Ini bukan chapter terakhir, tenang dulu yak, awkwkw. Spesial malam ini, aku kasih 3500 kata. Puas-puasin deh bacanyaa~
-oOo-
SEORANG petugas laboratorium menarik lepas karung hitam dari kepala Heaven, sontak membuat Heaven menggeram murka menatapnya.
"Seharusnya aku tahu bahwa sifat ular itu seperti iblis," ledek sang petugas laboratorium. Sambil berlagak sombong, dia membuang ludah di kaki Heaven yang terikat pada kursi, menjambak rambutnya dengan kasar, lalu menarik kepala Heaven agar mendongak memperhatikannya. "Dengarkan baik-baik, rambut merah. Bagian mengerikannya akan dimulai sebentar lagi."
Heaven membuang ludah tepat ke kacamata sang petugas.
"Berengsek kau!" Plak! Tamparan keras menyasar pipi Heaven, tetapi wanita itu tidak menunjukkan wajah kesakitan. Ekspresinya dijaga begitu tenang, kecuali kedua mata hijau zaitunnya yang mengilat tajam. Dia kembali menatap petugas itu, lalu berkata dingin, "Kenapa kau menangkap dan membawaku kemari?"
"Kau terpantau sebagai pengkhianat," kata sang petugas seraya melepas kacamata dan mengusapkan kacanya pada saputangan. Seringai jijiknya menari-nari di hadapan Heaven. "Sejak tadi aku mengawasi apa yang kau lakukan larut malam begini di tengah hutan. Sudah kuduga kamarmu kosong. Kau bahkan meninggalkan anakmu yang menangis minta susu sendirian."
Sean. Astaga.
Bagaimana keadaan bayinya? Heaven merasakan jantungnya bergemuruh panik di balik rusuknya. Tidak pernah terpikir bahwa dia akan kecolongan semudah ini. Dan lagi, apa katanya? Dia mengawasiku? Apakah artinya bunker latihan di tengah hutan itu sudah ketahuan? Memikirkan hal itu membuat kepanikannya meningkat. River dalam bahaya, dan seluruh rencananya akan gagal total bila mereka tertangkap secepat ini. Ketika Heaven hendak angkat bicara, tahu-tahu pintu di belakangnya mengayun terbuka. Heaven mendengar bunyi ketukan sepatu yang mendekat. Dia hafal bunyi sepatu ini. Dia selalu bisa merasakan kehadirannya sejelas membedakan air dan lumpur. Lalu saat wanita itu mendongak untuk menatap sosok di hadapannya, tumpahlah seluruh perhatiannya pada sosok keji Janeth.
"Kalau kau ingin melakukan pemberontakan, seharusnya kau harus memahami siapa lawanmu," Janeth berkata datar. Sosoknya yang kurus terlihat rapuh dan mudah dipatahkan, tetapi wajahnya berkilat dengan kebencian yang begitu besar. "Coba ingat apa kata-katamu tadi pagi. 'Di luar sana hanya tersisa para perempuan dan anak-anak penyakitan yang tidak akan sanggup diikutkan dalam eksperimen,' begitu? Kau pikir aku terlalu bodoh dan percaya mentah-mentah dengan kesaksianmu?" Selepas mengatakannya, petugas yang berdiri di samping Janeth menyeringai kecil, seolah sudah mengetahui rencana sejak awal. Dasar idiot! Heaven merutuk dirinya sendiri. Tentu Janeth akan bertanya langsung kepada anggota regunya tentang apa yang terjadi selama mereka berpatroli di wilayah luar Bosevill. Mengapa tadi pagi dirinya malah enteng berbohong soal ini?
Tidak ingin merasa kalah, Heaven terpaku lama tanpa sekalipun berkedip atau memalingkan muka pada Janeth. Wanita tua itu lantas membungkuk sedikit, lalu menyeringai. "Bajingan jalang. Kau ini terlalu menganggap remeh musuh. Itulah mengapa sejak awal aku tidak memercayaimu sama sekali."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐈𝐎𝐍𝐄𝐄𝐑𝐒 (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟐)
FantasyBACA SEASON 1 DULU YANG BERJUDUL THE LEFTOVERS ⭐ Follow sebelum membaca ⭐ -oOo- Semenjak rombongan monster Kureiji menyingkir dari wilayah perkotaan, mereka menemukan satu masalah baru yang harus ditangani. Tak mau masalah ini larut dalam kekacauan...