Minggu pagi yang begitu cerah menyambutku. Disini, di sebuah daerah di Jawa Tengah, aku membuka mata karena hawa dingin yang datang. Bahkan seumur umur baru kali ini aku bangun jam setengah enam pagi.
Mentari masih memancarkan sinarnya sedikit demi sedikit. Sedangkan jalanan di sekitar rumah nenek Lauda sudah mulai ramai. Bahkan Ibu Anjani sekarang sedang sibuk menata aneka tanaman. Sedangkan aku dan Lauda sedang duduk di kursi depan rumah.
Aku merapatkan kain bali yang melekat ditubuhku untuk menghalangi hawa dingin. Saat ini aku di temani secangkir teh hangat dan sepiring singkong goreng. Mungkin tadi pagi Nenek Lauda, Maysaroh, yang sering disapa Nenek May yang membyat camilan ini.
Nenek May merupakan nenek Lauda yag sudah berumur 60 tahun lebih. Tapi aura kecantikan dan keenergikannya masih sangat bagus. Aku dengar dia dulunya adalah kembang desa yang banyak di sukai orang penjajah pada masanya. Tidak heran kecantikannya menurun ke Lauda yang sangat berparas ayu.
Sembari melihat embun yang mulai menguap aku mengambil sepotong singkong goreng dan melahapnya. Rasanya cocok di lidahku. Perpaduan rasa dan gurihnya singkong begitu pas. Mungkin nanti aku akan menanyakan resep ini ke Nenek May.
"Nenek suka sekali dengan singkong" Kata Lauda sambil ikut menyuap sepotong singkong "aku sampai bosan memakan ini setiap kali liburan disini"
Aku tersenyum tipis "tapi bumbunya sangat terasa. Lidahku cocok dan rasanya ingin terus menyuapkan singkong ini"
Lauda terkekeh "makanlah sebanyak mungkin. Aku yakin di rumahmu tidak ada yang akan memasak ini"
"Kau benar juga" Kataku "baiklah, sepertinya kau memperbolehkanku menghabiskan semuanya"
"Tentu saja. Aku jadi mempunyai alasan untuk tidak makan siang nanti" Kata Lauda tersenyum senang.
Tentu saja itu hanya gurauan. Walaupun Lauda sedang melakukan diet, tetapi dia tidak pernah melewatkan jam makan. Dia tetap makan selama tiga kali sehari. Padahal menurutku postur tubuhnya sudah ideal. Manusia dengan segala rasa ketidak puasannya.
Sekilas aku melihat bayangan yang menarik perhatianku. Sebuah siluet tubuh seseorang yang sepertinya sedang memperhatikan kami. Aku memicingkan mata agar satu titik nan jauh disana lebih terlihat jelas.
"Apakah diujung sana ada sebuah rumah?" Tanyaku penasaran. Siluet itu masih di sana.
Lauda mengikuti arah pandangku "seingatku tidak ada"
Aku mengangguk sebagai balasan. Kuperhatikan lagi ujung jalan dimana si bayangan berdiri tadi. Tapi sekarang bayangan itu sudah menghilang. Dan rasa penasaranku pun aku hiraukan.
Aku melirik ponsel yang dari kemarin belum kubuka. Tidak ada balasan dari Mama atau Papa saat aku meminta izin ke sini. Kedua orang tuaku sedang berada di Padang saat ini. Mereka sedang melakukan perjalanan bisnis untuk memantau restoran di sana.
Aku sudah terbiasa hidup mandiri sejak dini. Kedua orang tuaku lebih memilih sibuk dengan bisnis mereka. Walaupun begitu mereka tetap menyempatkan setiap ada acara penting.
Aku tersenyum setiap kali mengingat hanya ada Lauda yang menemaniku. Wanita yang baik hati terus bersamaku yang introvert ini.
Kali ini Luda sangat cantik menggunakan daster batik yang dipadukan dengan pita di pinggangnya sebagai tali. Tak heran jika Phine menyukai gadis jawa ini. Dia adalah salah satu orang yang bertahan dengan Lauda lebih dari empat bulan.
Selama ini Lauda terkenal dengan gadis yang suka berganti pasangan. Kebanyakan dari pria yang dia kencani hanya bertahan sampai dua atau tiga bulan saja. Salah satu korbannya adalah sepupuku yang dicampakkan hanya dalam kurun waktu dua minggu pacaran. Dan sampai sekarang aku tidak tahu permasalahan mereka.
Phine dan Lauda bertemu saat mereka tidak sengaja membeli minuman yang sama di kedai kopi. Aku berada di sana saat itu. Lauda sangat enggan melepaskan minuman itu karena tersisa satu. Dan begitu pula dengan Phine yang lebih dulu memesan minuman. Dan takdir mereka begitu manis sampai saat ini.
"Apakah kau bosan hanya duduk di sini, Anne?"
Aku mengangguk "sepertinya aku penasaran dengan lingkungan ini"
"Ayo, aku akan menunjukkan beberapa tempat indah"
Aku berdiri dan menyusul Lauda yang sudah berjalan beberapa meter di depanku. Aku melipat kedua tanganku saat kurasakan embun segar menerpa wajahku. Kabut yang tadinya tebal sekarang sudah mulai menipis.
Perlahan aku memelankan langkahku saat kulihat danau kecil yang ditumbuhi rumput liar. Airnya kelihatan begitu jernih dan bebatuan di dasar danau terlihat. Dan juga ada sebuah rakit yang berada di pinggir danau. Sayangnya rakit itu sudah kelihatan rusak.
"Ini danau yang sering menjadi tempat berenangku dulu. Tentunya aku harus diam diam agar Mama tidak marah"
"Masih sangat asri" Pujiku.
Lauda mengangguk membenarkan "apa kau ingin berenang di sini?"
Aku berfikir sejenak. Tawaran Lauda tidak ada salahnya. Tapi keadaanku kali ini tidak memungkinkan. Cuaca masih berkabut dan aku tidak membawa baju ganti.
"Lain kali saja" Ucapku.
Saat ini kita duduk di pinggir danau. Kebetulan ada bangku panjang yang terbuat dari bambu. Rasa dingin menyergap membasahi pakaianku saat aku mulai duduk.
Lauda mulai bercerita panjang lebar. Tentang bagaimana masa kecilnya yang bandel. Dia sering bermain di danau ini sampai adzan maghrib berkumandang.
Sedangkan aku hanya menyimak, sesekali menanggapi kalau perlu. Mataku mulai berkelana melihat suasana danau ini. Tidak ada yang janggal sama sekali, tapi aku merasa ada yang memperhatikan kami.
Dan tibalah saat mataku menemukan sosok agak jauh dari tempatku duduk. Orang itu tampak berdiri di dekat semak. Tampilannya tidak begitu rapi. Dia memakai baju dan celana pendek.
Aku memperhatikan dengan seksama. Orang itu sedang menatap kearah aku dan Lauda. Dan itu adalah orang yang sama seperti tadi di rumah Nenek May. Siluet tubuh itu miliknya.
"Lauda... " Panggilku.
Lauda memberhentikan ceritanya "ada apa?" Tanyanya.
"Bisakah kita pulang sekarang?"
Aku berdiri dan mulai berjalan melewati jalan yang aku lalui tadi. Lauda tampak terkejut dengan sikapku yang tiba tiba seperti ini. Tapi dia tetap mengikuti kemauanku.
Aku menoleh kebelakang memastikan sosok itu tidak mengejar. Dan benar, sosok itu sudah menghilang tiba tiba. Aku menghela nafas lega.
Setibanya di rumah nenek Lauda, kami disambut dengan hidangan sarapan yang masih mengepul. Bu Anjani langsung menyuruh kami duduk dan makan bersama.
Selama makan berlangsung, pikiranku kacau. Aku masih penasaran dengan laki laki itu. "Tante... "
"Iya sayang?"
"Apakah disini ada pemuda yang seumuran denganku?"
Aku melontarkan pertanyaan yang sulit sepertinya. Baik nenek atau Tante Anjani saling bersitatap satu sama lain. Sedangkan Lauda tampak tidak peduli, dia sibuk mengunyah ayam goreng serundeng.
"Tidak ada pemuda di sini Anne, semua laki laki di sini sudah berkeluarga" Terang Nenek.
Tante Anjani mengusap tanganku "apa ada sesuatu yang mengganggumu?"
"Jangan mencari jodoh di sini Anne, mereka tidak sepadan denganmu" Ucap Lauda yang mengakhiri percakapan singkat ini.
Aku mencoba mencerna setiap omongan tadi. Tapi rasanya sosok pemuda tadi belum ada tanda tanda berkeluarga. Dan pandangannya terus menerus kearahku. Kurasa, aku harus kembali ke Jakarta secepat mungkin.
To be continue
Salam hangat, Fi
KAMU SEDANG MEMBACA
Kopi Susu
Ficción GeneralAnne suka susu. Cairan putih yang menghilangkan rasa dahaganya. Yang bisa menghilangkan crunky-nya. Tapi sayangnya dia membenci kopi karena sudah menodai warna putihnya. Kai adalah kopi. Pria hitam manis yang selalu membuat hangat orang di dekatnya...