Bagian 5.2

40 2 0
                                    

Tanganku semakin bergetar tatkala pria itu sekarang berada di depanku. Yah... pria yang menolongku dari tatapan aneh semua orang. Pria itu juga yang sedang memegang bungkus plastik bening berisi lima tusuk telur gulung.

Pria itu....

Pria itu yang ku kenal dengan nama Kai. Pria yang menjadi ayah dari janinku. Pria yang membawa mimpi mimpi buruk itu. Pria yang mampu membuatku gemetar ketakutan sekarang.

Sungguh, rasanya aku ingin segera pulang. Tapi kaki ini terasa menjadi jelly seketika. Tadi dia menggiringku menuju sebuah bangku yang kebetulan sepi disekitarnya. Sementara itu dia kembali untuk membeli telur gulung pesananku yang tertunda tadi.

Aku tidak bisa mengucapkan apapun. Tepatnya, aku tidak ingin berbicara dengannya. Kai adalah pria yang berbahaya menurutku. Atensinya berhasil menarik seluruh duniaku. Aku masih bisa merasakan sedikit trauma saat bersentuhan dengannya. Tadi, dan sekarang.

Tangan Kai terulur mengulurkan plastik itu kedepanku. Aku hanya mengambilnya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Kemudian dia pun duduk disampingku. Dan lagi, aku bergeser menjauhi pria itu.

Tampaknya Kai sedikit tersinggung. Tapi dia tidak mengatakan apapun. Mungkin dia sadar, dialah penyebab aku begini. Semoga saja, semoga saja aku tidak bertemu dengannya. Lagi dan lagi. Cukup tempo hari dan malam ini.

"Annelise...." panggilnya.

Tubuhku meremang ketakutan mendengar suara itu. Suara yang mengingatkanku dengan desahan desahannya saat melakukan hal keji itu. Aku ingin menyimpan telingaku sekarang juga. Tapi tidak bisa, aku sedang berada di tempat ramai.

Aku memakan telur gulung itu sebagai peralihan agar memori memori itu tidak bermunculan. Untungnya Kai tetap diam sampai makananku selesai. Dan seharusnya aku langsung pulang saat ini juga kalau saja pria itu tidak menahan tanganku sekarang.

Kai menghela nafas berat. Dia ikut berdiri dan kemudian menggiringku menuju motor bebeknya. Entah mengapa aku diam saja. Kenapa aku tidak bisa melawan? Apakah efek dari hari itu? Seolah olah aku tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun saat bersamanya.

Tuhan tolonglah aku! Aku berdoa di sepanjang jalan.

Perjalanan yang aku dan Kai lalui cukup memakan waktu yang lama. Jelasnya, aku tahu arah jalan ini bukan menuju rumah Nenek May atau rumahnya yang dulu....

"Kita ada di desa sebelah" jelasnya.

Aku turun dari motornya saat kendaraan itu berhenti di sebuah warung tenda sate. Dari luar warung itu terlihat sepi, hanya ada beberapa orang di dalam yang nampak dari luar. Kenapa dia mengajakku ke sini?

Kai tidak berkata apapun. Dia menggandeng tanganku menuju ke dalam. Dia juga memilihkan tempat duduk yang agak jauh dari orang untuk kami. Mataku ikut mengawasinya saat pergi memesan. Takut takut dia meninggalkanku sendirian di desa ini.

Tidak lama kemudian Kai datang. Pria itu membawa dua gelas teh hangat ditangannya. Lalu dia letakkan di meja kami. Dan dia duduk kembali di sebelahku.

"Tidak apakah kalau teh hangat dulu? Satenya baru dibakar" ucapnya.

Aku hanya mengangguk menanggapinya. Aku ambil gelas yang masih hangat itu, kemudian aku minum pelan pelan. Rasanya enak di tenggorokan dan di perutku. Mungkin karena udara malam yang terasa dingin.

"Ini warung sate Mang Udin, langganan ku"

Aku hanya diam mendengarkan. Toh apa yang harus aku tanggapi? Aku masih tidak ingin membuka mulutku dengannya. Biarkan saja dia merasa diabaikan.

"Sate disini enak. Tapi aku hanya membelinya saat ada uang lebih atau sedang panen" ucap Kai dengan nada getir yang dapat aku dengar.

Hal itu menarik simpatiku. Apakah sesusah itu hidupnya? Ah... harusnya aku tidak usah kaget. Lagipula aku sudah lumayan lama disini dan hidupku juga susah. Atau mungkin lebih mudah di pandangan warga desa.

Kai melihatku masih bergeming. "Aku ingin membicarakan hal penting denganmu"

Aku melirik ke sekelilingku, dua orang yang tadi sedang makan sudah menghilang. Hanya tersisa kami di warung tenda ini. "baiklah, katakan saja" jawabku setelah melihat keadaan sepertinya aman aman saja. Aku yakin dia akan membahas kesalahannya.

"Aku tidak akan meminta maaf soal kelakuanku"

Apa? Apa yang dia katakan? Aku melotot mendengarnya tidak mempunyai rasa bersalah sedikitpun. Apakah dia manusia? Dimana letak hati nurani dan otaknya? "Kau adalah manusia keji yang pernah aku temui"

Kai terkekeh, nadanya seolah olah dia merasa khawatir bersalah dan senang. "Aku sangat berterima kasih dengan anakku yang sangat kuat sehingga tumbuh di rahimmu, padahal aku melakukannya hanya sekali"

Aku mendengus marah. Janin yang aku kandung adalah anakku, aku tidak akan mengakui kalau ini juga anaknya. Anakku lebih baik tidak mempunyai ayah daripada dia yang menjadi ayahnya.

"Ini adalah anakku. Sampai kapanpun" tegasku. Berharap dia paham kalau dia sama sekali tidak dibutuhkan dan diharapkan di kehidupan kami nanti.

"Kau tidak mungkin mengandung kalau bukan karena aku"

"KA..."

Sebelum menyelesaikan omonganku, Kai sudah membekapku. Dia memelukku agar bisa bersandar di dadanya. Tapi aku tidak bisa menolak, kedua tangannya mengunciku dengan erat erat. Dan aku juga tidak ingin melukai bayiku.

"Dengarkan aku dulu, bisa? Aku akan melepaskanmu" katanya dengan lirih.

Mau tidak mau aku menganggukkan kepalaku. Aku tidak sudi dipeluknya lama lama. Bayangan bayangan keji itu masih terus berputar di otakku.

"Anne... aku sudah mengincarmu sudah lama"

Apa?

"Kau pertama kali datang dengan Lauda tiga tahun yang lalu, aku merasa terkagum. Mulai saat itu, senyummu, caramu berbicara, membuatku terus memikirkanmu"

Aku mendengarkan dengan seksama. Apakah aku pernah ke desa ini tiga tahun lalu? Ah ... aku ingat sekarang. Saat itu aku tidak lama, hanya sekitar tiga hari saja. Waktu itu aku merasa jenuh di rumah dan iseng mengikuti Lauda ke rumah nenek May.

Tapi seingatku tidak ada yang menarik saat itu. Aku hanya berkeliling disekitar rumah. Setiap pagi dan sorenya aku akan melihat matahari di ujung jalan. Karena saat itu sangat indah, saat air sungai juga memantulkan cahaya ke oranye an dari matahari.

"Kita selalu bertemu saat kau berada di ujung jalan itu Anne..."

Jadi dia adalah pria yang selalu menemaniku saat melihat sunrise dan sunset? Pria yang tidak aku ketahui namanya, karena dia hanya akan duduk di sebelahku.

Saat itu, dia adalah satu satunya orang yang berhenti dan ikut melihat keindahan alam itu. Kami tidak pernah saling menyapa. Baik aku dan dia sama sama diam selama setengah jam. Yah... aku berdiri di sana setengah jam.

Aku selalu melihatnya sudah di ujung jalan itu. Jadi, aku adalah orang nomor dua dan orang pertama yang meninggalkan tempat itu. Hal itu dilakukanku selama tiga hari berturut-turut. Aku tidak menyangka, pemuda itu sekarang juga di sampingku, saat matahari sudah menyembunyikan keindahannya.

-Kopi Susu-

Halooo....

Salam hangat, Fi

Kopi SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang