Bagian 5.1

43 2 0
                                    

Aku terus menahan rasa takutku. Terlebih saat Kai berusaha menarik perhatianku. Aku hanya bisa menunduk dan memegang daganganku dengan erat. Semoga saja dia tidak menyadari kalau aku sudah tidak di kota lagi.

Beruntungnya angkot turun di depan bank tanpa aku menyetopnya. Bergegas aku keluar dari angkot setelah membayar dan langsung masuk ke dalam bank. Aku menoleh ke belakang memastikan Kai tidak ikut turun denganku.

Aku melihatnya, Kai sedang menatapku saat angkot itu jalan kembali. Kami bersitatap sebentar, tapi aku yakin banyak hal yang dia ingin tanyakan. Penampilanku yang jauh seperti dulu awal kami bertemu, atau mungkin kenapa aku membawa dagangan. Aku hanya berharap, semoga saja dia tidak mencari lebih lanjut.

"Permisi Mbak, ada yang bisa saya bantu?"

"Ah iya?" Aku kembali ke duniaku saat ini. Satpam di depanku sedang menunggu jawaban dari pertanyaannya. Mungkin dia mengira aku nyasar atau apa. "Saya .... Saya mau setor tunai Mas"

"Oh.. baiklah, mari saya arahkan Mbak" Satpam bername tag Supri itu membawaku ke dalam "nah ini saya ambilkan nomor urutnya ya Mbak, mohon ditunggu, permisi"

Aku mengangguk "terimakasih Mas Supri"

"Sama sama Mbak" Supri tersenyum sebentar sebelum kembali ke tempatnya berjaga di depan bank.

Sekilas aku melihat layar untuk mengetahui nomor urutku. Ternyata tinggal dua orang lagi. Sepertinya tidak akan terlalu lama. Semoga saja.

Aku memperhatikan semua orang yang tampak akrab bercengkerama. Beda sekali dengan suasana di kota. Mereka membicarakan panen padi yang sebentar lagi datang. Pakaian yang dipakai juga sederhana. Dengan sendal jepit, celana panjang kain dan kaos oblong seadanya.Tapi di balik itu, aku yakin mereka adalah juragan juragan tanah dan padi di kota ini.

"Nomor 24 teller 2"

Aku segera beranjak saat nomorku sudah di panggil. Aku menjalani prosedur setor tunai sesuai arahan. Jujur saja ini adalah setor tunai pertamaku. Biasanya aku hanya akan mengambil uang di mesin ATM saja. Rekening yang sebelumnya tidak pernah kosong. Dan sekarang aku harus menelan pil pahit karena kedua orangtuaku ternyata menarik kembali saldo di Atmku.

"Terimakasih" ucapku sebelum pergi.

Setelah selesai satu hal ini, aku akan mencoba berjualan di depan sebuah toko alat tulis yang kebetulan sedang ramai. Aku berdiri di tempat sedikit teduh dan menawarkan daganganku. Tapi beberapa dari mereka hanya menatapku dan bungkusan nasi di keranjang.

Tak apa. Hiburku sendiri, mungkin mereka masih belum tertarik. Aku kembali mencoba menawarkan lagi, tapi setengah jam aku berdiri belum ada yang membeli juga.

Aku menatap anak anak yang keluar toko dengan wajah gembira. Disampingnya, ada ibu mereka yang menenteng tas plastik besar berlogo toko tersebut. Aku tidak pernah merasakan seperti itu.

Sejak kecil, semua peralatan sekolahku dibelikan oleh artku. Dengan suruhan kedua orang tuaku tentunya. Mereka tidak mau repot repot mengajakku ke Gramedia atau mall untuk menghabiskan waktu luang. Aah... tepatnya mereka tidak ada meluangkan waktu. Aku tersenyum pahit mengenang masa kecilku yang hampa.

Sampai akhirnya....

"Satu nasi bungkus Mbak, berapa?"

Aku mengedipkan mata, Kai di depanku sekarang. Membeli daganganku. "Sepuluh ribu" ucapku dengan gugup.

Tanpa kata, Kai mengambil nasi bungkus ku dan membayarnya. Tak lama dari itu beberapa ibu ibu mengelilingiku untuk membeli juga. Sampai akhirnya daganganku laku dengan cepat.

Dan aku melihatnya di sana. Di seberang jalan sedang melihatku yang letih dan bahagia sambil menunggu angkot untuk pulang. Setidaknya aku berterimakasih banyak untuknya, yang memulai semuanya. Kai.

-kopi susu-

Jika malam hari yang biasanya aku lalui dengan merenung di kamar, kali ini berbeda. Malam ini aku putuskan untuk jalan jalan mengitari desa, tidak mengitari seluruhnya. Hanya saja, aku mendengar sedang di adakan pasar malam di lapangan desa. Aku penasaran dengan isinya.

Seumur hidup menjadi seorang Rapunzel, ini adalah pengalaman hidup yang tidak bisa aku jelaskan dengan kata kata. Aku terbiasa dilayani, dan juga seringkali berdiam diri di dalam rumah. Tidak memiliki banyak teman karena memang aku tidak begitu menyukai bertemu banyak orang.

Beda halnya dengan sekarang, orang orang di desa ini tidak terlalu memamerkan kekayaan mereka. Mungkin ada, tapi hanya satu dua orang saja. Selebihnya mereka hanya berpenampilan sederhana. Seperti Bu Ayu, seorang juragan tas kerajinan tangan yang sudah maju, bahkan sudah masuk pasar nasional. Dia memakai daster dan menggandeng anaknya yang masih berumur enam tahun.

Bocah kecil itu sangat bersemangat menggandeng Bu Ayu yang tampak kesusahan mengimbangi jalan anaknya yang kesana kemari. Kalau tidak salah namanya Raden, dia menggandeng Bu Ayu menuju penjual gulali dan mulai merengek untuk di belikan. Aku terkekeh dibuatnya.

Aku mengelus perutku yang sedikit menonjol. Berharap semoga besoknya anak ini bisa ikut bekerja sama untuk mencari nafkah. Karena malam ini kemungkinan aku akan pulang sedikit larut.

Gemerlap cahaya lampu warna warni sudah masuk ke dalam indera penglihatanku. Sebentar lagi aku sampai di tempat itu. Rasanya sangat senang sekali. Lebih menyenangkan ini daripada masuk ke dalam mall yang biasanya aku kunjungi dengan Lauda.

"Wah... Mbak baik kesini juga?"

Aku tersentak. Panji, anak kecil yang aku beri ayam tempo hari ternyata datang kesini. Dia tampak nyaman berada di gendongan ayahnya. Sedangkan wanita muda di samping ayahnya sedang menggendong bayi enam bulan. Tampaknya anak itu datang dengan keluarganya.

"Ah... iya Panji, Mbak sedang bosan di rumah"

"Panji juga jalan jalan. Tadi ayah mengajakku dan ibu, dan juga adik Lia kesini"

Aku tersenyum tipis menyapa kedua orang tua Panji. Tampi raut muka mereka tampak sedikit tidak membuatku nyaman. Seolah olah aku seorang yang harus mereka hindari, ah benar gosip itu. Mungkin mereka sudah tahu.

Refleks aku mengelus perutku. Sabar ya sayang.

"Kami permisi dulu Mbak. Jangan pulang terlalu larut malam mbak, siapa tahu nanti hamil lagi" pamit ibu Panji.

Tidak ada yang perlu aku sedihkan. Kedepannya aku pasti akan menghadapi lebih banyak rintangan lagi. Hal sekecil itu harus membuatku terbiasa saat ini.

Aku mulai melangkah mengitari pasar malam. Ada banyak hal menarik yang belum pernah aku lihat. Dan banyak hal itu juga ingin aku beli, tapi kembali ke kenyataan aku harus berhemat untuk si kecil ini.

Perhatianku teralih kepada penjual telur gulung. Tampaknya sangat lezat, membuatku ngiler tentunya. Ah tidak apakah aku jajan saat ini. Yang terpenting anakku tidak ileran.

"Kang, lima telur gulungnya ya" pintaku.

"Eh.. ini Mbak yang itu ya" tampaknya dia terkejut. Tapi bolehkah terkejutnya tidak usah diungkapkan? Aku sedikit risih saat tatapan orang orang beralih kearahku.

Ya Tuhan!

Aku merasa gugup sekarang.

"Bapak hanya menjual, bukan mengurusi hidup orang!"

Genggaman tangan hangat seseorang menyapaku. Dia tampak gagah membelaku dan melindungiku di balik punggungnya.

-kosi susu-

Salam hangat, Fi.

Semoga bisa menghibur❤️

Kopi SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang