1. tatapan itu?

159 62 124
                                    


"Cana, tugas Matematika sudah?"

Aku mengernyit, lalu menggeleng ke arah Lala. Dia adalah teman sebangku, sekaligus sahabatku di sekolah.

"Memangnya ada?" tanyaku, aku lihat jika ia mengangguk.

"Bukannya tidak ada tugas?" aku kembali bertanya padanya.

Lala hanya cengengesan, kepalanya menyeder tepat di bahu kananku.
"Aku lupa memberitahumu waktu itu," ujarnya begitu menyebalkan

Aku mendengus malas, lalu menggeser kepala Lala yang masih bersender di bahuku, rasanya sangat tidak nyaman.

"Mana soal tugasnya!!" pintaku, sedangkan Lala kembali cengengesan, Aku langsung menatap curiga padanya.

"Kemarin, saat kamu tidak masuk sekolah, aku bolos. Jadi aku tidak tahu, kalau ada tugas. Coba kamu lihat ke pacarmu!!" jawab Lala, dengan jari tangan yang menunjuk ke arah barisan pojok di kelasku.

Aku membelalakkan mata, dengan cepat menepis jari Lala yang menyebalkan. Mataku menoleh kearah samping, dapatku lihat jika ia tengah menatapku dengan earphone yang tersumpal dikedua telinganya, Aku harap ia tidak mendengar ucapan Lala.

"Cepat sana, samperin!!"

Aku malu dan tidak yakin, karna aku menyukainya sejak dulu, jadi aku ragu untuk menghampirinya karna gugup.

Aku menatap Lala sejenak, gadis itu rupanya tengah meledek ke arahku, dengan mata yang bergantian melirik-lirik ke arahku dan dia.

Membuang napas kasar, aku memberanikan diri untuk bangkit dari dudukku dan berjalan menghampiri mejanya.

"Boleh liat soal Matematika?" pintaku setengah gugup

Ia menoleh, tangannya dengan cepat mengecilkan volume musik dari ponsel miliknya. Setelahnya, ia menatap ke arahku dengan sebelah alis yang terangkat, Aku hanya bisa menghela napas malas.

"Boleh liat soal matematika?" tanyaku kembali, kali ini tidak gugup seperti tadi.

Ia mengangguk, tangannya dengan cepat mengambil buku bersampul coklat dari dalam tasnya, dan langsung menyerahkan buku tugasnya padaku.

"Terimakasih," ucapku yang di jawab dengan anggukan singkat.

Setelahnya, ia kembali memasang earphone di kedua telinganya. Aku hanya menatapnya sebentar, lalu membawa bukunya, dan kembali ke mejaku.

"Aku belum pernah mendengar ia berbicara padamu, " ujar Lala yang sejak tadi memperhatikan.

Aku menghembuskan napas dengan kasar. Mataku kembali menoleh ke arah samping, dimana tempat ia duduk.

Anak itu, dia tidak pernah berbicara padaku, padahal kami sekelas.

Jika di pikir-pikir, ini sangat aneh. Sekalipun teman sekelas yang tidak akrab, pasti mereka pernah melakukan interaksi walaupun hanya beberapa kali.

Tapi berbeda denganku, ia tidak pernah mengeluarkan suaranya untukku. Ia juga menatap wajahku dengan ekspresi yang teramat datar, seperti tidak menyukai pahatan wajahku. Mungkin bisa di bilang, ia enggan menerima kehadiranku di dalam kelas.

Padahal, mukaku tidak seburuk itu. Tapi entah kenapa, di perlakukan beda sendiri seperti ini, terasa sangat tidak enak.

Seperti terasa terasingkan, padahal bisa saja jika aku tidak perduli dengannya. Lagipula banyak orang yang mau berteman dan berinteraksi denganku.

Tapi, aku berharap banyak hal dari dirinya, hanya karena aku menyukainya.

Mataku menatap ia yang kini tengah berbicara dengan teman sebangkunya, aku terus menatapnya sampai akhir, dimana ia tertawa lebar berdua, sepertinya ia tengah membicarakan hal lucu dengan teman sebangkunya.

Kadang, Aku iri dengan hal sederhana seperti itu. Padahal, aku sering kali mengajaknya berbicara, walaupun hanya menanyakan tugas, dan di balas dengan anggukan atau gelengan kepala saja, tapi rasanya masih kurang jika ia tidak mengeluarkan suaranya.

Aku seperti berbicara pada angin, ini menyebalkan!

Mataku membelalak saat ia menoleh dan menatapku, dengan cepat aku kembali fokus dengan tugas Matematika yang harus di selesaikan secepatnya.

***


Hari ini, aku terpaksa makan di kantin sendiri, Lala harus pergi ke ruang seni. Aku tidak tahu apa yang gadis itu lakukan disana, bersama teman-teman eskulnya.

Lala memang masuk kegiatan ekstrakurikuler di bagian seni melukis. Gadis itu mempunyai bakat dalam hal bermain kuas dan antek-anteknya. Beda denganku, yang hanya bisa menulis sajak puisi di lembaran kertas baru.

Kini, aku duduk sendiri di kantin, dengan mata yang melirik sana sini, memperhatikan para murid yang berlalu lalang.

Rasanya sangat sepi jika tidak ada Lala disini, aku hanya bisa menatap segala penjuru kantin dengan ditemani semangkuk mie ayam, dan segelas es jeruk.

Aku mendengus, lalu pergi meninggalkan kantin, saat makananku telah habis.

Aku membawa kakiku untuk melangkah ke arah taman belakang sekolah. Sepertinya disana nyaman, beristirahat sejenak di bawah pohon jambu.

Sebelum ke taman, aku memutar arah untuk kembali ke kelas, mengambil buku kecil berwarna biru muda, yang biasa aku butuhkan untuk menulis puisi.

Aku memang termasuk gadis penyuka sajak, bagiku puisi sangat berarti. Jadi, Buku ini sangat berharga bagiku, untuk menulis rangkain kata.

Tapi tidak hanya puisi, Aku menyukai segala hal yang berbau sastra, dan  menyukai novel bergenre romansa.

Semilir angin menerpa rambutku, saat aku menginjakkan kaki di taman belakang. Pohon-pohon seperti melambai, menyambutku yang baru saja datang.

Aku suka disini, walaupun hampir seluruh warga sekolah mengatakan, jika taman ini di tempati oleh mereka yang tidak terlihat.

Namun, aku tidak percaya dengan semua hal itu. Bagiku, taman ini begitu sejuk, karna banyak tanaman bunga dan juga beberapa pohon.

Tidak lupa, taman ini di lengkapi dengan bangku-bangku taman yang sangat berguna, untuk sekedar beristirahat atau bersantai.

Sangat disayangkan, jika taman ini tidak di gunakan oleh warga sekolah.

Sejenak, aku berhenti melangkah, kala mataku menatap seseorang yang sedang menelungkupkan kepalanya, di atas lipatan tangannya.

Tumben sekali ada siswa yang mau datang kesini, pikirku.

Aku tidak terlalu memperdulikan, mungkin siswa itu sedang tidur, jadi aku memutuskan untuk duduk di bawah pohon jambu.

Di taman ini, otakku langsung menemukan banyak ide untuk merangkai sebuah kata demi kata, untuk di jadikan sebuah puisi.

Dengan cepat, aku langsung membuka lembaran baru di buku biru, menulis rangkaian kata, sembari menunggu bel masuk berbunyi.

Setidaknya dengan menulis puisi, Aku dapat menghilangkan rasa bosan saat tidak ada Lala di jam istirahat kali ini.

Walau kenyataannya, puisi yang selama ini aku buat hanyalah tentang Dia, Si Titik yang berperan dalam segalanya.

Jarak Titik ke Koma [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang