aku sedikit takut.

"Bilangin ke Kaipan. Kaisa menunggu"

Tanpa penjelasan lebih lanjut, petani itu pergi berlalu begitu saja. Siapa Bu Kaisa? Aku baru mendengarnya.

Ah sudahlah... Lebih baik aku melanjutkan perjalananku. Tukang sayur gerobak itu untungnya masih terlihat sepi. Jadi aku tidak perlu berdesak desakan dan mendengar ocehan ibu ibu yang menyindirku.

"Mas.. ikan lelenya berapa?"

"Dua lima ribu sekilo, Mbak"

Aku menatap uang sepuluh ribu yang dikasih Kai. "Kalau beli satu aja boleh Mas?" Aku menjulurkan uang itu. Satu satunya uang yang aku bawa.

Tukang sayur itu tampak menimang permintaanku sebentar. "boleh mbak tiga ribu aja, tapi jangan bilang bilang sama ibu ibu yang lain ya, nanti dagangan saya malah banyak yang amburadul"

"Lagi hamil berapa bulan Mbak?"

"Empat bulan lebih Mas"

"Mbak, istrinya Mas Kai ya?"

Aku hanya mengangguk. Sepertinya pertanyaan itu tak usah di jawab. Aku yakin pernikahan di desa kecil sepetit ini pasti sudah melebar kemana mana.

Selagi menunggu tukang sayur itu membersihkan lele. Aku memilah beberapa sayuran yang ingin aku makan. Tampaknya kacang panjang enak untuk ditumis.

Kopi SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang