42. The Debate Between Reality and Ilussion

216 45 41
                                    

-oOo-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-oOo-

RIVER tidak ingat bagaimana persisnya sampai dia yakin pada keputusannya.

Satu-satunya hal yang terpikirkan di benaknya adalah dia harus menolong Heaven sebelum wanita itu remuk di tangan monster. Dan, begitulah yang terjadi pada pikiran orang nekat; otot-ototmu refleks mengumpankan diri. Segalanya terjadi begitu cepat―adegan itu bagaikan kilasan mimpi buruk yang menghantuinya; River menerjang sang monster.

Makhluk itu begitu besar dan kulitnya sepanas debu yang disinari terik. Siku kanan River menekan lehernya yang tebal, lalu dia memasrahkan diri bergulingan di pelataran semen yang gelap. Tanpa memberikan jeda pada bahunya yang menghantam beton, River menahan kejatuhan berikutnya dan langsung memijak dada makhluk tersebut, meninju wajah sang monster berkali-kali. Buku jemarinya mengenai rahang monster. Tulang bertemu tulang, dan seluruh lengan River berdenyut menyakitkan.

Dia merasakan dengkusan dan kepulan napas monster menerpa wajah dan lehernya. Monster itu membuka rahang tepat ketika River hendak melayangkan hantaman mentah. River menahan tinjunya agar tidak terperosok ke mulut monster yang mengaga, akan tetapi darah yang melumuri wajah monster begitu licin, menghambat pergerakannya; jemari River justru tergelincir dari rahang lalu terjepit di antara barisan giginya yang tajam.

Pemuda itu menggeram syok dan langsung menarik tangannya keluar dari mulut monster. Rasa sakit membakar sekujur tangannya yang berlumur darah. Gemetaran dan panik, River melompat mundur, meraih pistol di dekat kakinya dengan tangan kiri, lalu langsung menembak secara membabi buta. Pelurunya menghantam kepala sang monster. Pelataran di bawah sepatunya berguncang dan angin di sekitarnya menderu bagai empasan memuaskan ketika sosok monster itu roboh ke tanah.

River berdiri goyah seraya jelalatan ke sekitarnya. Heaven akhirnya berhasil masuk ke dalam Black Hawk, sementara monster semakin banyak bermunculan dari pintu atap. Sebetulnya River masih bisa menembak satu-dua monster lagi, akan tetapi yang paling penting di sini adalah waktu, bukan ketangkasan atau kenekatan untuk menghabisi lebih banyak musuh. Black Hawk di belakangnya segera mengudara, dan gedung ini akan meledak berkeping-keping.

Maka River berlari menuju helikopter dengan langkah terpincang-pincang. Di antara kepulan asap dan percikan peluru, Gareth melihatnya di ambang pintu palka. Dia mengulurkan tangan pada River, lalu menariknya dengan sekali pegangan. Tubuh River terangkat ke depan, hingga akhirnya dia berguling masuk ke lantai helikopter.

Sementara itu, pemandangan di hadapannya berkelebat dengan orang-orang yang menyerukan nama Claude seraya menembakkan peluru dari pintu palka; "Claude, Claude, cepatlah!" Berondongan senjata, bunyi jeritan dan letusan pistol yang berguncang. Raungan baling-baling Black Hawk yang memekakkan telinga. Heaven merebut pistol dari tangan Jasper, lalu membidik sesuatu di kejauhan sana. Nathaniel di sampingnya berteriak; "LIMA BELAS DETIK!"

Semua orang nyaris mengira Claude tidak akan berhasil, akan tetapi pada detik-detik akhir, helikopter berguncang hebat seolah ada sosok raksasa yang baru saja masuk. Rupanya itu Claude, yang langsung beralih ke wujud semula begitu dia merayap masuk melalui pintu. Kawan-kawan yang lain segera menyambutnya dengan suka cita luar biasa. Heaven memeluk Claude begitu erat, seolah wanita itu takut akan kehilangannya lagi.

𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐈𝐎𝐍𝐄𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟐) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang