Wanita mana yang tidak ingin menikah? Wanita mana yang tidak ingin bahagia dihari sakralnya? Wanita mana yang tidak terharu saat sepenuhnya dilepas oleh kedua orang tua?
Aku ingin menikah. Memimpikan akan menyusun pernikahanku dan pasanganku dengan matang matang. Menyambut hari bahagia dengan kesibukan ini itu. Mencari MUA dan tetek bengek lainnya dengan kebahagiaan. Menyalimi tangan sang suami dengan penuh syukur.
Tapi itu adalah angan anganku beberapa bulan yang lalu. Keadaanku sangat berbeda dengan yang dulu. Kini aku menikah saat aku mengandung. Tidak menyiapkan apapun, menerima semua yang disiapkan orang tuaku. Aku hanya tinggal duduk diam dan menjalankan apa yang di perintahkan setiap orang.
Aku dan Kai sudah sampai di Jakarta kemarin sore. Pagi ini kami di dandani, hanya aku maksudku, untuk bersiap ke masjid di sekitar perumahan orang tuaku. Orang tuaku. Karena aku sudah resmi keluar semenjak pengusiran itu. Dan sebentar lagi aku akan di boyong Kai menuju rumahnya, yang entah aku sendiri tidak tahu.
Selesai di make up, aku berjalan menuju mobil yang dulu kesehariannya mengantar jemputku. Aku tersenyum kepada Mang Udin, supir pribadiku dulu. Mobil Alphard berwarna hitam ini masih sama. Aku duduk di sebelah kanan, dan Kai duduk disampingku. Laki laki itu cukup rapi menggunakan baju adat Jawa.
"Yang lain kemana?" Tanyaku. Hanya mobil yang aku tumpangi yang masih berada di pelataran rumah. Seingatku tadi ada beberapa mobil yang berjejer.
"Semuanya menunggu di Masjid" jawab Kai. Dia melihatku dengan cermat "kau..... Sangat cantik"
Oh Tuhan! Kenapa pula aku harus tersipu? "Terimakasih" jawabku sekenanya.
Tampaknya Mang Udin merasa lucu. "Calon suaminya ganteng Non. Pinter Non nyarinya"
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Isu alasanku keluar dari rumah ini memang masih tertutup rapat dari para pekerja. Entah apa yang Mama dan Papa bilang kepada mereka. Mereka menyambutku cukup baik dari kemarin.
Karena Masjid yang dijadikan tempatku menikah cukup dekat. Hanya sekitar sepuluh menit, aku dan Kai turun dari mobil. Tidak ada sambutan istimewa seperti pernikahan khalayak yang lainnya.
Aku dan Kai masing masing berjalan bersisian dengan jarak cukup jauh. Sebenarnya Kai menawari untuk menggandeng tangannya namun aku tolak. Ini bukan pernikahan seperti yang lain. Ini adalah pernikahan hanya status untuk kami.
Pelukan dari Lauda adalah sambutan pertama yang aku dapati begitu masuk ke dalam masjid. Tidak ada dekor pengantin yang mewah. Hanya ada meja kayu yang dilapisi kain tile dan mas kawin di atasnya. Semua tamu yang diundang, rata rata keluargaku, duduk diam di karpet masjid.
Selama aku hidup di perumahan ini, aku baru menginjakkan kakiku ke dalam. Interior masjidnya begitu bagus. Mengusung tema Timur tengah yang begitu klasik. Tidak sia sia aku menginginka pernikahan yang sederhana kemarin.
Kai sudah terlebih dahulu berjalan dan duduk di depan penghulu. Kini, aku dan Lauda berjalan beriringan dengan berpegangan tangan. Aku berjalan melewati karpet merah, sebagai simbol tali benang merah yang konon sebagai simbol berjodoh dua manusia.
Aku mengenakan kebaya yang cukup ketat namun masih menutupi bagian perutku yang sedikit menonjol. Tidak ada paesan di dahiku karena aku yang meminta agar tidak memakainya. Cukup membuatku kesulitan nantinya. Hanya sanggup dan roncean melati yang menghiasi kepalaku. Namun aku cukup percaya diri bahwa aku cantik dan anggun untuk pernikahanku sendiri.
Perasaan tegang menyergapku kala aku duduk bersimpuh di depan Papa dan Pak Penghulu. Tangan Kai sudah menggenggam tangan Papaku dengan erat. Acara khidmat dan penuh makna akan terjadi sebentar lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kopi Susu
Fiksi UmumAnne suka susu. Cairan putih yang menghilangkan rasa dahaganya. Yang bisa menghilangkan crunky-nya. Tapi sayangnya dia membenci kopi karena sudah menodai warna putihnya. Kai adalah kopi. Pria hitam manis yang selalu membuat hangat orang di dekatnya...